Sore itu Ryan tengah menjalani terapi. Kemauannya untuk sembuh begitu besar. Ia sudah bosan duduk berbulan-bulan di atas kursi roda. Ia ingin bisa berjalan kembali dan beraktifitas seperti sedia kala.
"Kamu banyak mengalami kemajuan," Dokter Kohar tersenyum. Memberi pujian pada laki-laki yang nyaris putus asa akibat lumpuh yang dideritanya.
"Berapa lama kira-kira saya bisa berjalan lagi, Dokter?" Ryan bertanya sembari menyeka peluh yang membasahi kening.
"Jika kondisi tulang kakimu kian membaik, maka dipastikan dua bulan lagi kamu sudah bisa berjalan." Kembali Dokter Kohar tersenyum. Ryan mengangguk. Bik Ima yang sejak tadi berdiri menemani, segera membantu ia duduk kembali di atas kursi roda.
"Berlatihlah terus menggerakkan otot-ototmu setiap pagi dan sore. Setiap dua hari sekali aku datang melihat perkembanganmu," ujar Dokter Kohar sembari merapikan tas kerjanya.
"Terima kasih, Dokter," Ryan menjabat tangan Dokter keturunan Tionghoa itu. Dokter Kohar berpamitan. Bik Ima mengantarkannya sampai ke pintu pagar.
Langit senja kian memerah. Semburat awan membentuk siluet tak beraturan. Jarum jam di dinding bergerak mendekati angka 5. Ryan memutar kursi roda menuju jendela ruang tamu. Ia menyibakkan tirai perlahan.Â
"Non Anin lembur lagi, Den?' suara Bik Ima membuatnya menoleh. Ryan mengangguk.
"Bik, doakan aku cepat sembuh, ya," Ryan tersenyum ke arah wanita paruh baya itu. Bik Ima membalas senyum majikannya itu dengan anggukan dan setumpuk rasa haru.
Â
***