SPEKULASI bergabungnya partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dengan koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jilid dua terjawab sudah.
Kepastian ini ditandai dengan dipanggilnya Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umumnya, Edhy Prabowo. Diduga kuat, pemanggilan mereka berdua ke Istana Merdeka, Senin (20/10) itu untuk diberikan amanat menjadi menteri di kabinet kerja Jokowi-Ma'ruf Amin.
Meski ramai dibincangkan bahwa Edhy Prabowo akan diplot menjadi Menteri Pertanian, tapi hal tersebut masih belum jelas. Semuanya diserahkan pada Presiden Jokowi selaku pemegang hak prerogatif. Lain halnya dengan Prabowo Subianto.Â
Dengan lugas, mantan rival Jokowi pada dua kontestasi Pilpres (2104 & 2109) tersebut, menyebutkan, bahwa dirinya diberikan tugas membantu Presiden Jokowi di bidang pertahanan. Ini berarti, besar kemungkinan, jabatan yang akan diberikan Jokowi adalah Menteri Pertahanan (Menhan).
Rupanya, masuknya Prabowo ke koalisi pemerintahan Jokowi sekaligus menjabat menteri, menuai pro kontra.
Dari pihak yang pro, masuknya Prabowo ke pemerintahan, menilai akan bisa meredam gesekan yang terjadi di antara dua kubu pendukung dan lebih mempererat tali kebangsaan penduduk tanah air.
Sementara dari pihak kontra, ada berbagai alasan yang mencuat, yaitu:
PERTAMA : Para pendukung akar rumput Prabowo yang masih belum move on seakan tidak rela jika pimpinananya itu bergabung ke pemerintahan. Mereka lebih suka tetap di luar pemerintahan dan menjadi oposisi sebagaimana telah dilakukannya pada periode pemerintahan Jokowi jilid pertama.
KEDUA : Pihak kedua yang kontra ini datang dari pihak-pihak pro demokrasi dan beberapa pengamat. Bergabungnya Gerindra ke koalisi pendukung Jokowi akan berdampak pada lemahnya check and balances terhadap pemerintahan. Dikhawatirkan, jika fungsi kontrol lemah akan terjadi pemerintahan yang absolut, dan ini tidak sehat untuk iklim demokrasi.
KETIGA : Berkaitan dengan judul artikel di atas. Yaitu, datang dari para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka tidak setuju dengan masuknya Prabowo ke lingkaran pemerintah dan diangkat menjadi pembantu presiden. Lantaran, dengan masuknya Prabowo menjadi jajaran kabinet akan lebih mempersulit proses penanganan HAM yang diduga kuat pernah dilakukan mantan Danjend Kopasus ini di masa masih aktif menjadi anggota TNI.
Alasan kontra ketiga ini diperkuat oleh Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati. Kepada TEMPO, perempuan asal Bitung, Sulawesi Utara ini mengatakan, jika Prabowo didafuk jadi Menhan, menunjukan pemerintah abai terhadap dugaan pelanggaran HAM.