Mohon tunggu...
elangyk98
elangyk98 Mohon Tunggu... Penulis - enterprenuer

Lahir di kota Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tuntutan Korban Vaksin Palsu kepada Rumah Sakit Menjadi Anarki dan Chaos

17 Juli 2016   04:43 Diperbarui: 17 Juli 2016   10:36 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : http://www.msholihat.com

Seperti yang sudah penulis duga  dalam artikel penulis sebelumnya , Rumah sakit yang termasuk dalam daftar penerima vaksin palsu akan dihakimi oleh massa atau korban vaksin palsu. Seperti seorang pencuri yang diserahkan kepada masyarakat dan dihakimi sampai meninggal  dan Polisi diam saja, demikian pula dalam kejadian ini [artikel penulis bisa dibaca disini].  RS Harapan Bunda telah menghentikan operasinya [bisa dibaca disini ] dan direktur RS Elisabeth dipukul oleh  massa yang menuntut pertanggung jawaban Rumah sakit  [bisa dibaca disini]

Tindakan Depkes [Menkes ] yang terburu-buru  mengumumkan daftar Rumah sakit  tanpa adanya koordinasi  dengan Rumah sakit  dan tidak memberikan SOP atau Standard Operation Procedure  yang jelas dalam penanganan vaksin palsu berakibat fatal.  Depkes [Menkes] yang baru menangani setelah masyarakat korban berbondong-bondong  dan berbuat anarkhi terhadap Rumah sakit yang ada dalam daftar penerima vaksin palsu menunjukkan  Depkes [Menkes] juga tergagap-gagap mengatasi persoalan ini.

Seperti penulis sebutkan dalam artikel sebelumnya, tanggung jawab vaksin palsu seharusnya tidak ditimpakan kepada rumah sakit sepenuhnya. Rumah sakit bukan lembaga profit yang benar-benar independent  seperti perusahaan komersial. Meskipun swasta tapi Rumah sakit mempunyai kewajiban melaporkan segala kegiatan kepada  Depkes melalui Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) dan setiap bulan akan dilakukan Audit Internal  berupa audit Medis dan Audit Administrasi. Lihat Fungsi  BPRS  atau Badan Pengawas Rumah Sakit disini.

Depkes [Menkes] dengan BPRS sebagai pengawas Rumah sakit tidak bisa cuci tangan begitu saja terhadap masuknya vaksin palsu kedalam Rumah Sakit.  Apa kerjanya BPRS selama ini ?  Selain itu bagaimana fungsi BPOM atau Balai Pengawasas Obat dan Makanan selama ini ? Kesalahan lembaga pengawas Rumah sakit dan BPOM seolah-olah ditimpakan kepada Rumah Sakit sepenuhnya.

Tuntutan orang tua korban yang meminta  pertanggung jawaban  tidak bisa langsung dijawab oleh Rumah sakit, karena keputusan RS tergantung dari Depkes atau Menkes sebagai lembaga pengawas RS, menambah kemarahan kepada Rumah sakit.  Penjelasan Menteri Kesehatan yang sepotong-potong (parsial)  untuk mengatasi korban vaksin palsu menyebabkan korban dan Rumah Sakit menjadi bingung.  Seperti misalnya, Menkes sebentar mengambil keputusan bahwa RS yang terbukti memberikan vaksin palsu tidak diizinkan kembali vaksinasi ulang terhadap korban, namun kemudian menariknya kembali. Lain Lagi misalnya keputusan akan memberikan vaksinasi ulang terhadap korban, namun bagaimana pelaksanaanya dan kapan pelaksanaannya  tidak dijelaskan oleh Depkes [ Menkes].

Perang horizontal antara Rumah sakit dan korban makin tidak terkendali, tuntutan orang tua terhadap Rumah sakit makin diluar kewajaran. Seperti misalnya, selain menuntut RS mengembalikan semua biaya  yang telah dikeluarkan korban, juga menuntut memberikan asuransi kepada si anak seumur hidup  karena kemungkinan anak menjadi cacat dan lain sebagainya.   Orang tua korban tidak dapat disalahkan karena informasi yang kurang dari lembaga yang bertanggung jawab terhadap permasalahan ini yaitu Depkes atau Menkes.

Rumah sakit bisa juga sebagai korban, seperti misalnya dokter yang bekerja sama dengan perawatnya, atau mungkin juga Direkturnya yang bermain dan dokter  yang memberikan vaksin tidak tahu menahu. Harus dibedakan antara Rumah sakit sebagai Lembaga dengan orang-orang yang bekerja di dalamnya.  Rumah sakit sebagai Lembaga  mempunyai banyak fungsi kesehatan selain memberikan vaksinasi kepada anak seperti misalnya Penanganan penyakit kronik , Rawat inap, IGD dan sebagainya.

Pembentukan Satgas oleh Menkes perlu diapresiasi  untuk mengatasi persoalan korban vaksinasi  palsu, namun juga sebaiknya  menentukan SOP yang terpadu dan menyeluruh . Penanganan  korban vaksinasi palsu sebaiknya tidak dilakukan pada masing-masing Rumah sakit tapi ditempatkan pada satu lokasi tertentu, misalnya Rumah sakit Pemerintah.  Penempatan pada tempat yang berbeda  mencegah terjadinya tindakan anarkhi atau kekacauan terhadap Rumah sakit  serta melokalisir permasalahan agar tidak makin meluas dan bisa kembali melakukan fungsi-fungsi  kesehatan lainnya dan melayani masyarakat  dengan normal. Masalah pertanggung jawaban  dan sanksi terhadap Rumah sakit bisa dikoordinasikan antara RS dengan Depkes dan BPRS sebagai Badan Pengawas Rumah Sakit.

Perlu ada penjelasan  tertulis dari Depkes [Menkes] atau lembaga yang kompetent ( Ikatan Dokter atau IDI ), seperti misalnya pernyataan dari Menkes  yang baru-baru ini disampaikan oleh sebuah TV nasional yang menyatakan bahwa kandungan vaksin palsu  setelah pengujian di laboratorium  ternyata hanya cairan infuse dan obat penurun panas, tidak berbahaya bagi anak penerima vaksin.  Pemberian vaksin berulang juga tidak membahayakan anak.   Pemberitahuan ini bisa dibuat semacam poster dan ditempelkan pada tiap tiap Rumah sakit yang terlibat penggunaan vaksin palsu atau dimuat di Surat kabar Nasional,  sehingga masyarakat tidak menduga-duga terlalu berlebihan terhadap efek dari vaksin palsu.

Penanganan Vaksin palsu harus dilakukan dengan koordinasi yang terpadu dari semua pihak yang terlibat didalamnya yaitu Rumah Sakit, Depkes [Menkes] dan Badan Pengawas Rumah sakit . Apalagi masih diduga ada 37 titik penyebaran vaksin palsu yang tersebar di 9 propinsi di Indonesia.  Mengumumkan nama Rumah Sakit sebagai pengguna vaksin palsu sebelum adanya koordinasi dari lembaga-lembaga yang bertanggung jawab serta SOP yang jelas untuk menangani korban vaksin palsu  akan menyebabkan Chaos atau kekacauan di masyarakat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun