Hei, Indonesiaku ... tanah subur rakyat makmur. Hei, Indonesiaku ... aku sayang kepadamu.
Tanam salak tumbuh salak, tanam duren tumbuh duren, tanam padi tumbuh padi.
***
Masih ingat petikan lagu di atas? Itu, lho, lagu anak yang ngetren medio 1990-an. Itu hanya sebagian dari lagu anak yang sangat hits pada saat itu. Selain Enno Lerian yang menyanyikan lagu ini dan Dudidam, masih banyak penyanyi anak yang saat itu begitu saya gemari. Sebut saja Agnes Monica dengan bala-bala-nya, Tri Kwek-kwek dengan Katanya, Joshua dengan Cit Cit Cuit, atau Saskia-Geovani dengan Bang Bing Bung.
Musik anak memang sangat berjaya saat itu. Bahkan, program musik khusus anak juga marak di televisi, seperti Arena Bocah Cilik dan Cilukba (SCTV), Tralala Trilili yang dipandu Agnes Monica, atau Kring Kring Olala yang dipandu Melisa dan terkenal dengan jargonnya, "Apa Kabar Dunia? Tetep Asyik ..." Meski, saya juga agak bingung, apakah "tetep asyik" itu pertanda baik-baik saja atau sebaliknya :) Ditambah lagi, kehadiran drama musikal Petualangan Sherina membuat musik anak semakin inovatif, karena dapat dinikmati dalam bentuk film.
[caption id="attachment_1595" align="aligncenter" width="320" caption="Lagu Dunia Anak yang dinyanyikan banyak penyanyi anak yang hits saat itu, seperti Dhe Ananda, Leonny, Geovani, Saskia, dan lain-lain. (Sumber: Youtube.Com)"][/caption] [caption id="attachment_1597" align="aligncenter" width="320" caption="Lagu Cindy Cenora yang menggambarkan keindahan Pulau Bali. (sumber: Youtube.Com)"]
Selain lagu-lagu populer di atas, lagu-lagu masterpiece karya para penggubah lagu anak juga begitu mudah "ditemukan" karena hampir setiap anak saat itu mengenali dan senang menyanyikannya. Misalnya, saat saya masih bersekolah SD, dalam setiap pelajaran Kesenian, selalu dilakukan "ritual" menyanyi lagu anak sebelum memulai pelajaran. Sebut saja, lagu-lagu Ibu Sud, seperti: Hai Becak, Kupu-kupu, atau Tiktik Bunyi Hujan; lagu-lagu AT Mahmud, seperti Ambilkan Bulan, Bu atau Kereta apiku; serta lagu-lagu Pak Kasur, seperti: Dua Mata Saya atau Topi Saya Bundar.
Bagaimana dengan hari ini? Ironisnya, seiring berkembangnya teknologi, anak-anak seakan semakin kehilangan dunianya. Salah satunya tercermin dari realita musik anak Indonesia saat ini. Begitu mudah menemukan anak-anak menyanyi--di rumah, jalan, atau televisi--namun saya yakin bahwa begitu sulit menemukan anak-anak menyanyikan lagu yang sesuai dengan umur mereka, kecuali anak-anak usia dini yang sedang belajar di PAUD atau TK.
Jika melihat semarak musik anak dahulu (era 90-an), setidaknya ada dua hal yang berperan besar di dalamnya, yaitu dunia pendidikan dan media. Jika batas usia anak-anak adalah 0-12 tahun, maka tidaklah keliru jika saat saya SD masih ada "ritual" menyanyikan lagu anak sebelum belajar Kesenian. Berbeda dengan saat ini, saat anak SD sudah kehilangan "gairah" untuk menyanyikan lagu-lagu anak, bahkan mereka memiliki pengetahuan yang sedikit. Wajar saja, toh, lagu-lagu anak hanya biasa diajarkan oleh guru-guru PAUD dan TK.
[caption id="attachment_1598" align="aligncenter" width="522" caption="Anak-anak PAUD bernyanyi bersama. Saat ini, hanya TK dan PAUD yang konsisten "]
Selain itu, peran media saat ini juga tidak begitu menggembirakan. Saat musik anak "mati suri" di awal abad ke-21 ini, sebenarnya saya cukup senang saat salah satu stasiun televisi swasta menggelar kontes pencarian bakat menyanyi khusus anak-anak, yaitu Idola Cilik. Sebagian orang tentu menyambut postif. Anak-anak kembali mendapat porsi hiburan yang layak dikonsumsi, meski sangat sedikit. Setidaknya, mereka tidak hanya melahap musik-musik dewasa yang dimiliki hampir setiap stasiun televisi.