SENJA itu tak seindah biasanya, tak ada lembayung, hanya awan hitam yang diam seolah sedang bermalas-malasan. Kulihat ibu sedang murung mematung di beranda. Sesekali kaca-kaca di matanya pecah. Namun, ia buru-buru mengusapnya sebelum sempat membasahi pipi.
Semenjak kejadian di malam itu, semuanya berubah. Ibu kini lebih sering diam. Keriput kulit di bawah kantung matanya tampak jelas mengguratkan penderitaan batin yang hebat. Ia terlihat sangat rapuh, meski di hadapanku ia selalu mencoba untuk tetap tersenyum.
Aku masih ingat, saat teriakan dan bentakan ayah dari kamar sebelah itu membangunkan tidurku. Kemudian diakhiri dengan suara pintu kamar yang dibanting keras. Saat itulah terakhir kali aku mendengar suara ayah.
Kurasa akan seperti malam-malam sebelumnya. Di mana ayah datang bersama seorang perempuan. Kemudian terjadi pertengkaran hebat, saling memaki, terdengar bunyi benda-benda pecah, pintu dibanting, dan berakhir dengan isakan. Lalu esok paginya ayah pulang dan ibu menyambutnya seperti tidak terjadi apa-apa.
Begitulah ibu, yang terlalu pintar menyembunyikan perasaan di hadapan anaknya. Sehingga aku yang awalnya ketakutan, sudah mulai menganggapnya sebagai hal biasa yang wajar dilakukan oleh orang dewasa.
Apalah aku?
Aku hanyalah anak kelas 3 yang tak mengerti sama sekali tentang masalah orang dewasa.
Namun, kali ini berbeda. Sejak malam itu, ayah tidak lagi pulang. Setiap kali aku menanyakan tentang ayah, ibu selalu menjawab bahwa ayah sedang ada urusan di luar kota.
"Tapi kapan ayah akan pulang, Bu?
"Jangan banyak tanya. Ibu capek kerja seharian. Tidur sana!"
Dengan gontai aku berjalan menuju kamar.