ROMANTISME Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sosial (PKS) yang terjalin waktu Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu akhirnya harus berujung perceraian.
Berakhirnya romantisme kedua partai yang sebelumnya pernah disebut Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra, Prabowo Subianto sebagai teman segajah itu disampaikan anggota Fraksi PKS DPRD DKI, Dany Anwar saat berbincang sengan merdeka.com di DPRD DKI, Jakarta, Rabu (19/2/2020).
"Secara umum akhirnya memang setelah Pak Prabowo bergabung ke koalisinya Pak Jokowi dan Pak Prabowo menyatakan silakan partai koalisi saya untuk menentukan pilihan masing-masing itu sudah selesai urusan koalisi. Saat itu sudah selesai," kata Dany.
Menurut hemat penulis, perceraian kedua partai yang asalnya saling bahu membahu sebagai oposisi pada Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode pertama memang cukup bisa dipahami.
Pasalnya, sebagaimana diketahui bahwa Gerindra dan Prabowo yang dianggap sebagai leader oposisi malah berbelot dan bergabung dengan koalisi pemerintah. Bahkan, sebagai "bonusnya" mantan Danjen Kopasus ini diberi jabatan Menteri Pertahanan (Menhan). Satu lagi jabatan diberikan pada kader Gerindra lainnya, Edhy Prabowo yang didaulat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP).
Jelas, buat PKS sikap yang diambil Prabowo dengan Partai Gerindranya adalah sebuah pengkhianatan. Betapapun, PKS adalah satu-satunya partai yang konsisten mendukung Prabowo dan Gerindra berada di luar pemerintahan.
Bahkan, ketika partai-partai opisisi lainnya saat Pilpres 2014, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Golkar, dan PAN kesengsem dengan posisi di pemerintahan hingga akhirnya bergabung dengan koalisi pemerintah, PKS bergeming dengan putusannya berada di luar pemerintahan.
Sedangkan khusus Demokrat, meski saat ini berada di luar pemerintahan hanya karena tidak diberi jatah saja di posisi pemerintah.
Ya, jika saja Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang kala itu digadang-gadang bakal diangkat menjadi Menteri dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) oleh Presiden Jokowi akhirnya terwujud, penulis meyakini bahwa partai yang didirikan 27 Agustus 2003 ini akan turut bergabung.
Tapi, kembali politik itu tidak ada persahabatan atau pertemanan abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Jadi, penulis menilai, apa yang dilakukan Prabowo dan Gerindra adalah sikap yang wajar dalam politik.
Pastinya, langkah yang diambil oleh Prabowo ini tidak semata-mata tanpa dasar. Jelas merupakan hasil pertimbangan dan perhitungan matang, yang tentu saja bermuara pada kepentingan. Baik itu bagi dia pribadi, partainya atau bahkan bangsa negara.