Mohon tunggu...
Elang ML
Elang ML Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Univeristas Indonesia 2016

Mahasiswa yang kadang-kadang menulis artikel.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menjawab Hoaks dan Kesalahpahaman Terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Bagian III

29 Januari 2019   17:14 Diperbarui: 29 Januari 2019   22:03 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar:https://www.philosophytalk.org/blog/abortion

  • Suami Bisa Kena Jerat Hukum Jika Mencolek Istri Ketika Istri Tidak Mau Dicolek?: Abai Terhadap Statistik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Sejujurnya penulis tidak paham konteks penyataan tersebut, apakah sebuah sebuah hiperbola, terelebih karena tidak ada penjelasan lebih lanjut menenai ketakutan tersebut. Hal yang paling mungkin dipermasalahkan dalam konteks penyataan tersebut adalah perluasan pasal pemerkosaan dan pencabulan. Berbeda dengan KUHP yang merumuskan "yang bukan istrinya" dalam Pasal 285 atau Pasal pemerkosaan.  RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menghapuskan frasa "yang bukan istrinya" dan mengubah konstruksi pasal menjadi:[1]

"Setiap orang dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, diancam pidana perkosaan." 

Implikasi dari penerapan pasal tersebut adalah dapat dipidananya pemerkosaan dalam perkawinan atau maritial rape. Pemerkosaan dalam perkawinan dapat diartikan terjadinya hubungan seksual atau aktivitas seksual secara paksa oleh pasangannya dalam perkawinan.[2] Sebenarnya pengaturan mengenai kekerasan seksual dalam perkawinan sudah pernah ada sebelumnya dalam Pasal 8 dan 46 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan demikian, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengakomodasi pergeseran paradigma dalam pemerkosaan, khususnya pemerkosaan dalam perkawinan. Terlebih lagi perkawinan tentu tidak menghilangkan unsur pemerkosaan atau kekerasan seksual, karena titik tekan dari kekerasan seksual adalah perilaku seksual yang tidak konsesnsus.

Mengakomodasi pemidanaan kekerasan seksual dan penegakan hukumnya terbukti sangat diperlukan di Indonesia. Faktanya menurut data BPS 33.4% Perempuan umur 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan, 6.3% Pernah melakukan hubungan seksual karena takut, 7.8 penah dipaksa melakukan hubungan seksual, dan 2% pernah dipaksa melakukan tindakan seksual yang merendahkan.[3] Sementara beberapa penelitian menunjukan bahwa kekerasan seksual oleh pasangan menyumbang 25% dari total kasus kekerasan, dan 10-14% Perempuan pernah mengalami pemerkosaan oleh suaminya.[4]

Dengan demikian menolak RUU Penghapusan kekerasan seksual karena mengkriminalisasi pemerkosaan dalam rumah tangga merupakan argumen yang melupakan data dan mempertahankan paradgma lama terkait pemerkosaan. Paradigma bahwa seorang suami tidak dapat bertanggung jawab terhadap pemerkosaan pada istrinya karena pernikahan adalah paradigma hakim Inggris tahun 1600an dan mulai bergeser pada 1970an.[5] Karena Pernikahan bukan lisensi untuk memerkosa, maka pemidanaan terhadap pemerkosaan dalam pernikahan bukanlah alasan yang logis untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

  • Pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum, sedangkan yg sukarela diperbolehkan?: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melengkapi Pasal Aborsi UU Kesehatan.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak pernah memberikan izin untuk melakukan aborsi secara sukarela kecuali dengan tujuan menyelamatkan nyawa ibu, atau bagi korban kekerasan seksual.[6] Faktanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melengkapi Undang-Undanga Kesehatan yang hanya memidanakan orang dengan sengaja melakukan aborsi yang diatur dalam Pasal 75 sampai 77 dan Pasal Pasal 194. Meskipun tidak mengatur lebih lanjut tentang "aborsi sukarela", namun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak pernah mencabut Pasal Aborsi UU Kesehatan. Bahkan Undang-Undang Kesehatan juga memberikan ruang untuk dilakukannya aborsi karena kehamilan yang diakibatkan oleh pemerkosaan.

Kenapa perlu dilengkapi, sebab Undang-Undang Kesehatan hanya memidana orang yang melakukan aborsi yang tidak sesuai. Namun tidak semua aborsi dilakukan atas kehendak perempuan yang melakukan aborsi, namun bisa atas perintah atau paksaan dari orang lain. Penulis teringat cerita Faye Simanjuntak, Pendiri Rumah Faye di TEDXUnivIndonesiaWomen yang dilaksanakan di FH UI, beliau  menceritakan pengalamanya menangani korban pemaksaan aborsi. Namun, aborsi yang pernah dilakukan anak yang ditangani lembaganya bukan atas keinginan anak tersebut melainkan dari mucikari yang memiliki relasi kuasa atas dirinya. Kasus aborsi paksa sendiri merupakan hal yang beberapa kali ditemukan dalam kasus-kasus human trafficking dan eskploitasi seksual terhadap anak.

Aborsi paksa yang sangat rawan dialami anak korban eskplotasi seksual sendiri sangat penting, mengingat KPA menemukan 13 kasus eksploitasi seksual pada anak pasa awal 2018.[7] Sementara data lain juga menunjukan terdapatnya 1 juta korban human trafficking di Indonesia yang juga mencakup eskploitasi menjadi pekerja seks, dan pengantin pesan.[8] Pengaturan mengenai aborsi dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan melepaskan pihak yang sebenarnya menjadi korban dari tindak pidana aborsi paksa , dan meletakan pertanggungjawabannya kepada pihak yang melakukan pemaksaan dan eksploitasi seksual.

Menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena dianggap melegalkan aborsi sukarela tentu sebuah kesimpulan yang diambil dari analisa sesat fikir dan minim analisa terkait paraturan perundang-undangan terkait. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak mencabut Pasal-Pasal terkait aborsi dalam Undang-Undang Kesehatan. Selain itu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga membuka akses keadilan bagi korban eskploitasi seksual yang dipaksa melakukan aborsi. Korban dapat menikmati pemulihan, sementara ekploitator dapat dipaksa mempertanggungjawabkan tindakannya melalui hukum pidana.

Bila anda berkenan, ayo dukung petisi mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seskual:
https://www.change.org/p/dpr-ri-sahkan-uu-penghapusan-kekerasan-seksual-mulaibicara

Baca Artikel Bagian Lainnya:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun