Digitalisasi  teknologi membuat banyak hal menjadi mudah. Hampir segala sesuatu dapat kita lakukan sambil duduk diam tanpa perlu bergerak kemanapun, cukup gerakkan sedikit jari anda pada gawai yang anda punyai, lalu semua seperti sulap yang dalam sekejap tercipta dan dapat selesai. Saat ingin berbelanja kebutuhan rumah tangga misalnya, cukup masuk ke dalam aplikasi belanja online, pilih barang yang disukai atau dibutuhkan , bayar melalui mobile banking, dan selesai.  Bila ingin melakukan pertemuan keluarga besar yang tempat tinggalnya saling berjauhan, bisa beda kota, beda provinsi, beda pulau sampai beda benua pun bukan masalah lagi. Pertemuan dapat berlangsung dengan menggunakan conference call atau aplikasi seperti zoom meeting, google meet dan lain sebagainya. Bahkan saat mengalami sakit pun, konsultasi mengenai penyakit dan obat dengan dokter terpercaya dapat dilakukan juga melalaui aplikasi berobat online seperti halodoc, alodokter, prosehat dan masih banyak lagi.  Inilah salah satu keberuntungan manusia yang hidup di era revolusi industri 4.0.  Era konektivitas,  dimana segala hal dapat terhubung dengan teknologi internet yang kita sebut sebagai IoT atau Internet of Things.
Pemerintah Indonesia sangat memberi perhatian dan mendukung kemajuan digitalisasi di Indonesia. Salah satu poin yang terdapat dalam enam arahan strategi Indonesia digital menyatakan bahwa pemerintah mewujudkan pembangunan budaya digital dengan memanfaatkan bonus demografi serta melakukan pemberdayaan rakyat Indonesia untuk mengembangkan budaya digital. Selain itu pemerintah melalui Kemenkominfo RI melakukan berbagai upaya perlindungan bagi masyarakat Indonesia saat beraktivitas dan melakukan transaksi melalui media internet dengan mengeluarkan  Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dan menetapkan tiga langkah kebijakannya yaitu kewajiban pendaftaran PSE, moderasi konten dan pemberian akses untuk pengawasan dan penegakan hukum di ruang digital .
Meskipun pemerintah telah banyak memberikan payung hukum dalam berbagai bentuk peraturan menteri dan pembuatan undang-undang ITE nomor 11 tahun 2018 tentang informasi dan transaksi elektronik, masyarakat pun harus berperan aktif untuk ikut menjaga aktivitas di ruang digital agar tetap berjalan dengan sehat. Â Kita diajak tidak sekedar mengetahui tentang UU ITE saja tetapi memahami batasan yang harus dipatuhi selama beraktivitas di ruang digital.
Dari tiga kuisioner yang diberikan kepada tiga orang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi, didapatkan informasi bahwa mereka sudah mengetahui mengenai pentingnya UU ITE walaupun belum memahami secara utuh isi dari undang-undang tersebut. Mereka mengetahui bahwa regulasi yang dibuat oleh pemerintah seperti halnya UU ITE dan peraturan lainnya bermanfaat untuk mencegah meluasnya berbagai cyber crime yang terjadi di ruang digital. Adapun cyber crime merupakan perbuatan illegal yang dilakukan menggunakan jaringan internet dan teknologi computer. Bentuk-bentuk cyber crime yang banyak terjadi yaitu : pencurian identitas (identity theft), kejahatan phishing (pengiriman link palsu, website palsu), kejahatan carding (penyalahgunaan kartu kredit milik orang lain), serangan ransomware (mengirimkan virus perusak computer), penipuan online, SIM swap (membajak nomor ponsel orang lain), peretasan email dan situs, skimming (pencurian data kartu debit / kredit), pencurian OTP fraud, pemalsuan data penting melalui internet (data forgery), kejahatan konten illegal (penyebaran hoax, tidak etis, melanggar hukum, pornografi, kekerasan), perusakan data di jaringan computer (cyber terrorism), kegiatan mata-mata (cyber espionage).
Era digital merupakan era keterbukaan dan kebebasan. Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang mengalami masa sebelum reformasi tentunya mengetahui kondisi yang harus dijalani pada masa itu berupa keterbatasan akses informasi dan penyampaian pendapat di muka umum.  Kondisi berubah saat masa reformasi datang. Roda pemerintahan yang berganti mampu mengubah karakter masyarakat menjadi lebih berani dalam  menyuarakan aspirasinya di berbagai forum publik. Keberanian untuk "bersuara" semakin kuat saat Indonesia memasuki era revolusi industri 4.0. Aspirasi masyarakat baik sebagai pribadi maupun mewakili kelompok tertentu disuarakan melalui berbagai sosial media dan platform media digital lainnya.
Sosial media seperti tik-tok, instagram, facebook, twitter dan youtube menjadi pilihan utama untuk menyampaikan pendapat karena mempunyai pengguna atau follower terbesar di Indonesia. Berdasarkan data dari We Are Social, pengguna aktif sosial media di Indonesia mencapai 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah yang luar biasa besar ini sayangnya tidak seiring dengan kualitas konten yang terdapat di dalam sosial media. Banyak konten yang berisi berita hoaks, fitnah, yang sering mengakibatkan perselisihan dan konflik sosial dalam masyarakat.
Fenomena yang juga banyak terjadi saat ini adalah orang bisa dengan gampang menuliskan pendapatnya berupa kritikan, dukungan, sanggahan sampai berupa makian dan hujatan pada kolom komentar yang terdapat pada konten yang dipasang pada sosial media.  Banyak pengguna sosial media di Indonesia bahkan memilih untuk meniadakan fakta, bersikap subjektif,  dan semena-mena terhadap suatu peristiwa atau orang lain. Postingan berupa komentar di sosial media lebih berupa reaksi spontan dan reaksi  emosional. Alhasil banyak komentar berisi hal-hal negatif mengenai sesuatu hal yang tidak disukai bukan berdasarkan fakta objektif. Banyak kasus penghinaan dan pencemaran nama baik terjadi di sosial media dan hal ini termasuk dalam kategori cyber crime. Terdapat beberapa jenis komentar yang termasuk kategori cyber crime yaitu penghinaan terhadap pemerintah maupun badan hukum (pasal 207 KUHP), penghinaan dan pencemaran nama baik orang lain (pasal 27 ayat 3 UU ITE), pengancaman terhadap orang lain (pasal 29 UU ITE), komentar yang terkait SARA (pasal 28 ayat 2 UU ITE). Pengguna media sosial sering tidak menyadari dan tidak siap terhadap konsekuensi hukum saat mereka memberikan komentarnya di media sosial. Sanksi hukum yang tegas berupa denda hingga pidana penjara  dapat diberlakukan apabila komentar yang kita sampaikan melanggar etika, berkata bohong atau sekedar berkomentar asal-asalan yang dengan sengaja dan sadar dilakukan untuk menjelekkan pihak lain.  Beberapa contoh berikut adalah kasus komentar artis / public figure di sosial media yang berujung pada penuntutan secara hukum :
- Kasus hukum Baby Jovanca tahun 2018 yang mendapatkan hukuman pidana penjara selama 4 bulan karena melakukan makian dan hinaan terhadap temannya di sosial media dengan menyebut temannya sebagai mucikari.
- Kasus hukum Ahmad Dhani tahun 2019 yang divonis hukuman 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Surabaya karena pencemaran nama baik  terhadap massa koalisi bela NKRI dengan menyebut kata 'idiot' dalam vlog nya di sosial media.
- Kasus hukum Medina Zein tahun 2022 yang mendapatkan hukuman pidana penjara selama 6 bulan atas pencemaran nama baik Marissya Icha yang dilakukan di sosial media.
- Kasus hukum Jerink yang dipidana penjara selama 10 bulan atas ujaran kebencian dan pencemaran nama baik terhadap institusi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan menyebutkan kalimat 'kacung WHO' di sosial media.
Meskipun beraktivitas di dunia maya tidak membutuhkan pertemuan fisik, namun tetap dibutuhkan kesiapan mental dan kedewasaan. Saat kita  siap untuk berkomentar maka kita juga harus siap dengan efek yang ditimbulkannya.  Berperilaku bijak di sosial media merupakan langkah awal untuk membangun peradaban manusia digital yang modern dan beradab. (eldirensa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H