GADUH “PUTIH” DAN KEPRETAN SI RAJAWALI
Gaduh atau kegaduhan, pada tahun 2015, menjadi istilah yang cukup beken di gelanggang politik Indonesia. Harus diakui, bahwa istilah ini muncul terutama setelah seorang menteri koordinator (Rajawali) baru dilantik oleh Presiden Jokowi masuk kabinet pada Agustus 2015. Belum lagi menjalani rapat pertamanya di kabinet, menteri tanpa tedeng aling aling, secara blak-blakan, meng-kepret berbagai kebijakan yang sedang atau akan berjalan di pemerintahan. Seperti tentang pembelian pesawat boeing A350 oleh Garuda Indonesia yang dipandang tidak rasional karena speknya hanya cocok melayani rute ke Eropa atau Amerika yang sepi –akhirnya memang rencana ini dibatalkan, yang artinya kepret-an sukses.
Atau tentang pulsa token listrik yang dipandang tidak adil dan sarat “permainan” mafia PLN- meskipun menuai pembelaan diri dari PLN dan kritikan balik dari para pengamat tentang tidak presisinya satuan dan angka yang diungkap si Rajawali, tapi publik pengguna token listrik yang merasa dirugikan sudah terlanjur merasa suaranya disambung oleh lidah si Rajawali. Kepretan yang kedua ini dipandang separuh sukses, karena setidaknya beberapa saat setelah di-kepret, masyarakat mulai merasakan ada sedikit peningkatan dalam jumlah KWh yang diterima (dengan biaya pembelian pulsa yang sama), meskipun kini kabarnya jumlah KWh yang diterima kembali bahkan ke situasi yang lebih buruk dari situasi sebelum dikepret.
Yang berikutnya adalah tentang proyek pembangkit listrik 35 ribu MW. Proyek ini dipandang terlalu bombastis mengingat sejarah 10 tahun pemerintahan sebelumnya dalam membangun (5 tahun pertama dari proyek 10 ribu MW pertama hanya tuntas 6000-an MW, sedangkan 5 tahun kedua dari proyek 10 ribu MW hanya tuntas kurang dari 1000 MW), sehingga paling maksimal menurut si Rajawali, dari 35 ribu MW paling hanya bisa jadi 14-16 ribu MW dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti pertumbuhan ekonomi daerah, kemampuan finansial dan jaringan sebagian besar para pemegang konsesi yang meragukan, dsb. Selain itu bila pun proyek tersebut benar-benar terwujud, akan terdapat kelebihan produksi listrik yang harus dibayar PLN kepada produsen swasta yang angkanya mencapai Rp 100-an trilyun pertahun- yang dapat menyebabkan APBN jebol. Meskipun sempat di suatu acara Presiden Jokowi tampak masih membela proyek 35 ribu MW ini dan menyindir langsung si Rajawali, tapi belakangan pada suatu acara seminggu lalu, 22 Desember 2015, bersama para pengusaha listrik di istana, di mana telah ditandatangani kontrak 17.000 MW (yang diperkirakan hanya 75%-nya saja yang dapat jadi sebelum 2019 karena masalah pembiayaan dan pembebasan lahan) Presiden meralat bahwa “proyek 35 ribu adalah kebutuhan, bukan target”. Artinya kepretan tentang 35 ribu MW pun menuai sukses.
Terdapat pula beberapa kepretan yang muncul beberapa saat setelah ketiga yang pertama, yaitu tentang tidak patuhnya Pelindo II, tentang perpanjangan kontrak Freeport, dan tentang pilihan teknologi pemanfaatan gas dari Blok Masela.
Tentang Pelindo II, seperti kita ketahui bahwa mantan dirutnya (yang ternyata keluarganya memiliki hubungan bisnis dengan perusahaan milik keluarga Wapres JK) melawan berbagai kebijakan untuk menurunkan angka dwelling time/DT seperti menghambat masuknya rel kereta ke pelabuhan Tanjung Priuk dari Cikarang dry port dan menolak mengenakan biaya inap container sesuai arahan Rajawali. Meskipun dua kebijakan tersebut masih belum dapat dijalankan, tapi faktanya angka DT sudah turun dari 7 hari ke 4,3 hari (per saat ini) karena terapat kebijakan-kebijakan lainnya seperti deregulasi birokrasi, penyatuan sistem IT, dll. Kabarnya Presiden sangat puas dengan kemajuan soal DT ini dan menugaskan kepada si Rajawali untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dahulu ditentang oleh si eks dirut Pelindo II.
Kebijakan lain Rajawali yang tidak berhubungan dengan angka DT tapi juga bertujuan mengurangi biaya logistik (yaitu demmurage), yang juga dilawan oleh eks dirut Pelindo II tersebut adalah kebijakan first in first out (fifo) yang sebenarnya sudah umum diterapkan di pelabuhan-pelabuhan seluruh dunia. Eks dirut Pelindo II inilah yang mungkin menyebabkan kegaduhan yang minus kepretan, yang tidak ada hubungannya dengan perbaikan ke arah yang lebih baik, atau dapat kita istilahkan di sini sebagai “gaduh hitam”- sedangkan kegaduhan karena kepretan sebagai “gaduh putih”.
Jadi, di tengah-tengah “kegaduhan putih” yang ditimbulkan oleh kepretan Rajawali, yang rakyat kebanyakan mendukungnya, muncul “kegaduhan hitam” yang ditimbulkan oleh perlawanan eks dirut Pelindo II termasuk kepada aparat Reskrim Kepolisian yang hendak memeriksa kasus pelanggaran hukum yang dilakukannya. Tidak main-main memang koneksi si eks dirut Pelindo II ini, satu-satunya perwira tinggi polisi yang terbaik di negeri ini (karena keberanian dan integritas ybs yang mirip Hoegeng) akhirnya dicopot dari kepala Kabareskrim dan dipindah menjadi kepala BNN.
Jelas, “gaduh hitam” telah memakan korban pejabat kepolisian yang paling berani dan berintegritas. Untunglah kemudian DPR mendengarkan suara rakyat, dan akhirnya membikin Pansus Pelindo II yang akhirnya melawan gaduh hitam yang ditimbulkan si eks dirut Pelindo II. Pansus kemudian merekomendasikan, salah satunya, untuk mencopot si eks dirut Pelindo II karena telah melakukan berbagai pelanggaran termasuk dalam hal percepatan perpanjangan kontrak JICT (salah satu pelabuhan di Tanjung Priuk) ke perusahaan asal Hongkong, Hutchinson- padahal serikat pekerja JICT sudah nyatakan mampu mengelola sendiri pelabuhan tersebut 100% merah putih. Tak lama KPK pun menjadikan si eks dirut sebagai tersangka, hanya tinggal menunggu Kepolisian yang kabarnya akan juga melakukannya dalam waktu dekat. Gaduh “putih” yang didukung rakyat pun akhirnya menang, mengalahkan gaduh “hitam” yang tidak didukung rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H