BAGI rekan Kompasianer lain, boleh saja menganggap Pak Tjiptadinata Effendi sebagai sosok insfiratif dan memujinya setinggi langit. Namun, saya justeru menganggapnya sebagai orang jahat. Sesuai dengan judul artikel di atas. Kesannya provokatif, bukan?Â
Namun, para sahabat Kompasianer jangan dulu gampang memvonis saya sebagai orang tak berhati dan tidak tahu diri. Agar tidak gagal paham, lebih baik simak dulu apa yang terkandung dalam tulisan saya ini.Â
Jujur, bagi saya Pak Tjip itu jahat. Sebab, beliau adalah orang yang tak ada henti-hentinya mengapresiasi setiap artikel yang saya posting, di blog keroyokan ini. Sementara saya sendiri selaku anak ingusan, malah tak tahu diri. Karena beragam alasan yang tak mungkin saya sebutkan, seringkali tidak sempat mampir ditulisannya yang sarat dengan pengalaman hidup yang inspiratif.Â
Hal ini jujur saja membuat saya malu sendiri. Kenapa orang sesepuh Pak Tjip masih mampu mengapresiasi setiap artikel yang ditulis para kompasianer. Sementara, saya yang usiannya jauh lebih muda malah tidak ada seujung kukunya Pak Tjip soal memberikan apresiasi terhadap rekan, sahabat, atau saudara Kompasianer.Â
Karena telah membuat saya malu dan sadar akan pentingnya tali silaturahmi, Meski hanya lewat alam maya. Pak Tjip benar-benar jahat telah "membunuh" ego saya yang masih tinggi.Â
Bagi saya, Pak Tjip itu jahat. Karena konsistensinya menulis di Kompasiana membuat saya harus terpaksa pontang-panting menyisihkan waktu yang tidak banyak ini untuk menulis di Kompasiana.Â
Jelas, sebagai anak yang lebih muda tidak mau kalah dengan konsistensi Pak Tjip. Akibatnya, saya terpaksa mengorbankan waktu dalam setiap kegiatan apapun. Cape, Pak! He .. He .. He.Â
Namun, tentu itu dulu waktu saya masih awal-awal bergabung dengan Kompasiana. Ego saya tak mau kalah dengan konsistensi menulis Pak Tjip. Interaksi beliau yang begitu aktif dengan sesama Kompasianer telah membuat saya tak berkutik dibuatnya. Sekalinya mencoba untuk melakukan apa yang Pak Tjip lakukan, banyak hal yang harus dikorbankan.Â
Lambat-laun perasaan itu terkikis habis. Orang bijak mengatakan, "Ala bisa karena biasa. Biasa karena terpaksa" ternyata benar adanya.Â
Sosok Pak Tjip akhirnya mampu membuat saya menjadi biasa menulis di Kompasiana. Bahkan, bukan narsis atau sejenisnya. Perasaan ada yang mengganjal di hati bila sehari saja tak mengirim tulisan di Blog keroyokan ini.Â
Pak Tjip tidak pernah sekalipun memaksa saya untuk menulis di Kompasiana. Namun, konsistensinya dengan usia sesepuh itulah yang membuat saya akhirnya memutuskan mengikuti jejaknya.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!