CUKUP beralasan, jika Anies Baswedan pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina, Jakarta. Terus pernah dipercaya menjadi Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan pada Kabinet Jokowi jild pertama. Soalnya, dia memang sangat jago bersilat lidah ataupun berdebat. Narasi-narasi yang dirangkainya hampir selalu bisa diterima dengan nalar.
Termasuk cara mengeles dari kasus-kasus yang mendera dirinya saat ini, terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daeraah (RAPBD) Tahun 2020.
Seperti diungkapkan anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana, bahwa ada beberapa item anggaran yang janggal atau aneh, pada situs APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta anggaran yang janggal. Terutama terkait anggaran pengadaan aibon yang nilainya mencapai Rp. 82,8 milyar.
Anggaran pengadaan ini, rencananya akan dibagikan ke masing-masing sekolah yang ada di DKI Jakarta.
Sontak, pengakuan Aditya Sarana tentang kejanggalan anggaran pengadaan aibon yang diposting melalui akun twitternya ini mendapatkan beragam tanggapan dari warganet dan menjadi trending topic.
Bahkan, menurut catatan Kompas.com, aibon banyak dicari oleh warganet melalui mesin pencari, google.
Namun, alih-alih merasa bertanggung jawab atas adanya penganggaran kontroversial dan mencari solusinya, Â Anis malah menutup situs APBD dan menyalahkan sistem yang dianggapnya tidak smart.
Mirisnya, Mantan Menteri Pendidikan dan kebudayaan ini ikut menyeret nama Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
Dia menyebut, sistem e-Budgeting yang dianggapnya tidak smart ini adalah warisan Ahok sewaktu masih menjabat gubernur.
Merasa disindir, Ahok pun tidak tinggal diam. Sepeti ramai diberitakan dalam media online, mantan Bupati Belitung ini pun lantas buka suara.
Menurutnya sistem e-Budgeting akan berjalan baik jika tidak ada niat melakukan korupsi. Dalam hal ini, sistem ini akan berjalan dengan baik jika diimbangi dengan adanya keterbukaan atau transfaransi.
Menurut penulis, kalimat Ahok di atas tadi boleh jadi bukan asal ngomong. Namun, sebagai bentuk sindiran balik pada Anies yang sudah menyeret kebijakannya waktu memimpin DKI Jakarta.