Seorang manajer dan karyawati hotel kedapatan di dalam sebuah kamar hotel sedang melakukan ikhtilat, yaitu percampuran antara laki-laki dan perempuan yang bukan pasangan suami-istri yang sah. Mereka melanggar hukum Syariat Islam, dan dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Syari'ah Banda Aceh.Â
Karena itu, pada hari Senin 22 Oktober 2018, manajer hotel itu dihukum cambuk sebanyak 28 kali dan karyawati hotel itu dihukum 23 kali cambukan. Peristiwa itu disaksikan oleh masyarakat, dan walikota Banda Aceh juga menyaksikan langsung hukuman cambuk tersebut.
Secara sederhana, hukuman cambuk merupakan suatu sanksi sosial dalam masyarakat, yang dipakai untuk menghukum setiap orang yang bersalah sekaligus mempermalukan mereka di depan publik.Â
Hal ini bertujuan agar mereka mendapat efek jera dari perbuatan yang telah mereka lakukan dan diharapkan mereka tidak mengulanginya lagi. Selain itu, hukuman cambuk berfungsi sebagai alat kontrol sosial agar tidak terjadi kekacauan dan ketidateraturan dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal yang miris terjadi ketika hukuman cambuk tersebut sangat tajam berlaku bagi masyarakat yang berzinah, mencuri, berjudi, dan sebagainya. Sedangkan bagi koruptor atau pencuri uang rakyat, hukuman cambuk itu begitu tumpul malahan tidak diberlakukan.
Masih teringat dalam benak kita Mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, Â ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3 Juli 2018. Diduga Irwandi Yusuf menerima uang sekitar 500 juta rupiah dari proyek Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018.
Sekilas tampak hukum tersebut tidak adil kepada para koruptor atau pencuri uang rakyat, karena mereka hanya mendapatkan hukuman formil yang berlangsung di pengadilan. Hal itu membuat para koruptor tidak merasakan efek jera terhadap perbuatannya, bahkan tidak merasa malu dengan apa yang telah diperbuatnya.
Alasan utama belum diberlakukannya hukuman cambuk bagi para koruptor di Aceh adalah karena  hukuman itu baru berlaku bagi tindak pidana umum, sedangkan kasus korupsi belum diatur dalam peraturan hukuman cambuk tersebut.
 Hal ini juga membuat para koruptor tertawa karena tidak dicambuk dan dipermalukan di depan publik, sedangkan masyarakat sakit hati dan malu karena memiliki pemimpin yang bobrok secara moral.
Masyarakat secara langsung maupun tidak, mereka akan melihat dan menilai tentang keadilan dalam hukum yang ada di Indonesia, khususnya hukuman cambuk yang berlaku di Aceh.Â