AJANG kejuaraan sepakbola paling akbar di dunia, world cup 2022, sepertinya akan kembali menjadi mimpi di siang bolong bagi Timnas Garuda dan seluruh pencinta sepak bola tanah air. Betapapun, dua kali kekakalahan beruntun saat melawan Malaysia, Kamis (5/9/19) dan Thailand, Selasa (10/9/19), di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) menjadi pukulan telak. Dua kekalahaan di laga kandang inilah tampaknya semakin menipiskan peluang Timnas Garuda untuk melangkah lebih jauh pada ajang empat tahunan tersebut.Â
Bukannya penulis pesimis, tapi menilik cara main dan peta kekuatan lawan berikutnya, Uni Emirat Arab (UEA) rasanya cukup sulit mendulang poin. Apalagi, Timnas bermain tandang. Terlebih, saat ini UEA di arsiteki Bert Van Marwijk. Pelatih yang kenyang pengalaman di kompeti elite dunia. Bahkan, ia pernah membawa Timnas Belanda mencapai Final piala Dunia 2010, sebelum akhirnya dikalahkan Spanyol, lewat gol semata wayang Andre Iniesta.
Selanjutnya Timnas Garuda juga akan di tantang Timnas Vietnam. Timnas yang satu ini juga bukan lawan mudah. Belakangan, tim yang berjuluk Golden Wariors ini menjadi pusat kekuatan sepak bola Asia Tenggara. Permainan cepat dan kolektifitas menjadi ciri khas tim ini yang kerap kali merepotkan tim lawan. Cukup pantas, kalau tim yang diarsiteki Park Hang Seo asal Korea Selatan ini sukses menjadi jawara piala AFF edisi terakhir, Tahun 2018.
Timnas Belum Habis
Meski kesempatan Timnas melaju lebih jauh menipis. Penulis kira, Timnas dan pencinta sepak bola tanah air jangan dulu 'lempar handuk'. Masih ada enam pertandingan sisa yang bisa diperjuangkan. Dalam sepak bola segalanya mungkin terjadi. Bila flashback pada sejarah sepak bola dunia. Para pecinta sepak bola pasti tahu sejarah Negara Denmark saat dijuluki tim Dinamit. Ya..sekedar mengingatkan dan siapa tahu bisa menginspirasi Timnas untuk tidak patah semangat.
Pada kejuaraan piala eropa tahun 1992, Denmark dianggap tim hiburan. Tim ini masuk putaran final menggantikan Yugoslavia yang mengundurkan diri akibat terjadi perang saudara. Waktu itu, hampir tak ada pengamat sepak bola tanah air maupun dunia, berani menjagokan salah satu negara skandanavia ini bisa melangkah lebih jauh. Para pengamat lebih mengunggulkan Belanda yang masih di huni trio legendaris (Rud Gullit, Marco Van Basten dan Frank Rijkard) serta Jerman Barat dengan sederet bintang-bintang dunia. Sebut saja Andreas Brehme, Jurgen Klinsman dan Lothar Mathaeus.
Tapi apa yang terjadi? Belanda ditekuk pada babak Semi final melalui drama adu penalti. Setelah sebelumnya skor berkedudukan imbang 2-2. Usai menang lawan Belanda, tim Michael Laudrup ini masih tetap tidak diunggulkan. Jerman Barat yang sejak awal menjadi salah satu pavorite juara sudah menunggunya di babak final. Kembali, dunia dan pencinta sepak bola dikejutkan. Ledakan Denmark tepat sasaran. Jerman Barat di tekuk 2-0 tanpa balas. Denmark pun keluar sebagai jura piala eropa.
Itulah sedikit sejarah tentang adanya keajaiban dalam dunia sepak bola. Tentu, bukan maksud penulis membandingkan situasi Timnas Garuda saat ini dengan kisah fantastis Denmark, 27 tahun silam. Jelas dilihat dari aspek manapun tidak ada korelasinya.Â
Tapi, satu hal yang perlu dijadikan inspirasi bagi Timnas Garuda, bahwa setipis apapun peluang itu, perjuangkanlah sekuat tenaga. Jangan dulu patah semangat atau putus harapan. Tetaplah semangat. Lihatlah perjuangan Denmark, meski dianggap tim semenjana, mereka terus berjuang dan merebut segala kesempatan yang ada, hingga akhirnya tiba di puncak.
Namun, semangat saja jelas tidak cukup. Timnas Garuda perlu berbenah diri dan merombak skuad yang ada, disamping cara main yang masih kelihatan terburu-buru. Penulis lihat, dari dua pertandingan awal Timnas, hanya bisa main cukup bagus di babak pertama. Selanjutnya tak berkutik, membuang-buang bola tidak jelas. Kenapa? karena pemain yang dipercaya Simon, hampir rata-rata pemain uzur, yang ketahanan fisiknya bisa dibilang lemah. Itu salah satu celah yang akhirnya bisa dimanfaatkan tim lawan.Â
Terus, sepertinya pemain masih kebingungan ketika sedang menguasai bola. Salah umpan, mis komunikasi masih sering terjadi. Paling utama, gaya permainan yang diterapkan Simon McMenemy sangat monoton sehingga mudah dibaca lawan. Paling menyedihkan dari tim ini sepertinya pragmatis. Tidak ada progres yang akan digunakan untuk kerangka tim ke depannya.
Bukan untuk melemahkan kualitas Simon. Tapi patut diakui, penulis lebih senang menonton pertandingan Timnas saat masih di arsiteki Luis Milla Aspas. Dari segi prestasi, mungkin keduanya sejajar alias nihil prestasi. Tapi dari segi permainan, jujur secara pribadi, penulis lebih suka gaya permainan yang dipertontonkan anak asuh Luis Milla. Jauh lebih atraktif dan menghibur. Permainan satu dua sentuhan yang dipadukan dengan umpan-umpan panjang membuat permainan timnas lebih hidup.Â