"Nak, kamu jangan terus menerus mengurung dirimu. Bersosialisasilah, dan jangan menutup dirimu untuk orang lain. Berikanlah kepercayaan yang ada pada dirimu oada orang lain. Itu bukanlah hal yang sulit"
Sontak, tubuh Emiliana membeku setelah mendengar perkataan ayahnya itu. Ia tidak yakin pada hal itu, apalagi setelah kematian ibu kandungnya. Emiliana hanya mengangguk pelan dan mengiyakan apa kata ayahnya. Namun di dalam lubuk hatinya, ia belum dapat menerima hal itu. Keheningan kembali berlanjut hingga Emiliana telah mengahbiskan sarapannya. Ia membereskan piring piring kotor dan berpamit pada kedua orang tuanya untuk pergi ke sekolah.
Bulan bulan telah berlalu. Hari ini, hari Selasa tanggal 3 Oktober 2015. Saat ini ia berada tepat di depan makam ibu kandungnya, bersama dengan keluarganya barunya ini. Emiliana berlutut didepan maaakam itu, ia mulai berdoa dengan sungguh. Rambut coklat tua panjanganya menyentuh tanah, sembari air mulai mengalir dari matanya yang terpejam erat. Ibu tirinya yang melihat hal itu, tanpa pikir panjang ia segera memeluknya dari belakang. Memiliki tujuan untuk menenangkannya ketika ia sedang berdoa. Naaamun, setelah Emiliana selesai berdoa ... ia justru berdiri dan menarik diri dari pelukan sang ibu tirinya. Sontak, dengan segera ibu tiri melepaskan pelukannya dan berkqta.
   "Nak ada apa? Apakah ibu mrmbuatmu tidak nyaman?, maaf jika-"
   "sudahlah ibu! Jangan selalu berperilaku seolah engkau adalah orang yang aku percaya! Satu satunya orang yang ku percata hanyalah ibu kandungku sendiri... bukan engkau. Berhentilah berharap, tolong".
Emiliana bergegas memotong perkataan ibu tirinya tersebut, dengan air mata terus mengalir di wajahnya.
   "Emiliana! Dia ibumu, hargailah.. meskipun dia ibu tirimu! Kau tidak perlu ayah berikan pelajaran baru bukan?"
Emiliana yang mendengar hal itu, tidak dapat berkata apapun lagi. Ia hanya diam ditempat dan menghela nafas panjang. Menyadari, bahwa situasi ini menjadi situasi yang sangat sulit baginya. Apalagi dengan ayahnya yang terus memarahinya. Tidak, ayah tidak memiliki sifat itu.. namun karena ayah sering meminum alkohol dan berpesta dengan teman temanya, ia menjadi lebih terangsang emosi apabila segala sesuatu tidak sesuai rencananya. Untuk saat ini, dia hanya bisa mengalah pada ayahnya. Meski Emiliana kesal, ibu tirinya selalu melihat dari kejauhan tanpa ia sadari. Ia sungguh ingin membantu Emiliana untuk merasa lebih baik, namun sepertinya Emiliana tidak ingin menerima hal tersebut.
Suara burung hantu mulai terdengar, menandakan hari sudah malam. Mereka segera bergegas pulang untuk beristirahat dan mempersiapkan hari esok dengan baik. Entah itu akan berakhir baik atau buruk. Suara kunci pintu terdengar, Emiliana memasuki rumahnya dan dengan segera masuk kamarnya. Ia membanting pintu dan langsung mematikan lampu ruangan, pikiranya sungguh kacau malam ini. Ibu tirinya yang menyadari hal tersebut, dengan segera ia perlaban pergi mendekati kamar Emiliana dan mengetuk pintu dengan lembut.
   "Emiliana? Bolehkan ibu masuk?". Tanya ibu tirinya dengan lembut.
   "u..uhh baiklah ibu, masuklah. Namun aku tidak ingin terlalu banyak berbicara"