KEPUTUSAN Prabowo Subianto bergabung dengan koalisi pemerintah paska Pilpres 2019 setidaknya diharapkan bisa memberikan harapan besar bagi bangsa dan negara. Kapasitas, pengalaman serta kemampuan mantan Danjen Kopasus itu dinilai bisa menutupi kekurangan Presiden Jokowi.Â
Harapan lumrah. Mengingat pada saat kampanye pilpres, cukup banyak program kerja yang ditawarkan Prabowo Subianto. Pun, dengan Jokowi. Jika kedua dasar pemikiran ini disatukan, tentu akan membuat program pemerintah makin paripurna.Â
Harapan Indonesia bisa lebih baik bertambah besar. Presiden Jokowi akhirnya merekrut Prabowo Subianto menjadi salah seorang pembantunya di Kabinet Indonesia Maju (KIM). Ketua Umum Partai Gerindra tersebut dipercaya menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Sebuah jabatan yang pantas, mengingat rekam jejak Prabowo yang sangat berpengalaman di dunia militer dan pertahanan negara.Â
Seiring berjalan waktu, kedua mantan rival pada dua kali pilpres tersebut tampaknya bakal berjalan harmonis dan saling menguatkan satu sama lain. Dalam hal ini, Prabowo bakal all out membela setiap kebijakan apapun yang diterbitkan Presiden Jokowi. Sebaliknya, orang nomor satu di republik ini juga bakal memberi ruang dan panggung khusus pada sang mantan lawan guna menggapai hasratnya menjadi penguasa tanah air.Â
Namun, dalam amatan kacamata politik sederhana saya, simbiosis mutualisma yang sedianya terjalin diantara Jokowi dengan Prabowo tidak berjalan baik. Maksudnya, hanya sang Menhan saja yang diuntungkan. Tapi, tidak dengan Jokowi.Â
Mari kita sedikit flashback. Meski dalam dua kali pilpres, Prabowo Subianto selalu menyerang Jokowi habis-habisan, tak membuatnya dendam. Wong Solo ini masih mau menerima kehadiran Prabowo dan Partai Gerindra bergabung dengan pemerintahannya. Bahkan, diberi dua jatah kursi menteri. Menhan yang dipegang Prabowo dan Menteri KKP dipercayakan pada Edhy Prabowo. Belakangan, Edhy di-reshuffle karena terlibat kasus korupsi. Namun, jatah kursinya tak hilang. Sandiaga Uno masuk mengambil alih kursi tersebut, meski dengan pos menteri yang berbeda.Â
Tidak hanya itu, Presiden Jokowi pun memberi tugas tambahan terhadap Prabowo sebagai penanggungjawab food state atau lumbung pangan nasional. banyak pihak percaya, semua itu sebagai langkah khususnya memberi panggung politik lebih terhadap Prabowo guna memuluskan niatnya maju Pilpres 2024.Â
Dengan cara menangani lumbung pangan nasional, disinyalir kesempatan Prabowo menjalin komunikasi dengan masyarakat jadi lebih sering dibanding jabatannya sebagai Menhan. Ini penting, karena kunci kemenangan pilpres mutlak ada ditangan masyarakat sebagai calon pemilih.Â
Tapi, apa yang didapat Presiden Jokowi? rasanya tidak banyak. Bahkan, mantan Gubernur DKI Jakarta ini lebih banyak berjibaku sendirian dalam menghadapi beberapa situasi nasional yang mengancam kondusifitas keamanan negara.Â
Sebut saja pada saat terjadi aksi demo besar-besaran menolak Omnibus Law UU Ciptaker di beberapa daerah. Kemudian, keriuhan yang diakibatkan oleh Habib Rizieq dan Front Pembela Islam (FPI). Prabowo Subianto hanya bisa diam. Begitu pula, saat anak buahnya seperti Fadli Zon dan Habiburokhman kompak membela FPI dan menyentil pemerintah. Prabowo tak berkutik. Padahal, semestinya itu semua menjadi tugas Prabowo sebagai Menhan dalam menangani massa aksi serta keriuhan FPI dan kewajibannya pula sebagai ketua umum partai kala anak buahnya berulah.Â
Timbul dugaan, Prabowo sedang tersandera oleh kepentingan politik dua kaki. Dia dinilai banyak pihak, sebenarnya tidak betul-betul patuh dan membela Presiden Jokowi. Ada satu kakinya yang masih dia jejakan di kubu oposisi. Khususnya kelompok islam yang pernah mendukungnya pada dua pilpres sebelumnya. Dengan kata lain, Prabowo kemaruk. Dia ingin mendapatkan suara dari kedua belah pihak. Tentu, maksudnya guna memuluskan syahwat politiknya menjadi orang nomor satu di tanah air.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!