Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Abai Jarak Sama Saja Cari Mati

1 April 2020   21:09 Diperbarui: 1 April 2020   21:54 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


PADA bulan Februari hingga awal Maret 2020, Pemerintah Indonesia seolah meremehkan dengan maraknya virus corona (covid-19) yang sudah menjangkiti beberapa negara.

Pemerintah terutama Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto masih menganggap bahwa rakyat Indonesia kebal terhadap virus asal Wuhan, Provinsi Hubei, China ini.

Parahnya, alasan Menteri Terawan kala itu sangat tidak berdasar atau setidaknya tidak ada relevansinya dengan dunia kesehatan. Ya, mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu dengan percaya dirinya menyatakan bahwa doa yang menyebabkan rakyat Indonesia kebal terhadap virus corona.

Tidak hanya Menteri Terawan, bahkan seorang Wakil Presiden, Ma'ruf Amin pun seolah mengamini apa yang diutarakan menterinya itu. Ma'ruf juga menegaskan bahwa kebalnya warga masyarakat Indonesia oleh virus covid-19 karena kekuatan doa kunut.

Meski demikian, pada saat itu pemerintah berikut stake holder yang lain seolah dihipnotis dan percaya saja, memang faktanya belum ada satupun warga negara Indonesia di tanah air yang terkomfirmasi positif terinfeksi virus yang akhirnya menjadi pandemi setelah WHO menetapkannya pada 11 Maret 2020.

Bahkan, saat ada anggapan dari peneliti Universitas Harvard dan salah seorang pejabat tinggi Australia, bahwa seharusnya di Indonesia sudah ditemukan kasus positif, Menteri Terawan kekeuh dengan anggapannya, bahwa Indonesia masih negatif.

Mungkin, berangkat dari keyakinannya tersebut, pemerintah khususnya Kementrian Kesehatan hampir tidak ada antisipasi yang jelas dan tegas guna mencegah virus corona masuk ke tanah air. Kalaupaun ada hanyalah kebijakan-kebijakan normatif, seperti halnya mengukur suhu tubuh setiap orang yang datang dari luar negeri.

Bahkan, saking percaya dirinya, pada pertengahan bulan Februari 2020, pemerintah juga masih sempat mengenjot sektor pariwisata agar banyak dikunjungi oleh para turis, baik asing maupun domestik.

Dari sini saja sudah bisa membuktikan bahwa sebenarnya pemerintah waktu itu abai terhadap adanya ancaman virus corona. Makanya lumrah, tidak ada kebijakan apapun guna mengantisifasi masuknya virus ke tanah air.

Presiden Jokowi Umumkan Kasus Pertama

Waktu itu Senin, (2/3/2020) publik tanah air dikejutkan dengan pengumuman Presiden Joko Widodo (Jokowi), bahwa apa yang selama ini dikhawatirkan masyarakat tanah air terjadi.

Ya, pada saat itu Presiden Jokowi mengumumkan bahwa akhirnya di Indonesia ditemukan dua warga negara Indonesia (WNI) yang positif terinfeksi virus corona. Belakangan diketahui bahwa dua WNI tersebut dua-duanya perempuan, warga asal Kota Depok, Jawa Barat.

Dengan adanya temuan kasus ini, anehnya pemerintah tidak lantas bereaksi cepat. Apa yang dikerjakannya masih dalam tataran normatif. Bahkan, daripada membuat kebijakan-kebijaian yang jelas dan tegas tentang cara penanganan dan pencegahan virus corona, pemerintah malah lebih memilih menggandeng Badan Intelejen Negara (BIN).

Cara ini menurut pemerintah guna melancarkan operasi senyap. Entah apa yang dimaksud dengan operasi senyap tersebut. Namun, yang pasti pemerintah masih menutup diri dengan menutup akses informasi publik terkait hal-hal yang berkaitan dengan virus corona. Baik itu jumlah kasus, sumber wilayah sebaran dan lain sebagainya.

Hasilnya?

Maaf, jika ukurannya jumlah kasus positif, operasi senyap tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Sebab ternyata dua kasus dari Depok itu disusul dengan kasus-kasus positif lainnya, sehingga akhirnya tiap hari terus terjadi peningkatan jumlah kasus.

Social Distancing dan Work From Home

Setelah mendapati kian hari jumlah kasus yang positif terinfeksi virus corona terus bertambah, barulah geliat pemerintah untuk memutus rantai penyebaran virus corona tampak nyata meskipun terlambat. Tapi tidak apa, orang bijak berkata "better late than never" atau lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Dalam hal ini pemerintah mulai membuat beberapa langkah, sebut saja dengan membuat kepengurusan gugus tugas penanganan dan pencegahan virus corona serta menetapkan bahwa mewabahnya virus yang telah menelan puluhan ribu korban jiwa di seluruh dunia ini sebagai bencana nasional non alam.

Tidak berhenti disitu, guna lebih mempercepat pencehagan, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi mengeluarkan anjuran atau himbauan social distancing dan work from home.

Praktiknya, kegiatan belajar mengajar di sekolah diliburkan, bahkan Ujian Nasional (UN) 2020 pun ditiadakan. Tidak hanya itu, kegiatan perkantoran dan peribadatan pun ditutup. Masyarakat dianjurkan untuk belajar, bekerja dan beribadah di rumah dan mengurangi interaksi sosial di luar rumah.

Berhasil?

Maaf, lagi-lagi cara ini pun masih tidak efektif. Mengingat jumlah kasus positif tiap harinya masih terus bertambah, hingga menembus angka seribu orang lebih atau meningkat ratusan kali lipat sejak ditemukan kasus pertama pada 2 Maret 2020 lalu.

Hal ini disebabkan himbaun Presiden Jokowi untuk social distancing dan work from home masih banyak diabaikan masyarakat, terutama dari kalangan masyarakat kecil. Mereka terus memakskan diri keluar rumah untuk bisa menutupi kebutuhan hidup sehari-harinya.

Bahkan akibat adanya himbauan dari Presiden Jokowi ini pula, ribuan masyarakat perantau di Jakarta akhirnya memutuskan mudik ke kampung halamannya masing-masing. Kejadian ini banyak dikhawatirkan banyak pihak bahwa virus ini bakal bereksodus ke desa-desa.

Mereka mudik karena memang di Jakarta tidak bisa melakukan aktifitasnya dengan normal. Sementara jaminan hidup pun tidak jelas.

Pembatasan Sosial Berskala Besar dan Darurat Kesehatan

Menyadari bahwa himbauannya itu tidak efektif dan kurang digubris masyarakat sehingga lonjakan kasus virus corona terus bertambah. Akhirnya pemerintah pusat pun membuat kebijakan baru

Apa itu?

Kebijakan dimaksud diberi nama pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebenarnya aturan ini tidak jauh beda dengan social distancing dan work from home, hanya saja nanti dalam praktiknya dibarengi instrumen lain berupa darurat kesehatan. Artinya, jika PSBB ini dilanggar maka ada sanksi hukum yang bakal diterapkan pada siapapun yang dianggap melanggar.

Seperti dilansir CNNIndonesia, dasar hukum PSBB dan darurat kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,

"Pemerintah juga sudah menerbitkan peraturan pemerintah tentang PSSB dan Keppres penetapan darurat kesehatan masyarakat untuk melaksanakan amanat UU tersebut," kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (31/3).

Hanya saja masalah efektif tidaknya aturan ini tentu saja dikembalikan kembali pada pemerintah. Maksudnya, jika PSBB dan darurat kesehatan ini tidak dibarengi dengan bantuan atau stimulus untuk memastikan masyarakatnya mendapatkan jaminan hidup, rasanya penulis sangsi juga kalau aturan baru ini bisa berjalan efektif.

Hamdalah, pemerintah menyadari hal ini dan siap memberikan bantuan jaminan hidup terhadap masyarakat selama PSBB dan darurat kesehatan ini dilaksanakan. Mudah-mudahan saja hal itu tidak hanya PHP.

Jika memang pemerintah siap menjamin akan segala kebutuhan, tinggal bagaimana masyarakatnya menyadari akan bahayanya virus corona dan menurut himbauan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah. Karena ingat, jika kita abai menjaga jarak dengan orang-orang maka sama saja dengan mencari mati.

Hal ini bukanlah omong kosong belaka. Terbukti, menurut rilis data per hari ini, Rabu (1/4/20) yang disampaikan Juru Bicara khusus penanganan virus corona, Achmad Yurianto, jumlah kasus positif mencapai 1.677 dengan 157 diantaranya meninggal dunia dan 103 orang telah dinyatakan sembuh.

Jika dihitung dari persentase kematian, Indonesia masih cukup tinggi yakni mencapI 9,3%. Ini jelas sangat mengkhwatirkan. Jadi sekali lagi penulis ingatkan, abai jarak sama saja cari mati!

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun