Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menjawab Hoaks dan Kesalahpahaman Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bagian IV

29 Januari 2019   18:47 Diperbarui: 30 Januari 2019   12:27 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: abicommunity.org

Legalisasi Prostitusi?: Memahami Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang    

Dalam merumuskan Rancangan Undang-Undang, tetntu penting untuk mempertimbangkan Undang-Undang lainnya untuk menciptakan perundang-undangan yang sinkron antara satu dan lainnya. Sangat wajar bahwa RUU Penghapusan kekerasan seksual hanya memidana orang yang melacurkan seseorang, sebab Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memiliki paradigma yang sama. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang menempatkan orang yang dieksplotiasi secara seksual sebagai korban termasuk pekerja seks yang memiliki mucikari.   

 Konstruksi pasal demikian sangat masuk akal dengan keadaan di Indonesia dimana kegiatan prostitusi sangat berkaitan dengan eksploitasi anak. Faktanya, terdapat 18.747 kasus eksplotasi seksual anak di Indonesia, di Bandung saja ditemukan 257 kausus jual beli anak, dan beberapa penemuan jual beli anak untuk kegiatan seks lainnya.[1] Selain itu, juga terdapat banyak kasus dimana prostitusi merupakan skema jeratan perdagangan manusia yang sistematis, dan didorong oleh keadaan ekonomi. [2] Lebih lanjut prostitusi anak tidak dapat dilihat sebagai masalah kesusilaan dari pekerja seks saja, melainkan kombinasi dari faktor-faktor pendorong dan penarik seperti konsumerisme, disintegrasi keluarga, dan kejahatan yang terorganisir.[3] Terlepas dari stigma yang ada, patut diakui bahwa pekerja seks merupakan korban dari eksploitasi seksual yang ada dan skematis di Indonesia.      

Dari elaborasi di atas sangat masuk akal apabila Undang-Undang Perdagangan Orang, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengincar mucikari untuk dipidana. Sementara bagi korban ekspolitasi seksual berhak mendapatkan restitusi dan rehabilitasi dalam Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Manusia, termasuk rehabilitasi sosial seperti kemampuan kerja. 

Memidana pekerja seks yang dilakukan secara sukarela mungkin saja dilakukan atas nama kesusilaan, namun menurut pandangan penulis prostitusi yang dilakukan secara sukarela bukan kekerasan seksual sehingga tidak tepat diatur di RUU-PKS. Terlebih lagi, untuk memisahkan melalui pembuktian di pengadilan antara yang sukarela , atau sebenarnya korban eksplotasi seksual merupakan sesuatu yang sulit kalau tidak mungkin sehingga sangat berpotensi memidana mereka yang memerlukan rehabilitasi dan restitusi. 

Dapat memidana ibu yang mendorong anak perempuannya berhijab?: Tidak, mana mungkin.

Kekhawatiran yang ini, sangat tidak masuk akal jujur penulis tidak paham pasal mana yang dimaksud atau darimana isu ini muncul. Tapi dari draft yang ada, tidak ada pasal yang melarang sosialisasi pakaian, atau pemaksaan penggunaan pakaian.


Kesimpulan

Dari elaborasi di atas dapat disimpulkan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak ada hubungannya dengan seks bebas atau LGBT, karena RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak sama sekali mengatur kedua hal tersebut. 

Kenapa tidak diatur, karena RUU Penghapusan kekerasan seksual hanya mengatur seputar kekerasan seksual, bukan kesusilaan. Meskipun terkadang sama-sama erat dengan seksualitas, keduanya memiliki perbedaan yang fundamental yang membuat kesusilaan tidak tepat diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Lebih lanjut, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak mendekriminalisasi aborsi, dan justru melengkapi pasal-pasal dalam UU Kesehatan. Sementara pasal mengenai perdagangan se sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan keadaan masyarakat. Terkait dengan marital rape tentu kita harus maju ke paradigma modern dimana perkawinan tidak lagi dianggap sebagai lisensi untuk memerkosa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun