"Jangan campuri urusanku. Mau aku pergi ke mana terserah aku!" bentak Bapak.
Plak!
Lagi, suara tamparan yang membuat Ibu menjerit seperti menahan sakit. Mendengar itu aku ketakutan, menggigil di sudut kamar seraya memeluk adik-adikku. Denyut jantung berdetak kencang, seakan tak terima mendengar Ibu kesakitan. Ingin memberontak, tapi tak kuasa untuk melakukan apa-apa.
Waktu itu umurku masih dua belas tahun. Masa di mana harusnya mendapat kasih sayang penuh dari kedua orang tua. Nyatanya, tak pernah kudapat dari Bapak. Begitu pun adik-adik, mengalami hal yang sama. Hanya Ibu yang selalu mengurus kami dengan penuh kasih sayang. Tak jarang pula, Bapak bersikap kasar terhadap anak-anaknya.
Pernah terbayang, bisa salat berjamaah diimami Bapak, bisa bercanda dan mencurahkan isi hati sama beliau adalah hal yang paling membahagiakan. Merasa mempunyai seorang pelindung. Kata orang, anak perempuan akan lebih bahagia jika bisa dekat dengan Bapaknya. Agar tumbuh menjadi seseorang yang tangguh hatinya. Ya ... mungkin itu hanya mimpiku. Bahkan, menyentuh alat salat pun tak pernah Bapak lakukan.
"Bu, adek dapat nilai bagus di sekolah. Yeayy! Nanti mau kutunjukkan sama Bapak," ucap adik sulungku kala dia masih berumur tujuh tahun.
Rasa iba menyelinap dalam hati mendengar ucapan adik. Karena tahu, berharap kasih sayang dan perhatian Bapak hanya sebuah angan yang tak pernah tergapai. Kami mempunyai Bapak, tapi seperti hidup tanpa Bapak.
Ketika aku beranjak dewasa, perilaku Bapak semakin buruk. Setiap hari selepas pulang bekerja, beliau pergi lagi hingga larut malam. Entah apa yang dilakukan Bapak di luar sana. Sering kujumpai Ibu menangis setelah bertengkar di malam hari dan paginya wajah beliau penuh lebam.
Kejadian itu terus berlanjut hingga suatu ketika, pertengkaran lebih hebat lagi terjadi. Entah apa yang sebelumnya mereka bicarakan, tiba-tiba Bapak mengangkat kursi ingin melemparkan ke arah Ibu. Secepat kilat Ibu berlari menuju kamar, lalu mengunci pintunya. Aku yang melihat itu memberanikan diri memohon pada Bapak untuk tidak marah lagi.
"Tinggalkan kami jika Bapak memang sudah tak menginginkan kami lagi!" teriak Ibu. "Maaf, kesabaranku sudah habis, Pak. Aku tidak mengusir, kalau Bapak tidak mau berubah, tinggalkan kami," sambungnya lagi.
Bapak akhirnya pergi dan tak pernah kembali maupun mengirimi kami uang. Hingga tiga tahun kemudian, Ibu menggugat cerai Bapak. Lalu, kami benar-benar hidup tanpa Bapak.