Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam besabda :
الشِّفَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: شَرْبَةِ عَسَلٍ وَشَرْطَةِ مِحْجَمٍ وَكَيَّةِ نَارٍ وَإِنِّيْ أَنْهَى أُمَّتِيْ عَنْ الْكَيِّ
“Kesembuhan itu berada pada tiga hal, yaitu minum madu, sayatan pisau bekam dan dengan terapi besi panas (kay). Sesungguhnya aku melarang ummatku (berobat) dengan kay.” (HR. Bukhari). Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda :
إِنَّ أَمْثَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ وَالْفَصْدُ
“Sesungguhnya metode pengobatan yang paling ideal bagi kalian adalah hijaamah (bekam) dan al-fashdu (venesection).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ma’rifah al-Hijaamah Al-Hijaamah berasal dari bahasa Arab yang berarti “menghisap”. Namun jika dikatakan sebagai sebuah istilah, hijaamah senantiasa disandingkan dengan kata syurthatu (syurthatu mihjam) yang berarti torehan pisau atau sayatan berdarah. Di beberapa tempat, hijaamah memiliki beberapa istilah lain, seperti bekam (melayu), nge-kop (Indonesia), Cantuk/Catut (Jawa/Sunda), dan lain sebagainya. Namun, semua istilah tersebut merujuk pada satu pengertian, yaitu sebuah metode pengobatan yang dilakukan dengan cara mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh. Dalam istilah medis, apa yang disebut dengan darah kotor lebih dikenal dengan istilah darah statis. Yaitu darah yang tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh kerusakan sel darah di dalamnya, baik sel darah putih maupun sel darah merah. Darah statis, jika dibiarkan akan mengendap di bawah pembuluh kapiler dan menghalangi laju darah normal (darah dinamis) yang pada akhirnya menghambat proses metabolisme di dalam tubuh secara keseluruhan. Pada darah statis biasanya terdapat tumpukan toksin yang berbahaya bagi tubuh. Penumpukkan darah statis di dalam tubuh juga mengundang bakteri dan pathogen lainnya. Saat kita memahami hal tersebut, kita menjadi lebih faham mengapa al-hijaamah menjadi begitu penting. Sejarah al-Hijaamah Sebelum di-”legal”-kan menjadi bagian dari sunnah Rasulullah, metode hijaamah telah dikenal di beberapa tempat sebelumnya. Menurut Imam As-Suyuthi, metode ini berasal dari kota Isfahan (Asbahan), Persia, sejak awal peradaban Sumeria berdiri. Di Arab metode ini berkembang dengan alatnya menggunakan tanduk. Sedangkan di China metode ini juga berkembang dengan menggunakan alat mangkuk atau cawan kaca. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memilih metode ini sebagai metode yang terbaik bagi ummat muslim. Diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Majah dari Katsir ibn Salim, bahwa ia berkata, “Aku pernah mendengar Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kali aku melewati sekelompok malaikat pada malam Isra’, pasti mereka berkata: “Hai, Muhammad, perintahkan ummatmu untuk berbekam”. Sementara itu, Imam Turmudzi dalam Jami’-nya, sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dari Ibn ‘Abbas dengan makna senada bahwa beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda,”Hendaknya kalian menggunakan al-hijaamah, hai Muhammad.” Maka, jadilah al-hijaamah sebagai pengobatan yang dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam untuk ummatnya berdasarkan petunjuk dari Kerajaan Langit melalui para malaikat di malam Isra’. Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu ‘Abbas, sesungguhnya setiap kali Rasulullah melewati sekelompok Malaikat pada waktu mi’raj, setiap itu pula mereka berkata, “Hendaknya engkau membiasakan diri melakukan al-hijaamah.” Sabdanya pula: “Jibril memberitahu padaku bahwa hijaamah merupakan pengobatan paling bermanfaat bagi manusia”. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa tiada pengobatan yang hasilnya lebih baik dari hijaamah, karena hijaamah merupakan metode pengobatan yang langsung mendapatkan “SK” dari Sang Pemilik Kesembuhan. Maka, apakah kita meragukannya..? Fadha’ilu al-Hijaamah Berdasarkan kajian kita terhadap beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, kita dapatkan bahwa al-Hijaamah memiliki beberapa keutamaan di antaranya. 1) Mengeluarkan darah kotor, meringankan otot kaku, dan mempertajam pandangan mata orang yang dibekamnya. Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Orang yang paling baik adalah seorang tukang bekam, karena ia mengeluarkan darah (kotor), meringankan tubuh (otot kaku), dan mempertajam pandangan mata orang yang dibekamnya.” 2) Menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan izin Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Berbekam pada al-kahiil dapat menyembuhkan 72 macam penyakit.” 3) Menghilangkan pusing atau sakit kepala. “Rasulullah pernah dibekam di bagian kepala untuk menghilangkan pusing-pusing”. 4) Rasulullah berbekam ‘alaa warik (pada bagian pinggang) karena penyakit pegal-pegal yang dideritanya. 5) Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Berbekam itu bisa menambah daya tahan tubuh, dan bisa menambah kemampuan berpikir.” 6) Bernilai ibadah saat kita melaksanakannya, karena berbekam merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, mengutip pernyataan Imam al-Ghazali, dalam Fatwa-Fatwa Kontemporer menyebutkan, “Hijaamah adalah termasuk fardhu kifayah. Jika pada suatu wilayah tidak ada seorangpun yang mempelajarinya, maka seluruh penduduknya akan berdosa. Namun jika ada salah seorang yang melaksanakannya serta memadai, maka gugurlah kewajiban dari yang lain. Menurut saya, sebuah wilayah kadang membutuhkan lebih dari seorang. Tapi yang terpenting adalah adanya jumlah yang mencukupi sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.” Pendapat ini juga yang dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama madzhab Hanabilah : Al Hijaamah bernilai sunnah, karenanya dianjurkan untuk melakukannya minimal sekali seumur hidup. Jenis-Jenis al-Hijaamah Dalam praktiknya di masyarakat, kita seringkali mendengar bahwa bekam (al-hijaamah) terbagi dalam dua jenis, bekam kering (hijaamah jaaffah) dan bekam basah (hijaamah rathbah). Namun, Aiman ibn ‘Abdu `l Fatah dalam Keajaiban Thibbun Nabawi membantah hal tersebut. Ia menyatakan bahwa dalam sudut pandang syari’at, yang dimaksudkan bekam (al-hijaamah) dalam istilah syari’at adalah bekam basah (hijaamah rathbah) yang dimaksud pada masa kini. Jika kita merujuk pada pengertian di awal pun sebenarnya sudah sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan hijaamah adalah sebuah metode pengobatan yang dilakukan dengan cara mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh. Sedangkan praktik yang disebut dengan bekam kering sebenarnya tidak bisa dikatakan sebagai praktik bekam (al-hijaamah) karena tidak ada proses pengeluaran darah kotor. Konsekwensinya, bekam kering tidak memiliki keutamaan sebagaimana bekam basah (al-hijaamah). Hal tersebut juga diperkuat oleh hadits hijaamah yang menyandingkan kata hijaamah dengan kata syurthatu (sayatan), “syurthatu mihjam” (sayatan pisau bekam). Artinya, praktik hijaamah yang benar senantiasa dilakukan dengan mengambil darah, dengan menyayat atau melukai tubuh terlebih dahulu tentunya. Adapun dua jenis bekam kering (bekam tarik dan bekam luncur) pada zaman Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam juga sempat dilakukan, namun praktik tersebut tidak disebut sebagai hijaamah, melainkan ku’uus hawa (gelas udara) atau dalam bahasa medis modern dikenal dengan istilah cupping.
- Ku’us Hawa
Ku’us hawa merupakan metode cupping yang dilakukan dengan tidak mengeluarkan darah. Metode ini digunakan jika pasien memang tidak memenuhi syarat-syarat untuk dilakukan hijaamah. Efek dari ku’us hawa tentu saja tidak sebaik hijaamah, karena ia hanya mengeluarkan angin dari dalam tubuh. Proses ini disebut dengan karminasi. Sedangkan proses detoksifikasi yang menjadi ciri utama hijaamah tidak terjadi. Ku’us hawa sendiri terdiri atas dua variasi teknik, sliding cupping (kop luncur) dan flash cupping (kop tarik).
- Hijaamah
Hijaamah merupakan metode cupping dengan mengeluarkan darah kotor dari dalam tubuh. Cara melakukannya adalah dengan melakukan Ku’us Hawa terlebih dahulu, setelah 5-10 menit lepas cup bekam dan lukai bagian tubuh yang dibekam tersebut (bisa dengan lancet atau pisau bedah), setelah itu pasang kembali cup pada bagian tubuh yang telah dilukai. Tahan hingga tubuh tidak mengeluarkan darah lagi. Setelah itu cup dilepas, dan segera bersihkan dengan alcohol (70 %) untuk membunuh bakteri. Beberapa Hal tentang Pembekaman
- Waktu berbekam
Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengutip Ibn Sina, bahwa waktu terbaik dalam berbekam adalah siang hari, di antara waktu Dzuhr dan ‘Ashr, karena pada waktu ini darah sedang meluap mendekati bagian kulit terluar, sehingga proses pembekaman dapat maksimal. Selain itu, Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda, “Barangsiapa berbekam pada tanggal 17, 19, atau 21, maka itu akan menjadi obat dari segala macam penyakit.” Beberapa riwayat menyebutkan hari-hari yang tidak baik untuk berbekam. Sebuah hadits menyebutkan hari Rabu dan Sabtu. Ada juga yang menyebutkan hari Jum’at. Hadits lain menyebutkan Kamis, Jumat, Sabtu, dan Ahad. Sedangkan dari Riwayat Abu Dawud, Rasulullah melarang berbekam pada hari Selasa. Namun, Imam Ahmad ibn Hanbal menghukumi makruh berbekam pada hari Rabu dan Sabtu. Sedangkan Imam Ibn Qayyim al-Jawziyyah berkata bahwa siapapun dapat berbekam saat dibutuhkan. Pemilihan waktu tersebut dilakukan sebagai tindakan preventif dan berjaga-jaga saja. Adapun dalam melakukan terapi, dapat dilakukan kapan saja. Juga tidak ada larangan berbekam pada waktu berpuasa, hal ini berdasar atas riwayat Ibn ‘Abbas. Sedangkan berbekam pada malam hari tidak disukai oleh Imam Ibn al-Qayyim dan Ibn Sina, karena dikhawatirkan udara yang dingin justru menimbulkan ketidakstabilan suhu dan angin pada tubuh pasien. Begitupun berbekam dalam keadaan perut yang kenyang. Hal tersebut dapat mengakibatkan penyumbatan darah. Walaupun demikian, kita tidak perlu terpaku pada waktu-waktu tertentu karena sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berbekam saat beliau sakit. Beliau berbekam pada waktu ihram saat terserang syaqiqah (migrain). Beliau juga segera berbekam setelah memakan kambing beracun di Khaibar. Begitupun saat terjatuh dari atas kuda, beliau saw. langsung berbekam di atas punggungnya. Beliau shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak menunggu-nunggu waktu tertentu untuk berobat, dan inilah yang paling kuat, walaupun berbekam pada waktu-waktu tertentu memang memiliki faedah yang lebih baik jika kita melihat hasil kajian medis. Ketika hendak berbekam ada baiknya mandi terlebih dahulu dengan menggunakan air hangat karena setelah berbekan tidak dianjurkan untuk mandi kecuali setelah 2-3 jam. Jika tekanan darah cukup rendah, bisa dilakukan langkah preventif dengan terlebih dahulu meminum madu atau herbal lainnya. Namun, bila hajjam (orang yang melakukan pembekaman) khawatir akan terjadi apa-apa pada pasien, maka melakukan ku’us hawa merupakan pilihan bijak.
- Siapa yang tidak boleh berbekam..?
Abu Salma dalam blognya (abusalma.wordpress.com/2007/03/01/panduan-singkat-tentang-bekam/) serta sebagaimana yang dijelaskan oleh Pn. Hjh. Siti Jawiyah dalam Al-Hijaamah Tingkat Dasar bahwa ada beberapa hal yang patut diperhatikan dalam berbekam, di antaranya (diedit seperlunya). 1) Pasien yang menderita hepatitis A, B, dan C atau penderita HIV/AIDS harus menggunakan alat sendiri untuk mencegah penularan penyakit. 2) Tidak membekam orang yang fisiknya sangat lemah atau orang yang kelelahan (overfatigue). 3) Tidak membekam orang yang menderita penyakit kulit merata atau menderita alergi kulit yang parah seperti ulserasi dan edema. 4) Tidak membekam orang yang sudah jompo yang lemah fisiknya dan anak-anak yang tubuhnya lemah atau di bawah 3 tahun. 5) Penderita leukimia (kanker darah) tidak dianjurkan untuk di bekam. 6) Penderita hepatitis yang parah, TBC aktif, hemofilia, malignant anemia, trombositopenia dan penyakit lainnya yang parah tidak dianjurkan dibekam kecuali kepada juru bekam yang ahli dan berpengalaman. 7) Tidak membekam pada kondisi: perut kenyang, kehausan, kelaparan, kelelahan, setelah beraktivitas berat, tubuh lemah dan tubuh demam (kedinginan). Setelah bekam pun tidak baik untuk langsung makan, melainkan hanya minum yang manis-manis semisal madu atau selainnya. 8) Tidak membekam wanita hamil pada usia kehamilan 3 bulan pertama (trimester awal). 9) Tidak membekam langsung pada daerah yang luka, urat sendi robek, patah tulang, varises, tumor. 10) Tidak membekam wanita yang sedang haidh dan nifas. 11) Tidak membekam daerah perut terlalu keras. 12) Tidak membekam pasien yang mengonsumsi obat pelancar dan pengencer darah semisal mengkudu, omega 3, dan sebagainya. 13) Tidak dianjurkan melakukan pembekaman kepada orang yang menderita klep jantung, kecuali di bawah pengawasan dokter atau ahli bekam yang berpengalaman. 14) Tidak melakukan bekam langsung setelah mandi, terutama setelah mandi dengan air dingin. Tidak dianjurkan langsung mandi setelah bekam, melainkan setelah 2 jam. Dianjurkan mandi dengan air hangat. 15) Tidak melakukan bekam pada orang yang baru memberikan donor darah atau orang yang baru kecelakaan sehingga darahnya berkurang. 16) Tidak membekam pasien diabetes (gula darah di atas 280) kecuali oleh orang yang ahli. 17) Tidak membekam di area terbuka atau tempat yang dingin. Lebih baik melakukan bekam di ruang yang hangat atau bersuhu normal ruangan. 18) Tidak membekam pada kulit-kulit yang berkudis, kadas, eksim, edema, tumor kulit lokal, dan penyakit kulit lainnya. 19) Dilarang membekam area berikut : a) Lubang alamiah tubuh : mata, hidung, telinga, mulut, kemaluan, anus, puting susu. b) Daerah sistem nodus limfa yang berfungsi sebagai penghasil antibodi, yaitu di submaksilari, korvikal, sudmalaonkular, aksilari, bagian detak jantung, nodus inguinalglimfa. c) Daerah yang dekat dengan pembuluh besar (big vessels).
- Pada bagian tubuh mana Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam berbekam..?
Jika kita mengkaji hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang berkaitan dengan hijaamah, maka kita akan dapatkan bahwa titik bekam Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah. 1) Al-Akhda’iin, yaitu pada bagian leher di ujung tumbuhnya rambut. 2) Iltiwa (mata kaki bagian dalam). 3) Al-Kaahil, secara bahasa berarti punggung, namun Dr. Muhammad Musa ‘Alu Nashr menyebutkan yang dimaksud al-kaahil secara syari’at dalam proses hijaamah adalah bagian punuk. 4) ‘Alaa Ra’sun, merupakan titik paling atas pada kepala. 5) Umu Mughits (tengkorak bagian belakang). 6) Al-Katifayn, berarti dua punggung, yaitu bagian punggung atas dekat lengan. 7) ‘Alaa Warik, yaitu pada pinggang. 8) ‘Alaa Dzhahril Qadami (betis). Sekitar dua sampai tiga jari orang dewasa dari lipatan kaki. 9) Pelipis dan Dagu.