Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ini Kisah tentang "Utak-atik" Hukum Kasus Novel dan Pengrajin Tanah Liat

15 Juni 2020   12:35 Diperbarui: 15 Juni 2020   12:41 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DALAM beberapa waktu terakhir, publik tanah air tengah hangat-hangatnya membahas tentang rendahnya dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Fredrik Akbar Syarippudin terhadap Brigadir Rahmat Kadir Mahulette dan Brigadir Rony Bugis, terdakwa kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Betapa tidak, oknum yang selama hampir 3 tahun lamanya menjadi buron dan membuat segenap elemen hukum tanah air terutama aparat kepolisian di buat sibuk dan linglung hanya dituntut satu tahun penjara oleh JPU Fredrick.

Sontak, tak sedikit kalangan atau praktisi hukum yang kaget dan merasa ada yang salah dengan tuntutan tersebut. Mereka menilai, putusan itu janggal dan penuh sandiwara.

Persis seperti kasusnya sendiri yang layaknya sebuah pagelaran opera sabun. Penuh intrik dan drama yang membuat kita merasa lucu.

Ya, sebelum pada akhirnya tertangkap dua tersangka. Perburuan terhadap pelaku kasus penyiraman air keras pada Novel tak ubahnya mencari jarum dari tumpukan jerami. Sulit, dan menghabiskan banyak waktu.

Jamak jika akhirnya Presiden Jokowi kala itu sampai turun tangan dan memerintahkan pada Kapolri (masih dijabat Tito Karnavian) untuk segera menemukan pelakunya.

Apa yang terjadi jauh panggang dari api, kasus Novel Baswedan tetap saja mangkrak. Hingga pada saat hendak pelaksanaan Pilpres 2019 lalu, Presiden mengultimatum Tito Karnavian segera memecahkan kasus tersebut.

Karena, tak sedikit pihak yang memanfaatkan kasus ini sebagai serangan politiknya terhadap Jokowi.

Atas dasar itu, sekira bukan Januari 2019 dibentuklah tim yang beranggotakan unsur Polisi, KPK, Akademisi, LSM, Komnas HAM, dan mantan Pimpinan KPK, dengan Jenderal Tito Karnavian sebagai penanggung jawab timnya.

Hasilnya? Lagi-lagi buram. Tim ini tak mampu menemukan dan menangkap pelaku. Bahkan, motif dari serangan penyiraman air keras terhadap Novel pun masih abu-abu.

Saat tongkat kepemimpinan Kapolri beralih pada Idham Azis, Jokowi diminta untuk segera membentuk tim independen oleh KPK. Belum sempat tim ini dibentuk, tanggal 26 Desember 2019, polisi malah berhasil menangkap pelakunya.

Kasus High Profile

Dengan segala rentetan peristiwa atau perjalanan kasus, peyiraman air keras terhadap Novel Baswedan jelas bukanlah kasus biasa, tetapi kasus besar yang masuk dalam kategori high profile.

Biasanya dalam kasus yang begitu banyak menyedot perhatian publik, aparah hukum yang terlibat menangani kasus ini akan bekerja extra hati-hati untuk menghindari kesalahan agar tidak mengecewakan masyarakat.

Benar, dalam tuntutannya, kedua pelaku tersebut dinyatakan bersalah oleh JPU. Dakwaan yang ditibankan adalah Pasal 353 ayat (2) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang penganiayaan dengan rencana terlebih dahulu yang mengakibatkan luka-luka berat.

Hanya saja menjadi lucu melebihi lawakan Overa Van Java dan Srimulat, dalam tuntutannya Jaksa menilai Rahmat Kadir tak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel Baswedan.

Dengan begitu dakwaan primernya tidak terpenuhi, sehingga tuntutan jaksa hanya satu tahun penjara.

Inilah keanehannya, bagaimana bisa dengan segala persiapan yang dilakukan dari mulai merancang rencana, bolak-balik mengintai lokasi itu dilakukan tak sengaja.

Hal ini seperti mengamini anggapan banyak pihak bahwa kasus Novel memang penuh rekayasa. Semua rentetan kejadian dari mulai penangkapan hingga persidangan tak lebih dari sandiwara agar publik melihat  kasus Novel sudah ditangani dengan baik.

Bahkan, ahli hukum tata negara, Refly Harun pun tak lepas mengomentari kejanggalan yang terjadi atas rendahnya tuntunan kasus Novel.

Menurutnya, tuntutan satu tahun terhadap dua penyerang Novel itu melecehkan dan menghina hukum. Padahal, dalam peristiwa penyiraman air keras itu telah memenuhi empat unsur yakni niat, alat, akibat dan kenakan petugas.

"Kok cuman dituntut 1 tahun padahal rasanya niat ada, alat yang digunakan itu berbahaya, kemudian akibat yang ditimbulkan luar biasa kebutaan dan kemudian dilakukan petugas. Ini pasti ada kaitan dengan jabatan Mas Novel sebagai penyidik KPK. Nah 4 unsur itu sudah terpenuhi kenapa tuntutan hanya 1 tahun? Ini kan seperti menghina akal sehat publik," ujar Refly. Dikutip dari detikcom.

Masih dikutip dari detikcom, Refly berharap bila kedua terdakwa itu merupakan pelaku sebenarnya maka harus dihukum seberatnya. Sebab, ia mengatakan penyiraman air keras itu memiliki dampak sangat luar biasa terhadap Novel Baswedan.

"Niat sudah ada, karena bangun subuh-subuh ke sini, alatnya air keras itu yang diyakini, kemudian itu ama bahayanya demgan senjata tajam, akibatnya kalau tidak segera dioperasi tadi Mas Novel bilang biasa meninggal karena sulit bernapas, yang keempat petugas. Kalau memang pelakunya itu ya harus dihukum seberat-beratnya, harusnya percobaan pembunuhan tapi kalau bukan dia dan tidak ada keyakinan dari hakim dan jaksa, orang yang bersangkutan itu jangan dijadikan ini untuk case closed. Ini kasus masih misterius seperti kasus Munir dan Marsinah," ungkapnya.

Hukum Ibarat Tanah Liat

Tak urung dengan rendahnya tuntutan terhadap dua pelaku penyiraman air keras Novel Baswedan ini menjadi bulan-bulanan dan cemoohan publik.

Penanganan hukum di tanah air yang sebelumnya selalu menjadi sorotan tajam publik semakin keruh saja.

Jika ada adagium bahwa hukum itu ibarat pisau yang tajam ke bawah dan tumpul le atas, penulis lebih senang menganalogikannya, bahwa hukum di tanah air ibarat tanah liat. Dimana para perangkat hukum adalah sebagai pengrajinnya.

Sebagai pengrajin gerabah atau tanah liat, menjadi hak dan keinginannya untuk menjadikan tanah liat tersebut seperti apa.

Mau dijadikan kendi, pot bunga, coet, maupun barang-barang lainnya tentu saja menjadi haknya. Apalagi, bila si pengrajin tersebut mendapatkan order atau pesanan khusus, sudah barang tentu dia akan mengerjakan orderannya itu sesuai pesanan. Dan, akan berbuat yang terbaik demi mendapatkan keuntungan.

Pun yang terjadi pada perangkat hukum yang menangani kasus Novel Baswedan. Bukan menuduh, tapi bisa jadi dalam proses hukum yang berlaku ada pihak-pihak yang memesan agar dua terdakwa itu jangan sampai di hukum berat. Dengan demikian penegakan hukumnya pun disesuaikan sesuai "pesanan".

Alasannya? Jelas akan banyak faktor yang melatarbelakanginya. Yang pasti, jika kasus ini hanya spontan atau dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan di belakangnya, rasanya tidak akan sepelik dan selama ini dalam cara pengungkapan hingga penangkapan tersangkanya.

Seperti diketahui, aparat kepolisian termasuk jajaran penegak hukum di Indonesia sudah super canggih. Mereka selalu bisa bergerak cepat dan sukses mengungkap kasus jika dihadapkan pada kasus-kasus yang tidak melibatkan orang kuat.

Tapi kenapa jika bersentuhan dengan kasus Novel dan kasus-kasus lainnya yang diduga melibatkan orang-orang besar, para penegak hukum seolah kehilangan cakar dan taringnya. Tak mampu berbuat banyak. Tentu ini menjadi tanya besar.

Fredrik jadi Bahan Cemoohan

Sebagai JPU, Fredrik awalnya diharapkan bisa memberikan tuntutan hukum yang seberat-beratnya. Tapi apa lacur, harapan itu kandas. Fredrik malah memberikan tuntutan yang membuat kaget dan janggal. Bahkan ada pihak yang menyebut bahwa  Fredrik sebagai JPU rasa kuasa hukum.

Kini, Fredrik selaku JPU menjadi bulan-bulanan cemoohan publik, terutaman warganet. Kehidupan pribadinya mulai diutak-atik.

Bisa jadi apa yang dilakukan Fredrik ini sebagai  ulah pribadi, namun kemungkinan besarnya dia hanyalah pion dari skenario besar.

Kenapa?

Sebagai JPU dari kasus high profile, sudah barang tentu dia bakal berkoordinasi dengan perangkat hukum di atasnya. Misal Kejaksaan Tinggi hingga Kejaksaan Agung.

Kita tunggu saja, hasil akhir dari drama panjang berkaitan dengan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini.

Apakah pihak hukum akan kekeuh pada tuntutan awal atau ada perubahan. Menarik kita tunggu.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun