Selamat Sore Jane!
Cerpen : Elen Anggun Kusuma
Apa yang kau rasakan ketika senja datang? Apa kau ketakutan hari mulai gelap dan burung gereja tak lagi riuh berjajar di genting rumahmu? Atau mungkin dengan bangga kau akan berlari menemui kekasihmu dan menyatakan cinta selagi hari masih senja? Bagiku, senja malah membuatku begitu kesepian. Ada sesuatu yang hilang, tapi entah apa.
Langit mulai redup. Dengan sisa-sisa sinar matahari, warna langit menjadi kemerah-merahan. Matahari sore seperti sinar lampion menembus celah-celah awan, hingga membentuk motif-motif aneh berwarna terang. Sewaktu kecil, ayahku suka membawaku duduk di halaman rumah dengan Ibuku sewaktu di kampung. Namun setelah kami pindah ke Ohio, hanya aku dan Ibu saja yang suka menikmati senja di loteng rumah. Setelah Ibu meninggal, hanya aku sendiri dan pot-pot bunga yang menjadi temanku di loteng rumah. Dulu, Ayah bercerita panjang lebar tentang senja. Kata Ayah langit kemerahan itu adalah jelmaan prajurit Betara Surya. Mereka menjemput Betara untuk naik lagi ke kayangan sehabis menggoda bidadari mandi di bumi. Cerita itu menggelitikku sampai aku tumbuh dewasa. Bagaimana aku memuja senja seperti Sukab. Aku mencari tahu dimana bidadari yang diceritakan Ayah sewaktu kecil.
Aku bisa melihat banyak burung, kelelawar dan kecapung beterbaran di langit. Berputar-putar seperti kebingungan. Ada juga layang-layang dengan ekor memanjang akan kembali berlabuh, benang nilonnya mengkilat terkena sinar senja, bergetar dimainkan pilot-pilot kecil ditengah tanah lapang. Terkadang lamat-lamat terdengar suara musik blues yang diputar oleh tetanggaku. Senja yang hanya bisa dihitung beberapa menit, membuat ku tenggelam pada situasi yang nyaman. Dimana aku merasa seperti berada di dunia dongeng. Suasana senja selalu mengingatkanku pada sebuah cerita seorang pangeran pulang berperang dan mendapati permaisurinya berdiri di depan altar lalu menyambutnya dengan suka cita. Senja memberikan nuansa indah. Dimana aku mendapati keagunganNya, terlebih ketika kudapati dua sosok perempuan berseberangan dengan ku, menikmati senja seperti ku. Pertemuanku dengan mereka membuat senja semakin pekat warnanya, semakin penuh tanda tanya, dimana Kau sembunyikan dayang-dayang ketika senja yang sempat di nakali oleh Betara Surya?
Rumahku adalah bangunan tua dengan tembok bercat coklat penuh lumut di sisi-sisinya. Mendiang Ibuku menata pot-pot bunga di loteng rumah dengan rapi. Ada dua kursi rotan usang lengkap dengan meja dan hiasan pot bunga anturium, disana aku seringkali menikmati senja sepulang bekerja. Sebenarnya aku bosan dengan rutinitasku. Sebagai karyawan sebuah perusahaan penerbitan, setiap hari aku melakukan hal yang monoton. Setiap hari aku berkerja di tengah-tengah orang asing dengan bahasa dan aksen yang aneh. Aku tak begitu suka menjalin pertemanan dengan orang-orang bule ini. Oleh sebab itu menghabiskan waktu sore hari di loteng rumah untuk menikmati senja adalah salah satu caraku untuk menghilangkan penat—juga untuk mengingat masa lalu di kampung yang kurindukan. Di loteng juga, Ayahku suka memandikan burung-burung kesayangannya—pada akhirnya burung-burung tersebut mati kaku karena kepanasan di loteng. Padahal sudah berkali kuingatkan, suhu panas disini tidak sama seperti di Indonesia.
Ketika burung-burung gereja bertebaran di awang-awang mencari tempat singgah, ketika kesibukan umat mulai redup di ujung hari, aku bersiap mengambil secangkir teh dan buku bacaan lalu beranjak ke loteng—tempat dimana aku menghabiskan waktu menikmati senja. Kulihat di seberang rumahku, dua orang perempuan berkulit putih duduk bersantai juga sepertiku. Yang satu berambut ikal pendek dengan baju terusan renda-renda putih, namun yang satu terlihat agak dewasa. Ia memakai blus biru laut dengan rambut hitam panjang dengan bando putih tulang melengkung di kepalanya, membelah rambut belakang dan poninya. Mereka berdua mencuri perhatianku. Mataku terus-terusan melirik kearah mereka. Di setiap sore dan ditempat yang sama, diam-diam aku mulai tertarik pada kehadiran dua perempuan itu.
***
Karena rutinitasku yang sangat padat di siang hari tidak mengharuskan ku mengenal orang-orang di sekitarku. Namun, tetanggaku yang satu ini sungguh sangat unik. Di lain sore, ku temui mereka berdua lagi pada tempat yang sama—di balkon bersebelahan dengan rumahku. Aku melihatnya dari jauh. Kadang si rambut pendek tertawa terbahak-bahak, bahkan sering juga ku lihat dia memasang muka sendu dan penuh haru. Mungkin karena hembusan angin sore ini cukup kencang, perckapan mereka sampai terdengar olehku.
“Asal kau tahu Jane, kemarin malam kudapati Billy mabuk dan tertidur pulas di sofa depan tv. Dia bergumam sesuatu. Tapi aku tak mendengar dengan jelas”
Si rambut pendek menimpali “Kau seperti tak mengenal Billy saja. Hampir tiap malam dia mabuk-mabukan seperti itu pernah juga suatu kali dia memaksa ku menari-nari sambil telanjang”
Tiba-tiba suara tawa mereka meledak. Si rambut pendek—yang akhirnya kuketahui namanya Jane, dia tertawa sangat keras. Rambutnya bergoyang diterpa angin, matanya menyipit dan mulutnya terbuka lebar. Dari tempat dudukku, aku bisa melihat dengan jelas ketika Ia tertawa, terlihat gigi putihnya yang rapi dan lidah merah mudanya yang sungguh membuatku tergiur untuk mengulumnya. Lalu mataku dengan jeli malah menelusuri setiap lekuk tubuhnya. Tengkuknya ku tatap dalam-dalam, pergelangan tangannya juga ujung-ujung jarinya yang lentik. Jane sungguh menawan.
Beberapa saat aku tertegun menikmati keindahan tubuh Jane, tiba-tiba mereka berdua beranjak dari tempat duduknya, bergandengan tangan dan masuk rumah. Sekarang hanya ada aku dan matahari yang tinggal ujungnya dimakan bumi.
Jane memang menawan, sama seperti senja yang selalu kunikmati di sore hari. Namun ada rasa yang aneh. Billy. Menurutku Billy adalah suami Jane dan sodara ipar si rambut panjang. Begitu tertutup kah aku sampai tak mengenal tetangga ku sendiri?. “Ah sudahlah, mengapa aku begitu repot memikirkan urusan mereka berdua” ku angkat cangkir tehku, dan sekali lagi aku melihat ke arah barat. Matahari benar-benar sudah termakan bumi, langit gelap dan aku beranjak masuk ke dalam rumah.
***
Sore-sore yang lain masih juga kulihat Jane dan kawannya itu berdua duduk di samping balkonku—masih dengan suara tertawa meraka yang kencang. Aku sudah terbiasa dengan kehadiran mereka berdua. Lama-lama aku mulai merasa terganggu oleh kehadiran mereka. Apalgi suara tertawa mereka yang kencang tiba-tiba meledak, membuatku terkadang sampai berjingkat karena kaget. Suasana disekitarku juga sudah berubah. Sudah 3 hari aku absen menikmati senja. Hujan deras dengan petir menyambar-nyambar suka turun tiba-tiba sewaktu sore hari, membuat langit menjadi pekat dan senja cantik yang kupuja itu tak bisa terlihat. Pot-pot peninggalan mendiang Ibuku sudah sangat usang sekali—sudah tak enak lagi dipandang mata. Ayahku tak pernah lagi mengurusinya. Apalagi mengurusi rumah, berada dirumah saja hanya sekejap—hanya mandi dan melihati lukisan Ibuku di ruang tv, selanjutnya pergi pulang pagi.
Tiba-tiba aku tersentak mendengar bel pintu rumahku berbunyi beberapa kali. Bahkan di malam hari dan hujan deras seperti ini masih ada tamu yang mau berkunjung kerumahku.
“Iyaa tunggu sebentar” kataku sambil berjalan dengan cepat. Suara petir terdengar menyambar-nyambar diluar. Ketika kubuka pintu rumahku, betapa kagetnya aku saat kudapati Jane--tetanggaku yang menawan itu. Rambutnya basah oleh air hujan, bahkan di dalam gelap aku bisa melihat bibirnya yang merah muda bergetar karena kedinginan. Ia dan kawannya yang berambut panjang berdiri dengan basah kuyub sambil membopong seorang lelaki tambun yang tidak asing lagi bagiku. Sekarang giliran badanku yang gemetaran.
“Excuse me. Oh sorry mengagetkanmu. Aku hanya ingin mengantarkannya pulang. Billy mabuk berat, dan kali ini kami berdua tak bisa mengurusinya. Sepertinya Ia tersedak camilan jagung yang dimakannya ketika mabuk tadi” dengan logat yang aneh Jane berkata dengan bibir bergetar dan giginya gemeretak karena kedinginan.
Aku linglung. Tapi benar, yang sedang dibopong oleh dua gadis cantik itu adalah Ayahku—benar ayahku yang suka mainan burung. Namun, kapan Ayah berganti nama menjadi Billy?. Bukan main. Aku berdecak lalu kuraih tubuh Ayahku yang tambun masih dengan aroma alkohol menyengat dari mulutnya.
“Bill—lly?” kataku sambil terbata-bata disusul suara petir menggelegar. Jane masih berdiri terpaku di depanku. Tiba-tiba aku ingat cerita Ayah sewaktu kecil. Akhirnya aku tahu, bukan senja yang menyembunyikan bidadari, namun Billy—Ayahku sendiri.
Yogyakarta 2 Mei 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H