APARAT kepolisian Polda Metro Jaya telah menggelar rekontruksi aksi bentrokan antara polisi dengan Front Pembela Indonesia (FPI) yang mengakibatkan enam orang laskar pendukung Habib Rizieq Shihab (HRS) tewas ditembak. Peristiwa itu sendiri terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50, Senin dini hari (7/12).Â
Guna menghindari kecurigaan dan mengedepankan transfaransi atas terjadinya peristiwa dimaksud, pihak kepolisian mengundang beberapa pihak untuk turut menyaksikan reka ulang. Sebut saja, Kompolnas, insan pers, Komnas HAM serta Kontras.Â
Undangan tersebut disambut baik, kecuali Komnas HAM. Entah apa maksudnya, padahal sejatinya rekonstruksi ini cukup penting guna menambah informasi yang mereka butuhkan. Baik itu sebagai pelengkap data atau pembanding dari informasi yang mereka gali sendiri.Â
Ketidakhadiran lembaga yang bergerak pada soal hak asasi manusia ini mengundang sejuta tanya. Bahkan, sebagian pihak ada yang menduga bahwa alasan mereka sangat mencurigakan dan terkesan menghindar dari fakta hukum menurut kepolisian.Â
"Kami tidak bisa mengikuti untuk malam ini. Saya dan tim sedang mengkonsolidasi temuan sementara penyelidikan dari berbagai sumber, termasuk hasil olah TKP pendalaman pertama yang kami lakukan selama 2 hari kemarin," kata Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Choirul, Minggu (13/12). Dikutip dari Suara.com.Â
Jika alasan tidak hadirnya Komnas HAM karena sedang melakukan penyelidikan rasanya terlalu mengada-ada. Betapapun, hasil rekontruksi kejadian dari kepolisian tidak harus diakui sebagai fakta sebenarnya.
Bila memang mereka punya bukti kuat, tentu dengan adanya rekontruksi tersebut di atas bisa dijadikan pembanding dari fakta-fakta yang mereka miliki. Dengan begitu, bisa saja mereka punya alasan kuat untuk menyalahkan pihak kepolisian.Â
Namun, apa yang tampak Komnas HAM sepertinya tidak percaya dengan pihak kepolisian sehingga terkesan tidak membutuhkan hasil rekontruksi. Mereka lebih percaya dengan kemampuan dan sumber yang terbatas. Komnas HAM lebih memilih untuk menyelidiki sendiri. Tapi, lucunya pada saat berbarengan mereka malah mengemis informasi dari publik.Â
Jika fakta dan data pihak kepolisian dianggap tidak benar, apa yang mereka harapkan dari informasi publik. Yang ada bisa-bisa memperoleh data salah atau memang telah mempunyai niat lain. Misal mengarahkan masyarakat untuk memberikan informasi sebagaimana mereka harapkan.Â
Meski sempat dibantah langsung, cara-cara seperti ini pernah dilakukan wartawan FNN, Edy Mulyadi. Cukup viral di media sosial, dia membayar saksi mata untuk memberikan keterangan yang berlawanan dengan pihak kepolisian. Dan, membenarkan pernyataan versi FPI.Â
Pertanyaannya, mungkinkah Komnas HAM juga ingin memaksakan kehendak dengan menggali informasi sesuai dengan keinginannya. Kemudian dijadikan senjata untuk menghantam keterangan versi polisi?