PELANTIKAN Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakilnya, Ma'ruf Amin sudah bisa dipastikan akan dilangsungkan pada Ahad, (20/10). Ini tentunya bukan semata-mata penegasan kemenangan Jokowi dan partai politik pendukungnya, melainkan kemenangan rakyat Indonesia seutuhnya. Dengan kata lain, sejatinya tidak ada lagi istilah cebong dan kampret, yang ada adalah bangsa Indonesia. Kenapa penulis masih menyentil kedua istilah ini? Ya, karena di akar rumput tidak sedikit yang masih berseteru. Hal ini kalau tidak secepatnya dipersatukan kembali, bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik yang bisa mengganggu stabilitas keamanan nasional.
Berbeda dengan Ma'ruf Amin, khusus bagi Jokowi, pelantikan nanti adalah yang kedua kalinya, setelah sebelumnya pada tahun 2014 silam, mantan Walikota Solo ini juga pernah mengalami hal serupa bersama pasangannya, Yusuf Kalla. Kita doakan, prosesi pelantikan yang bakal dilakukan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini berjalan dengan aman, tertib dan lancar.
Kaitannya dengan topik pilihan Kompasiana pekan ini, ada beberapa hal yang akan coba penulis ungkapkan. Yaitu, tentang permasalahan yang diprediksi akan mengganggu kinerja Jokowi Jilid II. Bagaimanapun, kita tidak bisa menutup mata, bahwa kinerja Jokowi selama masa periode 2014-2019 lalu tidak lancar-lancar amat. Ada beberapa masalah yang mau tidak mau harus segera dibereskan pada periode keduanya.
Pertama, hal paling mendesak tentunya terkait tuntutan elemen masyarakat, penggiat anti korupsi dan mahasiswa tentang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut kembali UU KPK hasil revisi yang telah disahkan DPR bersama pemerintah, 17 September 2019 lalu.Â
Bagaimanapun, Jokowi harus segera mengambil sikap tegas tentang penerbitan Perppu ini, jangan lagi tersandera oleh kepentingan politik. Sebab resikonya bagi Jokowi, jika mengganggap sepele tentang tuntutan penerbitan Perppu, akan dicap sebagai presiden yang tidak pro rakyat. Terlepas dengan segala kekurangannya, KPK adalah lembaga yang sudah begitu dekat dengan rakyat. Wajar, jika akhirnya sense of belonging rakyat terhadap lembaga antirasuah ini begitu besar.
Apalagi, semasa pemerintahan Jokowi periode lalu, kasus-kasus korupsi sepertinya menjamur. Ini terbukti dengan banyaknya pejabat tinggi, kepala daerah dan anggota dewan yang dicokok KPK. Menurut catatan Indonesian Coruption Watch (ICW), selama lima tahun pemerintahan Jokowi, ada 23 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR RI, dua kasus melibatkan menteri, dan 85 kepala daerah. Ini belum termasuk empat pejabat yang berhasil dicokok KPK paska disahkannya UU KPK hasil revisi. Artinya, permasalah korupsi menjadi PR besar bagi Jokowi di jilid ke duanya.
Kedua, yaitu tentang gemuknya partai pendukung. Sepintas, dengan banyaknya partai politik yang mendukung Jokowi di parlemen akan mampu memuluskan program-program Jokowi dalam tata kelola pemerintahannya. Namun, perlu diingat oleh Jokowi bahwa partai politik rumusnya jelas tidak ada kawan sejati maupun lawan permanen, semuanya selalu didasari dengan "kepentingan".Â
Dalam hal ini, jika Jokowi tidak hati-hati me-maintanance parpol pendukungnya, bukan tidak mungkin akan menjadi senjata makan tuan. Akibatnya, Jokowi akan terjebak pada lingkaran kepentingan partai politik dan terus tersandera. Jika ini terjadi, program-program yang telah disusun dengan rapi pun akan berantakan jika tidak sejalan dengan kepentingan Parpol.Â
Mengapa penulis berpikiran seperti ini?...Karena partai politik dan politisi didalamnya selalu mempunyai hidden agenda untuk kepentingan pribadi dan golongannya, yang biasanya kontradiktif dengan kepentingan rakyat. Kepentingan tersembunyi ini yang patut diwaspai Jokowi.
Ketiga, faktor keamanan. Menjelang detik-detik akhir pemerintahan Jokowi Jilid pertama, telah terjadi beberapa kekisruhan yang menyebabkan banyak korban jiwa, bukan menafikan peristiwa di Wamena dan daerah lainnya, tentunya yang paling perlu mendapatkan perhatian lebih adalah konflik yang terjadi di Papua.
Apa yang terjadi di Papua, menurut penulis bukan semata-mata masalah rasis. Masalah tersebut hanya dijadikan pemantik menuju tujuan sebenarnya, yaitu ada sebagian kelompok yang menginginkan Papua Merdeka. Hal ini tentunya bukan lagi rahasia umum. Jelas, ini bukan perkara mudah bagi Jokowi. Dia harus bisa memeras otak dan berlaku bijak terhadap penanganan kasus Papua. Jangan sampai, kasus Timor-Timur kembali terulang.