Mohon tunggu...
Elfa Harahap
Elfa Harahap Mohon Tunggu... -

A woman that like write, read and travelling. So I just a journalist...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia Di Tengah Pergeseran Zaman

24 September 2012   11:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:48 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Seluruh masyarakat Indonesia sudah bisa dipastikan mengetahui isi teks Sumpah Pemuda yang ketiga, Kami poetra dan poetri Indonesia mengjoenjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia. Berdasarkan teks ini pula, bahasa Indonesia wajib dijadikan ujung tombak sebagai pemersatu nilai bangsa yang paling bersifat netral diantara poin lainnya. Bahasa Indonesia yang bersumber utama bahasa Melayu, diharapkan mampu menjadi pengikat simbolik dan mental satu negara bernama “bangsa Indonesia” yang penuh keragaman. Sebagai bangsa masyarakat dapat tersatukan karena pikiran mereka menghidupi imajinasi tentang kesatuan. Di situlah bahasa berperan. Sungguh cerdas dan bijaksana langkah para pendiri bangsa sebab memilih bahasa Indonesia sebagai penyatu “komunitas imajiner”. Sebuah bangsa memang dapat disatukan dengan pengikat simbolik lain, misalnya etnisitas atau agama. Namun, bahasa telah terbukti lebih netral dibandingkan dengan keduanya. Tidak hanya secara simbolik, tetapi terlebih secara mental, yakni membangun kesadaran bersama di benak semua warga komunitas bangsa. Jika keberadaan bahasa Indonesia dihitung sejak 2 Mei 1926, berarti usianya telah 82 tahun. Jika dilihat dari usia yang telah dicapai dan fungsi utama dari bahasa itu sendiri, 82 tahun adalah usia yang terbilang lebih dari cukup untuk merubah, bahkan membuat para pemakainya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat tergoyahkan lagi.

Bahasa Indonesia terbukti telah berperan sebagai bahasa persatuan. Apalagi setelah UUD 1945 juga mencanangkannya sebagai bahasa resmi negara. Bahasa Indonesia makin luas digunakan dan diajarkan. Terlepas mutu pemakaiannya yang secara merata belum baik, kedudukannya sebagai bahasa persatuan semakin kokoh. Namun dalam praktiknya, dengan segala keterbatasannya, penggunaan bahasa Indonesia di masyarakat sendiri masih ditemukan berbagai permasalahan. Masalah utama bahasa Indonesia tidak menyangkut perannya sebagai bahasa persatuan, tetapi terletak pada sifatnya yang begitu terbuka. Keterbukaan itu, di satu sisi, merupakan konsekuensi logis akibat terbatasnya peristilahan bahasa Indonesia, terutama dalam bidang ilmu dan teknologi karena bangsa ini sangat minim tentang pengetahuan ilmu dan teknologi. Padahal, kata Julian Huxley (1957), ilmu dan teknologi ibarat agama tanpa wahyu. Kita dapat memaklumi perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini dikuasai oleh bangsa-bangsa Barat. Merupakan hal yang wajar apabila bahasa mereka pula yang menyertai penyebaran ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh dunia.  Indonesia sebagai negara yang baru berkembang tidak mustahil menerima pengaruh tersebut ditengah era pergeseran zaman seperti ini. Di sisi lain, keadaan tersebut pula yang telah menimbulkan beberapa sikap negatif sekaligus sangat merugikan dan menjadi kendala sebagai alat penggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Efek sosial yang yang ditumbulkan juga semakin membuat jenjang social yang besar didalam masyarakat itu sendiri. Bagi masyarakat yang lebih mampu berbahasa asing,  hal ini akan menurunkan lagi derajat Bahasa Indonesia di mata orang awam karena akan muncul sikap medewa-dewakan dan mengagung-agungkan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya. Perasaan puas pada diri seseorang dalam berbahasa masih sedikit di republik ini. Contoh yang paling nyata adalah pola pikir masyarakat yang masih menganggap bahwa bahasa merupakan alat berpikir dan berkomunikasi.

Tercatat saat Poerwadarminta meluncurkan Kamus Umum Bahasa Indonesia di tahun 1953, jumlah bahasa yang tercatat sekitar 23.000-an. Namun, pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan kamus serupa dengan tambahan 1.000-an kata baru. Artinya, selama 23 tahun hanya bertambah 1.000-an kata. Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 1988 kembali menambah jumlah kata dari 24.000-an menjadi 62.000-an kata. Berkat kerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei berhasil dibuat 340.000-an istilah berbagai bidang ilmu. Pusat Bahasa juga berhasil menambah 250.000-an kata baru. Jadi, sudah ada 590.000-an kata berbagai bidang ilmu dan kata umum berjumlah 78.000-an. Sangat disayangkan penambahan kata yang mencapai ratusan ribu tersebut adalah bahasa yang mayoritasnya berupa naturalisasi. Memang benar bahwa penulisan dan pengucapannya diselaraskan dengan kaidah bahasa Indonesia, tetapi sosoknya sebagai kata bahasa asing masih sangat jelas. Tak ayal jika Alif Danya Munsyi (2003)—atau Remy Silado—menyatakan, 9 dari 10 kata bahasa Indonesia adalah asing.

Di pihak lain, keterbukaan telah memicu ketidaksetiaan bangsa ini atas bahasa nasionalnya. Ketidaksetiaan yang dimaksud bisa berwujud penggunaan bahasa dalam campur aduk di iklan, nama perusahaan, pengumuman, dan acara-acara televisi yang terlalu melayani selera pasar. Jelas saja kondisi seperti ini merupakan kondisi yang tidak baik. Karena bagaimana kita bisa mengharapkan masyrakat Indonesia bisa memiliki kemampuan berbahasa yang baik bila ternyata masyarakat Indonesia sendiri belum menjunjung tinggi nilai bahasa yang dimilikinya. Bahasa Indonesia bukan saja menyangkut soal harga diri bangsa, melainkan juga berhubungan dengan nasib tetap tegak dan jatuhnya bangsa. Bahasa Indonesia adalah masalah seluruh warga negara Indonesia, bukan hanya masalah orang-orang tertentu saja, dalam hal ini guru-guru Bahasa Indonesia, orang-orang yang berkecimpung dalam dunia bahasa Indonesia. Itulah sebabnya seluruh bangsa Indonesia dituntut mampu memiliki sikap positif terhadap Bahas Indonesia di tengah pergeserran zaman seperti ini. Masyarakat negeri ini harus mampu memberikan pedoman pada dirinya sendiri tentang perhatian dan minat bangsa-bangsa asing sendiri untuk mempelajari Bahasa Indonesia dan menerjemahkan sastra Indonesia jauh lebih tinggi. Hal ini tentu akan lebih menguatkan lagi kenyataan bahwa sebagai bahasa budaya yang relatif, Bahasa Indonesia mampu menyejajarkan dirinya dengan bahasa asing yang pada umumnya sudah mempunyai masa perkembangan lebih lama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun