“Memang menyakitkan.... Saat tanggung jawab bersama harus dipikul oleh sebagian kecil dari mereka. Saat Aib bersama, hanya ditanggung pula oleh mereka yang mencoba untuk peduli. Sebagian hanya mencari aman dengan selalu berdalih akan ketidakmampuannya, tanpa mau peduli. Tanpa sedikitpun memberi perhatian, bahkan tanpa sedikitpun melayangkan pertanyaan yang menunjukkan kepedulian. Mereka hanya mencari aman dalam diam. Seakan mereka bukan bagian dari kita semua. Memang ini bukan salah mereka, bukan aib mereka. Namun ikatan kata 'Kita' telah menjelma menjadi mereka. Dan seharusnya ini-pun menjadi tanggung jawab mereka pula. Tanggung Jawab kita bersama. Jika tidak dapat menanggung sepenuhnya, bukankah lebih baik menanggung sebagian yang terkecil semampunya?
Namun orang-orang besar selalu dilahirkan dari fenomena ini. Merekalah yang selalu sedia menempatkan dirinya untuk menyelesaikan apa yang pernah dimulainya. Bertanggung jawab dengan apa yang pernah diembankan di pundaknya.Tak peduli seberapapun sedikitnya kawan yang membantunya, seberat apapun masalahnya. Mereka selalu menjadi inspirasi bagi orang lain untuk selalu tertegak menjalankan tanggung jawab bersama. Mereka tak pernah berdalih, tanpa berusaha terlebih dulu melakukan hal yang bisa ia lakukan. Sekecil apapun itu. Karna bagi dirinya, mengambil andil terkecil lebih baik daripada hanya diam dan memperhatikan.”
Ini hanya kutipan paling pendek dari salah satu orang yang menginspirasi atas jawabannya setelah pertanyaan saya tentang apakah komitmen itu bisa diukur atau tidak. Sampai hari ini akan terus menginspirasi karena saya pikir hal ini akan selalu terjadi dalam hidup saya. Intinya ada yang sengaja menuliskan ini untukku ketika saya tak pernah menemukan jawaban bahwa komitmen itu bisa diukur atau tidak dan maaf ternyata saya memintanya dengan sedikit memaksa. Mungkin kalau pun ada perhitungannya akan ada sederet teori dan metode yang harus difahami sementara tidak semua orang bisa melakukannya. Sedangkan bagi saya yang hanya menelan ketirnya hidup dalam jumlah sedikit akan sangat minim kepekaannya untuk bisa mengukur komitmen saya sejauh apa. bukan perkara mudah ketika harus memahami medan di awal sampai akhirnya medan yang paling rumit pun terpecahkan. Tapi ini pembelajaran. Ada yang bilang―beruntung aku menangkap kata-kata singkat ini dengan jelas dan tak sedang fokus dengan hal lain yang payah, “Ini akan sangat berat, tapi jalani dan nikmati sajalah.”
Saya selalu katakan bahwa, “kehadiran siapa pun dalam hidupmu, mereka tak ‘kan sia-sia jika kamu akan sangat menghargai keberadaan mereka,” siapa pun itu.... “Dari awal merasakan ketika suatu kali kamu tak uggul di kelas selama SD, SMP, dan SMA hingga merasa semua sainganmu adalah musuhmu!” Hingga hari ini masih bertahan bersama orang-orang yang selalu terpanggil hatinya untuk peduli pada mereka yang mungkin tak pernah mengenalinya di mana pun.
Akhirnya saya simpulkan bahwa sejauh ini hanya bisa mengukur komitmen ini sejauh mana saya faham kebutuhan dan tahu keberadaan mereka. Sampai tahu kapan mereka menangis dan ceria, bercanda dalam lelah, dan senyum yang mengembang dalam payahnya berjalan.... ya sekedar tahu saja, ketika tak punya solusi dan tak ada daya untuk berbuat, minimal hati dan mulut ini akan selalu berdo’a dengan tajam dan akan membuka jalan-jalan sempit mereka.
Satu hal yang saya inginkan ketika bertemu mereka. Ialah “menjadi teman baik bagi siapa pun,” semoga saja layak dan bisa sembari belajar empati pada mereka, hanya butuh belajar dalam kesabaran dan tak perlu berprasangka juga iri ketika ada yang lebih komunikatif darimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H