Kota Yogyakarta itu tak terlalu luas, hanya 32,5 KM2, atau sekitar 1,02% dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, Kota Yogyakarta dan perkembangannya menjadi kawasan yang maju pesat dan cenderung sibuk. Hal ini terjadi karena banyaknya pelaku komuter yang mengalir dari wilayah sub-urban di sekeliling kota. Pada siang hari, jumlah orang di kota ini mencapai lebih dari 1 juta orang. Pembangunan beragam sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan warga tetap dan penduduk domisili itu pun meningkat. Pertambahan sampah, limbah, dan polusi yang mengurangi kualitas lingkungan hidup adalah konsekuensi yang harus diterima. Perubahan gaya hidup dan pertumbuhan penduduk pun memicu ancaman perusakan dan kerusakan pada aset kota hingga degradasi kualitas hidup berkota warganya.
Salah satu barometer kualitas hidup sebuah kota adalah ruang publik. Sebagai tempat terbuka yang mempertemukan antar komunitas warga suatu kota, ruang publik juga menjadi pelebur segala kepentingan, baik warga, penguasa, hingga pengusaha. Ruang publik menjadi penting karena memiliki berbagai peran strategis. Sedikitnya ada lima fungsi ruang publik. Pertama, fungsi sosial, yaitu menyediakan tempat bagi interaksi dan aktivitas sosial masyarakat, serta kebutuhan rekreasi. Kedua, fungsi ekonomi yang memberikan tempat bagi aktivitas ekonomi masyarakat. Ketiga, fungsi lingkungan yang menyediakan tempat bagi siklus hidrologi kawasan, iklim mikro, dan habitat satwa (secara luas). Keempat, fungsi budaya yang mewadahi beragam aktivitas budaya masyarakat hingga pembentukan identitas kota. Kelima, fungsi estetikanya yang berperan memperindah saujana kota.
Status kepemilikan ruang publik di Yogyakarta beragam, yaitu oleh pemerintah, kraton, pribadi (privat), swasta, dan komunitas. Ruang-ruang publik itu secara umum dikelola oleh pemerintah atau masyarakat. Sayangnya, ruang-ruang publik yang ada di Kota Yogyakarta belum dianggap ideal, antara lain karena belum memenuhi kriteria fungsional, aksesial, aman, nyaman, dan efektif. Dari segi pemanfaatan, ruang publik Kota Yogyakarta masih jauh dari optimal dan bahkan banyak terjadi alih fungsi serta tidak dapat diakses oleh publik. Dari segi kuantitas pun sangat kurang dan bahkan terus berkurang; menyaingi sisi kualitasnya yang tidak cukup bagus dan tidak terawat. Pengelolaan yang ada juga dirasa tidak jelas dan tidak terintegrasi dengan baik. Selain itu, pada skala yang lebih luas, tidak ada kebijakan khusus mengenai ruang publik di Kota Yogyakarta. Yogyakarta belum memiliki master plan (atau lebih tepat disebut guideline) tertentu mengenai hal ini.
Menurunnya kualitas ruang publik kota Yogyakarta disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama, laju privatisasi ruang publik yang terbiarkan, sehingga terlanjur kompleks dan sulit diurai. Kedua, desakan yang cukup kuat dari pemilik modal untuk menganeksasi ruang-ruang publik sebagai wilayah komersial yang masif. Ketiga, kewenangan yang tumpang tindih dan tak integratif di pihak pemerintah kota dalam pengelolaan ruang publik kota. Sering kita lihat bagaimana antar dinas atau unit pelaksana di pemerintah kota saling lempar tanggung jawab untuk urusan pemanfaatan, alih fungsi lahan, dan pelanggaran di ruang publik. Akibatnya, faktor pertama dan kedua menjadi tak tertanggulangi. Inisiatif positif dalam pengelolaan ruang publik, baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat pun rentan saling bertabrakan karena lemahnya koordinasi penyelenggara kota.
Penyediaan kualitas trotoar yang baik untuk warga kota sering tak optimal akibat tidak terintegrasinya perencanaan, perizinan, dan pemantauan di lapangan oleh Dinas Perhubungan dan institusi kecamatan. Akibatnya, parkir dan pedagang kaki lima (PKL) di atas trotoar pun menjamur seolah tak terkendali dan mengalahkan hak pejalan kaki. Penyediaan jalur sepeda yang baik bagi warga kota juga tak optimal. Keberadaannya pun tak dianggap prioritas oleh aparat, sehingga antara Dinas Perhubungan dan kepolisian sering lempar tanggung jawab. Taman kota dan jalur hijau yang terawat dan bebas dari penyalahgunaan, seperti untuk pemasangan media luar ruang (spanduk, rontek, hingga reklame, dan baliho) juga contoh carut marut koordinasi antar instansi. Dinas Kebersihan, Badan Lingkungan Hidup, dan Dinas Ketertiban tidak terintegrasi dengan perizinan yang dikeluarkan oleh Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan. Pemberian izin pengelolaan kawasan atau bangunan cagar budaya untuk urusan di luar ranah pelestarian pun tak terkoordinasikan dengan baik antara Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dengan Dinas Perizinan.
Menurut Marco Kusumawijaya (2012), menurunnya kualitas ruang publik disebabkan oleh ketidakmampuan negara mengurusnya dan/atau komunitas tidak merasa memiliki dan tidak mengurusnya. Ruang-ruang publik ini akan menjadi hidup ketika berhasil dihidupi oleh komunitas warga dan diubah dari sebagai “ruang publik” menjadi “ruang bersama”. Ruang publik (public space) yang berada pada ranah negara dianggap sebagai entitas yang kaku dan terkontrol, walaupun pada faktanya lemah. Ruang bersama (common space) dianggap lebih menjadi perwujudan hidup komunitas warga yang terbuka, sebagai ruang interaksi aktif-kreatif dalam sebuah kota. Konsekuensinya, segala perencanaan dan perubahan yang akan dilakukan pada ruang-ruang itu adalah konsensus bersama. Warga mendudukkan perannya untuk terlibat dalam penentuan arah pengelolaan dan perkembangan kota, alih-alih praktik privatisasi dan komersialisasi, ke arah konservasi (pelestarian). Kota yang lestari adalah kota yang mampu menjaga aset/sumber dayanya terkelola secara tepat guna dan menerus, tidak habis tereksploitasi untuk kepentingan sekelompok orang dan sesaat.
Meningkatnya kesadaran kolektif warga untuk merebut hak atas kota harus dipandang sebagai hal positif. Gerakan ini bertujuan untuk menegaskan bahwa kota adalah milik bersama. Ketika penyelenggara pemerintahan kota, termasuk dewan legislatif, dinilai tak mampu melaksanakan mandat rakyat, maka warga tak segan turun tangan untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Perencanaan dan pembangunan yang tak melibatkan warga akan menemui penolakan. Suryono Herlambang (2006) menyebutkan bahwa hak warga paling dasar adalah hak atas keamanan umum dan kesehatan lingkungan, kemudian diikuti dengan hak mendapatkan fasilitas kota yang baik dan hak partisipasi umum. Pengelolaan kota yang abaikan kepentingan warga pun akan mendorong munculnya beragam inisiatif untuk perjuangkan hak warga atas kota.
“Merti Kutha” yang digelar di Yogyakarta oleh himpunan komunitas dan individu yang menamakan dirinya “Warga Berdaya” satu minggu lalu (10/02) adalah penanda keadaan. Dalam konteksnya di ranah perdesaan, merti desa adalah wujud rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kelimpahan sumber daya. Dalam konteksnya di ranah perkotaan, Merti Kutha menerjemahkan rasa syukur tadi dalam wujud kolaborasi partisipasi warga untuk bersama membenahi ruang kotanya. Gerakan ini muncul ketika pemerintah kota dinilai gagal menyediakan hak hidup layak bagi komunitas warga dalam ruang-ruang kota. Dimensi ruang bersama tidak hadir karena terkalahkan oleh dominasi kekuatan ekonomi. Kesadaran bahwa antar komunitas warga masih mampu bertemu, berkomunikasi, dan mengartikulasikan kepentingan mereka, adalah wujud rasa syukur tersebut. Merti Kutha menguatkan keberadaan kota sebagai perwujudan fisik dari komunitas kota yang hidup bersama dalam satu konsensus lintas ruang, bisa dengan atau tanpa kehadiran pemerintah kota.
Tulisan ini dimuat di rubrik Opini SKH Kedaulatan Rakyat edisi Jumat, 22 Februari 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H