Suara azan terlalu keras, suatu pernyataan yang berbuntut pada penjara. 21 Agustus 2018 Meiliana divonis oleh Pengadilan Negeri Medan satu tahun enam bulan penjara karena kasus penistaan agama yang menimpa dirinya.
Tidak terima begitu saja, Meiliana bersama kuasa hukumnya mengajukan banding terhadap vonis yang diberikan kepadanya. Hari ini 25 Oktober 2018 Pengadilan Tinggi Medan menolak banding Meiliana, dan tetap kembali pada keputusan semula yakni menjalani masa hukuman satu tahun enam bulan penjara.
Mari mencoba melihat dari posisi pelaku dan korban. Ketika kita mengingat awal peristiwa yang terjadi pada bulan Juli 2016. Ketika hari itu ada berbagai cerita dan saksi yang mengatakan bahwa Meiliana-lah sebab kekacauan terjadi di Tanjungbalai, Medan, mereka mengatakan bahwa Meiliana adalah pelaku utama dan pemicu terjadinya konflik di dalam masyarakat.
Singkat cerita, Meiliana dianggap berkata-kata dengan tidak patut, dan menyampaikan protes terhadap suara azan yang keras, sehingga melukai hati banyak orang saat itu ketika mendengar berita tersebut.
Di sisi lain, mari melihat posisi Meiliana yang bersaksi bahwa dia menyampaikan keluh kesahnya hanya kepada seorang pemilik warung di daerah tersebut, dan dia menggunakan bahasa yang santun. Meiliana tidak bermakud untuk membuat kekacauan di daerah tersebut, melainkan hanya ingin menyampaikan unek-unek di hatinya.
Secara hukum menyatakan bahwa Meiliana-lah sebagai pelaku penistaan agama Islam dan patut dihukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Sedangkan masyarakat dalam posisi sebagai korban atas perbuatan yang dilakukan Meiliana.
Sebaliknya, Meiliana merasa bukan sebagai pelaku malahan sebagai korban atas peristiwa yang menimpa dirinya, karena dia tidak memiliki niat dan tujuan untuk menista agama Islam.
Dari pandangan yang berbeda itulah yang membuat kedua pihak kokoh dengan pendiriannya karena masing-masing mempertahankan kebenarannya. Kebenaran itu relatif dan tidak ada kebenaran mutlak dalam diri manusia. Kebenaran adalah soal persepsi atau sudut pandang manusia.
Ini yang dialami oleh Meiliana dan berbagai kasus hukum di berbagai belahan dunia, karena akan selalu ada dualisme (paham yang saling bertentangan) ketika menghadapi manusia yang berbeda secara prinsip, keyakinan dan pilihan hidup.
Itu yang kita lihat dalam diri Meiliana ketika mengajukan banding atas vonis yang diberikan kepadanya, karena dia merasa bahwa itu tidak adil dan tidak sesuai kebenaran. Namun, pada hari ini Kamis 25 Oktober 2018 hakim menolak banding Meiliana, dan itu tanda kekalahan bagi pihak Meiliana meskipun masih bisa mengambil proses hukum selanjutnya.
Kalah berarti kebenaran yang dipegangnya tidak didapat menjadi kebenaran yang sah di mata hukum, sedangkan yang menang merasa bahwa kebenarannya adalah kebenaran yang sejati dan tidak dapat diganggu gugat.