SETELAH Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) akhirnya memastikan diri bergabung dengan koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dan belum pastinya posisi yang akan diambil PAN dan Demokrat, membuat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya partai politik (Parpol) yang secara tegas berdiri di luar ring pemerintahan.
Bagi PKS, menjadi partai oposisi bukankah hal baru. Pada masa pemerintahan Jokowi jilid pertama pun, partai ini telah memposisikan diri sebagai partai penyeimbang pemerintah yang berada di luar ring pemerintahan.
Konsistensinya sebagai partai oposisi patut diacungi jempol. Tidak seperti PPP dan Golkar yang akhirnya merapat ke pemerintah, PKS konsisten dengan prinsipnya. Namun, kebulatan tekad PKS menjadi partai oposisi tidak lepas dari Gerindra yang juga bergeming dengan statusnya sebagai tukang kritik pemerintah.
Kini, konsistensi PKS baru teruji. Saat Gerindra dipastikan bergabung dengan koalisi pemerintah ditambah dengan masih gamangnya PAN dan Demokrat, PKS dengan tegas mendeklarasikan diri tetap sebagai partai oposisi.
Bagi penulis, terlepas dengan banyaknya suara nyinyir terhadap partai ini, lantaran niatnya jadi oposisi disebut-sebut bukan karena ideologi. Tapi tidak pernah adanya ajakan untuk bergabung dengan pemerintah. Langkah yang diambil PKS, cukup menyelamatkan wajah demokrasi tanah air. Bagaimanapun juga, guna mewujudkan pemerintahan demokrasi yang sehat memang mensyaratkan adanya oposisi yang bertindak sebagai check and balances pemerintah. Dan, PKS siap melakukan fungsi tersebut untuk lima tahun kedepan. Meski penulis lihat, tugas yang dipikul PKS sebagai partai oposisi sangatlah berat.
Jadi, sekali lagi penulis tekankan, langkah politik yang diambil PKS untuk menjadi partai oposisi adalah tindakan yang berani. Bagaimanapun berada di luar ring pemerintahan berarti harus siap tidak mendapat kue jabatan apapun.
Tidak semua partai berani menempuh resiko seperti itu. Contohnya, Gerindra yang dianggap partai paling kontra dengan pemerintah, ujung-ujungnya melunak dan bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi.
Adapun satu keuntungan yang bisa diraup PKS sebagai oposisi adalah investasi politik untuk 2024. Partai ini boleh berharap simpati dan limpahan suara dari masyarakat "anti Jokowi", yang selama lima tahun terakhir ini dikendalikan oleh Gerindra.
Meski begitu, PKS dengan posisinya sekarang sebagai partai oposisi sangatlah lemah. Dengan asumsi PAN dan Demokrat bergabung dengan pemerintah, kursi PKS di parlemen yang hanya 50, jelas kalah jauh dibanding dengan partai koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf yang berjumlah 525 kursi.
Hal ini disadari betul oleh para petinggi PKS. Maka, untuk mensiasati kelemahannya ini, PKS mencoba meminta dukungan non parpol agar sama-sama mengawal dan mengkritisi pemerintah.
Diakui Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera kepada CNN Indonesia, fihaknya akan mengajak berbagai elemen masyarakat seperti Presidium Alumni (PA) 212 dan Front Pembela Islam (FPI) hingga GNPF Ulama untuk menjadi oposisi selama lima tahun ke depan.