Mohon tunggu...
Elen Anggun Kusuma
Elen Anggun Kusuma Mohon Tunggu... lainnya -

Universitas Negeri Yogyakarta . fakultas Bahasa dan Seni . jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Alunan Blues di Masa Lalu

30 Juli 2013   20:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:49 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alunan Blues di Masa Lalu

Cerpen : Elen Anggun Kusuma

Entah bagaimana awalnya, aku seperti manusia yang dilahirkan di sebuah kota kuno tak berpenghuni. Pakaian yang kukenakan pun aneh. Aku malah terlihat seperti sherrif dengan celana jeans dan jaket kulit warna coklat lalu pisau lipat terselip pada saku kecil sepatu boat ku. Aku juga lupa bagaimana aku sampai datang pada seorang cenayang dan mengabarkan bahwa adalah hidup seorang pria dengan bulu halus di janggutnya dengan jidat lebar yang akan menjadi suamiku kelak. Namun Ia juga mengabarkan bahwa calon suami kelak, ruhnya masih dijerat oleh sumpah-sumpah masa lalunya. Sudah barang tentu, tugasku membantu pengampunan dosanya dan membersihkannya dari cerita-cerita masa lalu kelamnya. Seperti tersihir oleh mantra-mantra jahat, aku lari kelabakan mencari dimana pria berjidat lebar itu. hingga pada akhirnya aku bisa menemukannya. Sesuai dengan petunjuk cenayang, pria dengan bulu halus dan jidat lebar. Langsung seketika tu kuseret paksa dia ikut denganku sewaktu malam hujan. Kuikat kedua tangannya dan jadilah dia tawanan masa laluku.

Lalu, apa bedanya masa lalu dan sekarang? Bukankah keduanya tak bisa menghidupkan jiwa manusia  lagi? Aku datang hanya untuk membantunya mengingat, bahwa jiwa yang ada dalam dirinya sudah mati dan hancur oleh masa lalu. Dan aku tak ingin pria itu datang ke masa depan dengan susah payah memboyong sampah-sampah masa lalu itu. Beberapa memoar tentangnya, ku usik kembali. Aku menggali lagi cerita-cerita percintaan dia di masa lalu lewat beberapa sahabat karibnya. Aku bertanya perihal kehidupan di masa lalu, dengan utang-piutangnya di bar dan klub malam pinggiran kota bahkan aku sampai mendapatkan nota-nota dukun pijat aborsi yang dia lakukan dengan beberapa gadis. Ribuan kata melesat cepat dari bibir tipisnya tiap kali kutanyakan ini kepadanya. Bukan hanya mengelak, dia bahkan mengaku tak bisa mengingat itu semua. Tiap kata yang terucap, menyimpan banyak tanda tanya atas semua masa lalu yang merenggut semua jiwa dan ruh dalam dirinya. Bahkan sekarang dia malah seperti asap yang beterbangan tak tentu arah. Didepanku, dia terlihat seperti gembala yang tak pernah mendapatkan pengampunan dalam bahtera Nuh, Yesuh dan Allah. Aku ingin mulutnya sendiri yang megucap sumpah menelan semua kebahagiaan masa depanku hanya untuk menebus kesalahan di masa lalunya.

Aku melihat dia terduduk lemas dengan kedua tangan terikat. Kelopak mata yang layu serta alis tebal mencuri pandanganku. Keringat mengucur lewat garis-garis halus bulu janggut serta alisnya. Aku datang menghampiri, mengelap pelan butir-butir keringat yang jatuh dari ujung alisnya.

“Apa yang kau kerjakan dimasa lalu?” aku mulai bertanya. Kuhisap pelan sebatang rokok, tangan kiriku sibuk memainkan kalung manik-manik yang menggantung di leher.

“K—aauu siapaa?” dengan pelan pria itu menjawab.

“Kau pernah mendengar syair lagu pop yang sering kau dendangkan bersama kawanmu? Ini sedikit mirip dengan syair lagu pop semacam itu. Aku manusia masa depan. Aku datang mendahuluimu, sebelum kau datang ke masaku, aku ingin kau bersih dari segala macam urusan masa lalumu.”

“Bahkan aku tak suka lagu pop!”

Aku terhenyak mendengar jawabannya, kemudian aku berdiri sambil jalan berputar disamping kanannya lalu tertawa lebar-lebar. Aku raih gelas kaca berisi air putih, lalu kuminumkan pelan-pelan kemulutnya.

“Aku tahu kau suka blues.” sambil bergumam pelan disamping telinganya, aku menyungging senyum simpul lalu kulangkahkan kakiku menjauh darinya. Dia meronta memintaku melepas tali yang mengikat tangannya. Aku pura-pura saja tak mendengar teriakkannya. Kuanggap saja hanya seperti suara cicit burung gereja yang sedang sibuk membuat sarang, juga seperti suara anak babi menguik-nguik minta makan.

Pria itu menjadi tawananku. Aku sudah tak acuh lagi dengan ocehan tetanggaku atas semua kelakuanku yang aneh. Aku suka membawanya keluar rumah duduk ditaman masih dalam keadaan tangan terikat kuat, aku mengajaknya main halma kadang juga catur dengan papan catur yang kulukis sendiri. Ibu-ibu muda disamping rumahku sering mengintip dari balik semak taman halaman rumahku, sambil mulutnya bergumam, mereka sudah menganggapku gila. Aku malah tersenyum jika melihatnya tertangkap basah sedang mengintipku bermain halma dengan tawananku—maksutku calon suamiku.

Aku bisa melihat separuh diriku dalam kedua bola matanya. Tak jarang aku memakinya habis-habisan. Mengapa dia tak mati saja dan ditelan oleh dosa-dosa dimasa lalunya? Apa yang aku alami sekarang cuma ketakutan yang berlebihan. Aku tak sudi hidup di masa depan dengan orang-orang licik seperti dia. Licik. Dia mengambil semua kebahagiaan oranglain. Berpikir secara arogan, menganggap dirinya adalah tonggak awal mula kehidupan masa depan yang bahagia. Sudah jelas tertulis pada Injil pada primbon-primbon kuno bahkan pada syiar-syair lagu blues kesukaannya itu bahwa takdir akan menjemput kita pada masa pada masa depan. Bukan saja dia, bahkan aku sudah berencana membunuh semua orang-orang seperti dia!

***

“Tolong keluarkan aku” Ia berkata padaku dengan suara parau dan mata berkaca-kaca.

Aku tak langsung menyahut. Hening beberapa saat. Hanya terdengar suara detak jam dinding kuno di tembok samping dengan suara jariku mengetuk-ketuk meja kayu dengan botol bir. “Aku butuh kau disini. Aku tak suka kau pergi sesukamu. Aku tak ingin manusia lain melihatmu dan mulai tertarik padamu”

“Jelaskan kamu siapa?!”

“Sudah berkali kukatakan. Aku manusia masa depan. Kau anggap aku gila heh? Aku Cuma ingin kau ada disini sampai masa pengampunanmu habis. Selanjutnya kau akan tahu sendiri bagaimana masa depanmu setalah melakukan pengampunan itu” kataku sambil menyalakan pemantik.

“Kau menawanku hanya untuk menunggu masa depanmu datang? Masa yang seperti apa?”

Aku menggeser kursiku lebih dekat dengannya. “Masa dimana orang-orang seperti kau musnah. Agar aku bisa hidup tenang. Aku tak suka melihat manusia yang berkutat dengan masa lalu. Kau bagian dari masa depanku. Aku bisa melihat lewat matamu, kau berhutang banyak pada masa lalu. Kehidupanmu akan selalu bergantung pada apa yang telah kau lakukan semasa dulu”

“Apa kesalahanku di masa lalu?”

“Bahkan kau tak mengerti kesalahanmu sendiri”

“Tolong demi Tuhan, jelaskan padaku” suaranya parau. Aku melihat matanya dalam gelap, samar-samar terlihat matanya berkaca-kaca.

“Kau yang akan membantuku melawan takdir. Mungkin kau tak percaya jika aku jelaskan ini padamu. Suka atau tak suka, di masa depan kau adalah suamiku.”

“S-uuuaaa-miii muu?”

“Aku tak suka melihatmu masih berurusan dengan masa lalu, dengan gadis-gadismu dan juga lagu-lagu blues yang sering kali kau dengarkan, apalagi kau calon suamiku di masa depan. Aku hanya ingin membantumu sebelum aku membiarkanmu membusuk disini.  Aku ingin kau menyesal sebelum kau datang di masa depan, setelah kau menjalani pengampunan selanjutnya kau akan menjadi bersih, aku akan mendapatkanmu sebagai orang yang bebas dan tak pernah dijerat oleh masa lalu.”

“Kau terlalu percaya takhayul. Masa laluku baik-baik saja. Aku hidup bahagia dengan kekasihku. Hidup kami berjalan indah dan tak separah yang kau bayangkan. Itu terjadi sebelum kau wanita sinting datang menawanku, parahnya kau mengaku sebagi manusia masa depan, mengaku sebagai calon istriku” nadanya mulai meninggi.

Aku geram mendengar ocehannya. Aku berdiri lalu dengan geram kucengkeram rahangnya sambil berkata “Dengar! Aku tak butuh ocehanmu. Aku hanya butuh kau bersih dalam pengampunan masa lalumu”

Dia hanya diam, sambil matanya menatapku dalam penuh rasa benci. Aku keluar sambil bersungut-sungut.

Sama sekali aku tak suka pria itu. cara berpakaiannya yang aneh, bahkan jidat lebarnya aku tak pernah menyukainya. Namun aku tahu dia adalah pria satu-satunya yang datang dari masa lalu yang memintaku untuk membantu pengampunannya—kata si cenayang tua tempo dulu. Bukannya kami akan hidup bahagia setelah ini? kami akan membangun rumah kecil dengan taman bunga didepannya. Tak hanya itu, kami akan sering menghafal lirik-lirik lagu pop—bukan lagu blues. Aku juga berharap dia adalah satu-satunya manusia yang menjadi budak masa lalu yang masih tersisa.

Aku percaya dewa-dewa akan datang menghampirinya ketika ku ikat tangannya di gudang samping rumah. Dewa itu akan mengabarkan berita baik atas masa depan ku dengannya lalu menghapus ingatan akan masa lalunya. Tak hanya menghapus, Dewa satunya bahkan mencabut ingatannya sampai keakarnya. Aku akan hidup bahagia di masa depan.

“Lepaskan aku! Kau wanita jalang! Tak sudi aku menjadi suamimu di masa depan!”

“Diam! Diam atau kubunuh kau sekarang!” teriakku sambil menodongkan pisau kearahnya.

“Bunuh saja agar kau puas! Persetan dengan masa depan! Biarkan aku hidup di masa lalu. Tak butuh pengampunan dan tetek-bengeknya. Kau hanya mementingkan urusanmu di masa depan.”

Dengan geram kutendang kursi kayu didepanku kearahnya. Dia terguling jatuh masih dengan kedua tangan terikat. "hey dengar! Aku butuh kau. Lakukan saja apa yang kuperintahkan”

“Biarkan aku hidup dengan masa laluku!” teriaknya kencang.

Seperti kesetanan aku langsung melempar pisau kearahnya. Pisau itu menancap tepat di dada kirinya. Darah segar keluar, diiringi rintihan kesakitannya. Suara nafasnya tersengal-sengal kemudian dia jatuh terkulai lemas diatas lantai. Badanku bergetar, pelan-pelan aku mendekati tubuhnya lalu di seka pelan darah yang terciprat ke tangannya.

Lalu tiba-tiba telingaku penuh dengan suara bising. Kemudian berganti suara berdengung sangat kencang. Makin lama dengungannya semakin kencang. Makin kencang. Memekakan telinga. Aku merintih kesakitan, telingaku serasa pecah.

Seketika suara berdengung itu hilang, berganti dengan suara alunan blues samar-samar terdengar. Mataku mengerjap-ngerjap.

Honey welcome back home,i  know she told you.

Honey i know she told you that she loved me.

Much more than i did, but all i know is that she left you.

Suara melengking Janis Joplin lamat-lamat terdengar lewat kupingku. Mataku terus saja mengerjap-ngerjap. Pelan-pelan kubuka mata. Aku melihat banyak orang duduk di kursi-kursi kayu menghadap jendela. Pantulan sinar matahari sore terlihat masuk lewat celah-celah jendela diantara kepulan asap tembakau. Mereka duduk sambil memegang cangkir-cangkir kecil, yang lainnya terlihat membawa nampan berisi gelas-gelas berisi bir, lalu seorang pria berjidat lebar memakai ikat kepala sambil menenteng gelas berisi bir berteriak kepadaku.

hey honey let’s singing. Kau baru saja bangun rupanya” katanya sambil tersenyum kepadaku.

Aku masih linglung. Aku melihat sekeliling, tak ada pria yang menjadi tawananku di masa lalu. Aku meraba badanku, aku mengenakan kaos oblong dengan jaket bahan levis warna biru—bukan jaket kulit warna coklat. Ditanganku juga tak ada bercak darah. “Aku baru saja menawan manusia masa lalu” kataku.

Setelah mendengar aku berkata, pria dengan ikat kepala didepanku tertawa lantang sampai gelas berisi bir yang dipegangnya tumpah ruah kebawah mengenai sebagian dari celananya. “Kau mimpi honey. Haha. Kau tertidur lelap sekali sekitar satu jam yang lalu” katanya.

Aku bingung. Terdengar suara musik blues melantun pelan, hiruk pikuk didalam kafe, suara gemerincing gelas-gelas bir disusul gelak tawa seorang pria yang suaranya parau sambil terbatuk-batuk, dan Janis masih terus saja bernyanyi lewat piringan hitam yang berputar disudut kafe.

Come on cry, cry baby, cry baby, cry baby. Oh honey welcome back home.

Don’t you know honey, ain’t nobobdy ever gonna love you, the way i try to do?

Tulungagung, 29 Juli 2013, 02.13 AM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun