Mohon tunggu...
Elang Maulana
Elang Maulana Mohon Tunggu... Petani - Petani
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hanya manusia biasa yang mencoba untuk bermanfaat, bagi diri dan orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menagih Janji Revolusi Mental Jokowi Jilid II

21 Oktober 2019   12:16 Diperbarui: 21 Oktober 2019   12:58 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Tribunnews.com

MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.

Sedangkan Mental adalah bentuk kata sifat, yang menurut KBBI adalah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga.

Jadi kalau boleh ditarik kesimpulan, revolusi mental berarti perubahan cara berfikir dalam waktu singkat untuk merespon dan bertindak. Dalam hal ini, revolusi mental adalah suatu gerakan perubahan secara cepat dan massif, untuk mengubah sikap mental masyarakat secara menyeluruh, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal tersebut dimaksudkan, agar cita-cita bangsa menuju masyarakat yang adil, makmur serta bangsa yang berdaulat secara politik, mandiri dalam perekonomian dan berkepribadian dalam kebudayaan dapat tercapai. Oleh karena itu bagi seluruh penyelenggara negara tanah air sejatinya mampu melakukan perubahan yang cepat dan menyeluruh di masing-masing instansinya.

Sikap mental penyelenggara Negara hendaknya dirombak total. Sebut saja, sikap korup, serakah, tidak bertanggung jawab, lambatnya pelayanan terhadap masyarakat karena birokrasi yang panjang.

Sedikit pemaparan penulis di atas adalah bentuk revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada jargon politiknya saat kontestasi Pilpres 2014 lalu. Menurut mantan Gubernur DKI ini, revolusi mental urgent dilaksanakan mengingat karakteristik bangsa yang terkenal santun, berbudi pekerti, ramah dan bergotong royong telah tergerus perkembangan zaman.

Tak bisa dipungkiri, karakterisitik bangsa yang seperti Jokowi sebutkan tadi cenderung melemah. Imbasnya para penyelenggara negara tak sedikit yang keluar dari koridor tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. Mereka cenderung asik dengan dunianya dan lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan golongannya. 

Akibatnya, prilaku korup terjadi di segala institusi, bahkan cengkramannya sampai ke institusi hukum. Pelanggaran-pelanggaran HAM masih seringkali dilakukan aparat, hukum masih cenderung tajam ke atas tumpul ke bawah, menjadi probematika yang sudah menggurita, birokrasi lamban dan panjang membuat masyarakat tercekik karena tak jarang di dalamnya terjadi pungutan liar. Istilahnya, ada duit urusan kelar, tak ada duit urusan melar.

Dampak dari semua prilaku para penyelenggara yang tidak bertanggungjawab seperti itu adalah terlambatnya perkembangan ekonomi, lemahnya kesejahteraan rakyat serta amburadulnya pembangunan infrastruktur.

Maka, pantaslah salah satu program utama Jokowi kala itu adalah mengamputasi sel-sel institusi dan penyelenggara negara agar perilaku-prilaku serta sistim birokrasi yang tidak epektif, dengan cara merevolusi mental seluruh jajaran sampai ke tingkat daerah.

Tidak hanya menyisir para penyelenggara negara, revolusi mental ala Jokowi juga berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Hal ini tentunya tak lepas karena sering terjadinya gesekan-gesekan di antara kelompok masyarakat, SARA kerap kali menjadi pemicu bentrokan. 

Kenapa?...Karena seperti di utarakan Jokowi, karakteristik bangsa sudah tergerus perkembangan zaman.

Lantas, apakah revolusi mental yang dimaksudkan Jokowi selama lima tahun pemerintahannya di periode pertama, berhasil?...

Proses reformasi birokrasi terkait dengan perizinan agar menghadirkan iklim investasi yang kondusif bagi fihak swasta, boleh dibilang cukup berhasil. Hal ini tak lepas, dari kebijakan Jokowi dengan mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait percepatan dan perbaikan pengurusan izin investasi di dalam negeri.

Tapi di sisi lain, rasanya revolusi mental ala Jokowi masih belum sesuai ekpektasi. Lantaran, penulis lihat, Jokowi justeru difokuskan pada pembangunan infrastruktur.

Prilaku sosial masih lemah diberbagai lapisan masyarakat, baik penyelenggara negara, pemuka masyarkat, pimpinan partai politik, bahkan masyarakat biasa telah membawa bangsa ini kepada begitu banyak krisis. Perilaku korup seolah telah menjadi budaya. Ini  sebagai akibat dari mengakarnya sifat materialisme, sifat cinta diri, sehingga jabatan yang disandang cenderung menjadikannya lupa daratan alias tidak lagi mampu menguasai nafsu serakahnya.

Sudah tak terhitung banyaknya kerugian negara yang diakibatkan perbuatan aparatur negara yang tidak bertanggungjawab. Kolusi dan Nepotisme telah dibangun dengan menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara yang inkonsitusional, mencederai demokrasi, bahkan melawan hukum dilakukan  demi mengejar napsu kekuasaan. Akhirnya korupsi tumbuh subur, tidak terkendali karena diberi ruang, dipelihara, dan bahkan dilindungi oleh pemangku kekuasaan.

Penyakit sosial yang kronis ini, perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintahan Jokowi di periode keduanya. Pemberantasan korupsi haruslah dilakukan secara cepat dan massif. Tentunya, UU KPK hasil revisi yang disahkan DPR bersama pemerintah, 17 September 2019 lalu tidak termasuk di dalamnya. Karena, justeru menurut sejumlah fihak, UU KPK baru tersebut berbanding terbalik dengan program Jokowi tentang pemberantasan korupsi.

Sejatinya, penegakkan aturan pada instansi hukum hendaklah menjadi keutamaan. Pembersihan aparat hukum, perbaikan aturan dan institusi perlu mendapat perhatian dari Presiden. Sangsi yang berat dengan penanganan yang ekstra cepat harus diterapkan.

Dianggap kurang berhasilnya revolusi mental di periode pertama Jokowi, juga disoroti Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera. Kepada CNN Indonesia, Mardani menilai, janji Presiden Jokowi terkait revolusi mental pada kepemimpinannya 2014-2019 tidak tercapai.

Ia lantas meminta kepada Jokowi agar penerapan janji revolusi mental dan tugas besar lain yang tidak tercapai di periode sebelumnya juga harus mampu di tuntaskan di periode kedua masa pemerintahannya, 2019-2024.

"Penerapan janji Revolusi Mental dan pekerjaan besar yang tidak tercapai di periode sebelumnya juga harus di tuntaskan di tuntaskan. Insya Allah tanggal 20 Oktober Pak Jokowi-Ma'ruf [Amin] akan dilantik. Saya berharap janji yang tidak terealisasikan pada periode lalu harus bisa dituntaskan di periode ke II ini tidak boleh ada alasan lagi," Kata Mardani dalam keterangan tertulis, sebelum dilaksanakannya pelatikan Presiden Jokowi dan wakilnya, Ma'ruf Amin, Jum'at, (18/10).

Masa pemerintahan Presiden Jokowi bersama Ma'ruf Amin baru berumur satu hari. Semoga bisa bergerak cepat, agar apa yang dijanjikannya bisa terealisasi pada periode 2019-2024, hingga mampu membawa Indinesia menjadi negara maju dari berbagai aspek. Baik, hukum, ekonomi, sosial, pokitik dan iklim birokrasi yang profesional dan sebenar-benarnya menjadi pelayan masyarakat. Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun