Telaga
Cerpen : Elen Anggun Kusuma
..mungkinkah telaga itu terbuat dari siraman air hujan yang terus-terusan?
Februari jadi bulan penghabisan bagi sang hujan. Sedaritadi fajar, mendung tak pernah mau beranjak dari atas pelataran. Awan hitam pekat berarak keliling diatas dahan. Aku kebingungan, dengan cara apa menghentikan hujan, agar aku bisa berlari keluar tanpa kebasahan. Hujan dan petang membuat semua makin mencekam. Perkutut yang kugantung ditiang depan rumah sampai tak berani bersua, hanya menunduk tafakur menghadap bawah. Apalagi perkakas yang kusimpan didalam gudang, tak pernah kusentuh lagi ketika musim hujan. Jalan rumah ke gudang tak ada atapnya, kepalaku bakal basah kuyub diguyur hujan. Padahal, menata perkakas adalah hal yang sering kulakukan, sekaligus menghindar dari istriku yang sering gundah.
Seiring mencekamnya suasana karna hujan, ada hal besar yang membikin istriku tak doyan makan. Aku bersusah payah menghibur, dengan lagu kenangan sewaktu kita pacaran. Pernah kemarin juga kugendong dia mengitari ruang keluarga, ku dendangkan puisi Rendra. Namun, mukanya masih saja sendu. Air mata menggenang pada ujung-ujung mata lebarnya. Sambil sesenggukkan, dia sering berujar “Prita tak bakal pulang bang. Cari dia!”. Kalau istriku sudah seperti itu, aku segera menurunkan gendonganku dan cepat-cepat kuajak dia bercerita untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi, selalu gagal.
Lagi-lagi : “Prita, tak bakal pulang, dia hilang!”
“Sudahlah. Duduk dan nikmati saja tehmu. Diluar hujan deras”. Aku berkata sambil kutarik kursi didepanku, lalu kutaruh kaki ku berselonjor diatasnya. Dengan sebuah pemantik berbahan kuningan, kunyalakan rokok dan kulempar pandanganku jauh ke lorong yang menghubungkan ruang tamu dan dapur rumahku.
Diujung lorong sebelah pojok, sebuah kamar dengan pintu bercat merah muda nampak sepi juga lengang. Biasanya kulihat seorang gadis belia dengan piyama satin bercorak bunga keluar dari dalam kamar. Rambutnya yang lurus dan kecoklatan tergerai, poni depannya selalu dia tekuk kebelakang dengan sebuah rol rambut khusus berwarna kehijauan.
Tengah malam dia pasti bangun, keluar kamar menuju dapur. Membuka kulkas dan minum susu pada kotak besar dengan sebuah gelas kaca. Suara tegukannya sampai terdengar olehku. Aku suka melihat lesung pipit yang mengembang ketika dia tertawa. Seringkali aku menikmati dengkurannya ketika Ia tertidur pulas didalam kamar. Sambil kuelus pelan kepalanya, kukecup mesra keningnya. Kadang, aku mendekap dia erat sekali melebihi ibunya.
Dia Prita. Anak tiriku yang sudah seminggu tak pulang kerumah. Salma, istriku sampai pusing dan setres berat dibuatnya. Ia menghubungi semua kawan Prita, tapi tak ada satupun yang tahu keberadaannya. Sebagai ayah tirinya, aku punya kewajiban besar untuk menjaganya. Namun ada rasa aneh yang tiba-tiba muncul. Harusnya aku mencari Prita dengan segenap tenaga, namun aku malah ogah-ogahan.
Lagipula hujan deras terus mengguyur daerah sini tak ada henti-hentinya. Tak banyak yang bisa kuperbuat selain tenang dan menunggu hujan reda. Malas sekali rasanya menembus hujan lebat tiap malam untuk menemukan Prita. Dia sudah dewasa, tahu jalan pulang kerumah. Tapi Salma terus saja merengek, menyuruhku menembus hujan mencari Prita. Ah, terus saja seperti itu tiap harinya.
“Tembus hujan dan temukan Prita bang!” katanya.
***
Aku menikahi Salma sekitar tiga tahun lalu. Kami bertemu disebuah kantor perpajakan. Disana, Salma datang mengurus pajak dan aku sekedar menemani kawanku yang kebetulan melamar kerja disana. Gedung perpajakan yang begitu luas membuat salma kebingungan, aku datang menghampiri dan menawarkan bantuan. Kupikir Ia mungkin orang baru dikota ini. benar saja, dia baru seminggu disini. dengan sedikit bualan dan kutebar senyum manis didepan Salma, akhirnya kami terlibat obrolan panjang. Sampai kudapatkan nomor telfonnya, dan esok harinya aku bertandang ke tempat tinggalnya.
Setelah kutahu, Salma 8 tahun lebih tua dariku. Ia adalah seorang janda anak satu. Suaminya meninggal ketika Salma hamil tua. Kecelakaan kereta katanya. Untungnya dia salah satu wanita modern yang kutemui abad ini, dengan segudang pengetahuan yang dia miliki, mengantarkannya pada sebuah keberuntungan. Dia bekerja pada sebuah kantor swasta besar dengan gaji pokok yang lebih dari cukup untuk menghidupi anak perempuan semata wayangnya. Sungguh berbeda jika dibandingkan denganku. Seorang perjaka malas yang tak punya pekerjaan.
Salma tak pernah mempermasalahkan itu. Aku datang pada situasi yang tepat. Dia butuh kehangatanku, aku butuh kesejukkannya. Kami akhirnya menikah. Jalan hidupku berubah. Aku ayah tiri seorang gadis berusia 17 tahun bernama Prita.
Banyak hal yang membuatku memutuskan menikahi Salma. Aku pemalas dan Salma pekerja keras. Umurku masih muda dan aku enggan berbuat banyak buat bekerja. Waktuku habis untuk bercengkrama bersama kawan, merokok dan menghabiskan bercangkir-cangkir kopi sampai lewat tengah malam. Salma mencintaiku melebihi apapun didunia. Aku dimanjakannya dengan berlebihan. Namun Prita, anak tiriku itu yang akhir-akhir ini mencuri semua perhatianku.
Ia hutan rimba yang tak ada habisnya untuk dijelajah. Tawa kanaknya, sikap manjanya juga tatapan teduh mata sipitnya membuatku acuh pada semua hal yang dilakukan Salma terhadapku.
Prita, kugambarkan dia sebagai bunga yang siap menjadi buah. Warnanya yang terang menarik setiap serangga untuk datang mendekat. Bunga indah itu kutemukan pada alang-alang lebat dipinggir telaga. Namun baginilah manusia, selalu tak bisa berada pada pilihan yang tepat. Disamping aku ingin bermain dengan bunga indah diantara alang-alang, aku juga tergerak buat melangkah dan menceburkan diri kedalam telaga. Karna kulihat air di telaga itu begitu jernihnya.
Sejenak aku berpaling dari bunga indah diantara alang-alang. Tanpa berpikir panjang, aku masuk kedalam jernih air telaga. Menyelami telaga sama halnya menyetubuhi Salma dengan segenap rasa cinta keibuannya.
Dengan telanjang bulat sehabis percumbuanku dengan jernihnya telaga, kularikan kaki dengan kencang menuju bunga ditengah alang-alang. Bunga yang mulai mekar dan bakal berbuah dengan manisnya. Kucabut sampai akarnya. Kusentuh tiap gerak pada benangsari bunga dengan begitu hati-hati.
Aku menyukai bunga, bukan berarti menjadikannya ranum untuk berbuah. Kusimpan pada telapak tangan yang selalu kusembunyikan dari telaga. Bahkan anginpun kuhadang agar tak dapat menjamahnya. Namun rupanya telaga punya badai yang lebih menyeramkan dari lautan. Bunga yang selalu ku sembunyikan di telapak tangan akhirnya perlahan ranum menuju buah.
***
“Bangun bang! Prita balik kerumah. Dia didepan. Ayo lekas bangun!” Salma berkata dengan kencangnya. Mengoyak selimut yang menutupi tubuh dinginku.
“Mustahil” jawabku singkat.
“Prita balik dan dia mencarimu. Dia menangis bang. Ayo bangun dan bantu aku mengurusnya”
“Benarkah?. Sudah kubilang dia pasti balik”. Akhirnya aku bangun dan berjalan menuju ruang depan.
Benar saja. Prita pulang dengan kondisi buruk sekali. Rambutnya kumal dan Ia memakai kaos oblong berwarna coklat. Sepertinya kaos seorang kawan prianya. Perlahan aku mendekat, mengelus pundaknya dan tiba-tiba dia berbalik badan lalu melangkah mundur menjauhiku. Gadis beliaku berdiri dengan tubuh yang gemetar dengan sebilah pisau ditangan yang ditodongkan kearahku. Dia menangis sambil menatap lekat kearahku. Matanya berubah keji. Bukan seperti bunga yang sedang mekar, namun menyerupai singa yang hendak menerkam mangsanya bulat-bulat. Bibirnya bergerak karena kedinginan.
“Biar ku bunuh dia!” teriaknya kearahku.
Salma ketakutan. Ia mengenggam lenganku dengan kencang sambil menangis. Sampai tak berani mengeluarkan sepatah kata.
“Tenang Prita. Kamu darimana saja. Kami mencarimu nak” kataku dengan lembut. Namun Prita membalas kata-kataku dengan bengis.
“Aku pergi karna tak sudi melihatmu lagi! Aku hamil! Dan ini anakmu!” Prita berkata sambil terus menodongkan pisau kearahku.
Angin kencang berhembus dari luar jendela. Hujan masih terus saja deras diluar sana. Seisi rumah seakan terbelalak mendengar pernyataan Prita. Tak juga lampu neon diatas plafon, sofa yang berderet disamping kanan, sekujur tubuhku, apalagi tubuh Salma, bergetar serasa diguncang dengan begitu hebatnya.
Semua menjadi begitu pilu dan diam. Salma dan juga benda-benda di sekeliling kami berdiam diri mengumpulkan seluruh tenaga yang bakal mereka luapkan. Aku seperti seperti abu yang habis dimakan api, terbang dengan begitu ringannya.
Salma perlahan melepas genggamannya dari lenganku. Mata sendunya kutatap lebih dalam dari biasanya. Kulihat telaga yang kutemui tak sejernih dulu sewaktu pertama mencumbunya.
Tubuhku mulai terasa beku sekeras batu. Mengeluarkan bau busuk, mayat yang dibenamkan didalam telaga. Baunya menyebar menyatu dengan air. Lalu bunga ranum bersama benangsari ikut hanyut bersama mayat menuju dasar telaga. Bauku amis, semakin amis bercambur anyir. Semoga hujan datang dan masuk kedalam rumah, memendam jasad anyirku didalam mendung. Prita, bunga ranumku membunuhku dengan tatapnya yang bengis. Lalu disebelahku, Salma sebagai kobaran api tak henti membakar abu yang dengan lemahnya telah mengudara memenuhi ruang.
Aku menyetubuhi Prita dikala hujan deras tengah malam. Kujelajah tiap lekuk tubuhnya. Kucecap tengkuk, punggung, sampai kutahu dia memiliki rajah kupu-kupu dipinggulnya—kucecap sampai ke tungkai kakinya. Kulepaskan bakal benih baru yang sesungguhnya kuperuntukkan buat Salma itu kedalam cawan perawan Prita.
Bagai umat yang kehilangan Tuhan, pencarianku tak bakal berkesudahan. Aku serakah, mengambil bunga dan menyembunyikannya dibalik telapak, lalu kuselami telaga. Berharap kutemui Prita sekaligus Salma didalamnya.
Aku berkata dengan tubuh gemetar. “Tahukah kamu Salma istriku sayang, itu alasannya mengapa aku tak pernah mau menembus hujan buat mencari Prita”
Kemudian petir dalam jiwaku menyambar-nyambar menyerupai aslinya. Hujan terus saja deras sepanjang petang. Namun, kali ini aku benar-benar ingin berlari kencang menembus kedalamnya biar mati dikekang hujan.
Yogyakarta, 13 Februari 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H