TINGKATKAN REVOLUSI MENTAL UNTUK MENYINGKIRKAN BIANG GADUH HITAM
Kami memandang bahwa konsep Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi 2014 dan Reformasi Total yang diperjuangkan Kaum Pergerakan 1998 tidak dapat dipisahkan. Mungkin inilah yang menyebabkan secara alamiah banyak aktivis pergerakan 1998 yang bergabung mendukung pemerintahan Jokowi kini. Artinya secara sadar para aktivis ini menggantungkan harapan untuk menyelesaikan proses Reformasi secara Total di gerbong Revolusi Mental Presiden Jokowi. Salah satu perjuangan utama dari Reformasi Total adalah menghapuskan KKN peninggalan Orde Baru yang akar-akarnya sangat sulit dicerabut dari lembaga trias politica kita, lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Sangat sulit untuk memberantas mentalitas KKN bila para pemimpin publik di ketiga lembaga tersebut, yang seharusnya menjadi teladan ternyata malah ikut serta. Yang menyedihkan, akibatnya banyak dari generasi muda juga yang telah “teracuni” oleh mentalitas KKN ini, ironisnya sebagian dari mereka dulunya merupakan pejuang Reformasi 1998.
Kita akan ulas beberapa kasus KKN yang masih hangat, contohnya dalam kasus korupsi tiga kasus dana bansos gubernur Sumut. Kasus ini melibatkan sekaligus ketiga lembaga trias politica, yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Dari pihak yudikatif terdapat jaksa PTUN Sumut yang terima suap 27 ribu dollar AS dan 5 ribu dollar SGD dan pengacara yang sudah menjadi tersangka. Si pengacara yang tertangkap basah menyuap, kebetulan menempati posisi sangat terhormat di Partai Nasdem (yang mengusung jargon Perubahan). Kemudian saat salah satu kasus yang menjerat gubernur Sumut tersebut hendak dibawa ke Jaksa Agung, isteri si gubernur menyuap anggota legislatif yang juga merupakan sekjen Partai Nasdem sebesar Rp 200 juta untuk membantu mempermudah penyelesaian kasus dengan jaksa agung yang juga berasal dari Partai Nasdem.
Menurut pengakuan dari saksi di pengadilan, jaksa uang juga menerima suap sebesar 20 ribu dollar AS untuk jasanya mempermudah penyelesaian kasus. Bahkan, kabarnya ketua umum Partai Nasdem juga ikut terlibat di pemufakatan jahat ini dengan imbalan proyek Pemda Sumut. Jika kita analisa, partai politik baru semacam Nasdem yang cukup fenomenal karena perolehan suara pada Pemilu 2014 yang signifikan, sebesar 6,7% (peringkat 8 dari 12 kontestan pemilu), yang berhasil memperoleh dukungan rakyat Indonesia yang berharap akan “Perubahan”, ternyata baru setahun memimpin sudah pula terhinggapi mentalitas KKN Orde Baru.
Sebagai pemimpin tertinggi dari kampanye Revolusi Mental, Presiden Jokowi sudah selayaknya mencopot si jaksa agung yang berasal dari Partai Nasdem karena selain integritas pribadi si jaksa agung sudah bermasalah di publik, hal ini perlu dilakukan untuk menghukum Partai Nasdem agar dapat lebih instropeksi diri dan melakukan otokritik. Syukurlah sampai sejauh ini tidak ada upaya dari Partai tersebut (ataupun media massa yang terafiliasi dengannya) untuk semakin memperkeruh keadaan dengan menciptakan gaduh-gaduh “hitam”. Untuk penggantinya, sebaiknya dipilih jaksa agung dari figur yang bersih, berani, dan mampu menjalankan Revolusi Mental di internal lembaganya.
Kemudian kasus “Papa Minta Saham”, yang coba kembali diulas di sini untuk memberikan contoh bagaimana lembaga legislatif pun dipimpin oleh politisi yang masih bermental KKN semacam SN. Sungguh sulit dipercaya, bahwa seorang ketua lembaga DPR yang terhormat dapat berkolaborasi dengan MRC, pengusaha yang selama bertahun-tahun dicap sebagai “mafia migas” (gelar yang secara konsisten dilakoninya hingga kini menghilang dari jangkauan hukum), menjadi makelar perpanjangan kontrak Freeport dengan imbalan saham, kemudian tidak diberhentikan dari anggota DPR. Bagaimana mungkin seorang anggota DPR yang sudah diragukan integritasnya dapat terus menjalankan fungsi-fungsi kelembagaan DPR: pengawasan, legislasi, dan penganggaran?
Apa jaminan diri SN tidak akan kembali mengulangi modus operandinya menggunakan kekuasaannya sebagai anggota DPR untuk kepentingan bisnis diri dan kelompoknya? Bilapun kemudian Golkar Ical tetap mempertahankan SN sebagai anggota DPR, biarlah nanti rakyat pemilihnya yang akan menghukum (kabarnya pada Pilkada serentak 2015 kemarin, rakyat sudah mulai menghukum Golkar dengan sangat sedikitnya kemenangan yang diraih). Jangan malah pimpinan DPR dikembalikan kepada Golkar lagi, partai yang sudah semakin merosot citranya. Bagi kami, untuk mengembalikan kewibawaan lembaga DPR sudah selayaknya pemimpin DPR dikocok ulang (tentu dengan mengubah UU MD3) sehingga politisi-politisi yang menjadi pimpinannya berasal dari partai pemenang pemilu dan pilpres yang paham Revolusi Mental.
Yang terakhir dan yang paling penting adalah lembaga eksekutif, yang seharusnya menjadi soko guru dari Revolusi Mental. Bila ternyata para pejabat publik di kabinet sangat jarang berbicara tentang Revolusi Mental, kemudian kelakuannya juga malah bertentangan dengan Revolusi Mental, maka ybs sudah selayaknya masuk daftar reshuffle di awal tahun 2016. Selain si menteri ESDM yang memang sangat layak direhuffle karena merupakan biang gaduh “hitam”, menurut pandangan berbagai pengamat, aktivis, dan politisi, posisi lain yang sangat layak untuk direshuffle juga adalah menteri BUMN. Gerakannya memang terkesan sangat rapi, tidak tercium, tapi sudah menjadi pengetahuan publik bahwa ybs cukup aktif melakukan KKN, memanfaatkan posisinya di kekuasaan untuk memperbesar jaringan bisnis keluarganya. Beberapa proyek yang nyaris memperkaya diri dan keluarga si menteri BUMN sudah kena kepret oleh si Rajawali jago kepret.
Sebut saja rencana pembelian pesawat boeing A350 oleh Garuda Indonesia yang kabarnya menghasilkan fee proyek cukup besar bagi si menteri BUMN; atau rencana pembangunan pipa BBM sepanjang pulau Jawa oleh Pertamina dengan nilai proyek mencapai 5 milyar dollar AS, yang kabarnya memperkaya kakak kandung si menteri BUMN. Pastinya karena dua proyek ini batal akibat dikepret si Rajawali, si menteri BUMN kemudian menjadi salah satu tokoh yang paling aktif menjadi biang gaduh “hitam”. Salah satunya adalah proyek perpanjangan kontrak JICT ke asing, yang meskipun sudah berkali-kali dikepret, baik oleh si Rajawali maupun Pansus Pelindo di DPR, maupun oleh Serikat pekerja JICT, namun masih tetap berlanjut karena operator utama dari perpanjangan kontrak ini sebenarnya adalah adik kandung si menteri BUMN.
Biang terbesar atau raja dari gaduh “hitam” itu sendiri tak lain adalah Wapres JK. Jangankan menghayati makna Revolusi Mental, mengucapkannya di depan publik saja sepertinya belum pernah. Dalam berbagai kasus seperti Pelindo II, Freeport, maupun proyek 35 ribu MW sangat jelas terlihat dirinya memasang badan dan menantang Presiden. Mentalitas anti KKN sepertinya tidak pernah benar-benar dipahaminya. Mungkin, dalam istilah sekalangan aktivis progresif, tipe-tipe politisi semacam Wapres JK inilah yang disebut sebagai Reformis Gadungan.
Memang proses untuk menyingkirkan dirinya dari kabinet terbilang yang paling sulit (bukan mustahil) secara politik, tapi celah itu ada pada rencana dibentuknya Pansus Freeport. Kalaupun tidak bisa disingkirkan ya seminimalnya geraknya harus dibatasi, informasi-informasi proyek pemerintahan tidak boleh ditembuskan ke kantor Wapres- untuk menghindari peluang terjadinya KKN. Sudah sewajibnya juga KPK dan Kejaksaan mulai mengawasi gerak-gerak seluruh tamu untuk staf di kantor Wapres, karena kabar yang berkembang menyebutkan di kantor tersebut jamak dilakukan transaksi suap jual beli jabatan. Dalam memilih menteri-menteri baru untuk reshuffle-reshuffle yang akan datang, praktis Wapres tidak memiliki kewenangan sama sekali (karena terbukti hasil pilihannya di pembentukan kabinet Oktober 2014 banyak bermasalah). Kalau bisa, fungsi Wapres harus diperjelas, yaitu hanya untuk menggantikan Presiden dalam berbagai acara diplomatik dan kekeluargaan bila berhalangan.