Mohon tunggu...
Elang Langit
Elang Langit Mohon Tunggu... -

nakal...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku, Bapak Dan Sepotong Telur

26 Mei 2012   05:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:46 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku selalu merindukan masa kecilku bersamamu. Hanya dimasa itulah kita bisa bersama Aku bisa mengadu disaat aku menangis terjatuh Lalu bapak memeluk dan mambasuh lukaku Ahh..aku selalu ingat hal itu. Aku ingat saat menantimu pulang. Saat ibu sudah menyiapkan separuh telur ceplok untuk bapak. Ya..hanya separuh, karena separuhnya sudah aku makan. Karena cuma sebutir telur yang kita punya saat itu. Aku ingin sekali makan yang separuh itu...tapi ibu melarang Kamu kan sudah makan, itu jawab ibu padaku. Tahukah kau wahai bapakku tercinta. Aku bahagia saat kau memberikan separuh telur itu untuku. Aku akan selalu ingat hal itu. Satu dari keahlianmu yang tak bisa kuikuti...mengukir kayu. Aku ingat saat kau mengukir namaku di pintu kamar. Nama yang kau berikan saat aku lahir...Adi Karna. Ya..Karna..nama seorang tokoh wayang. Dulu aku sedih kenapa kau berikan nama itu. Setahuku itu tokoh Kurawa yang jahat . Kenapa bukan tokoh Pandawa Lima yang baik dan sakti itu. Kau hanya tersenyum...lalu berkata, suatu saat kau akan mengerti nak. Sejalan dengan waktu, kini aku mengerti kenapa kau berikan nama itu. Nama seorang ksatria yang selalu memegang janji Ksatria yang memilih mati daripada mengingkari janjinya. Ksatria yang selalu setia pada satu wanita. Nama itu kau sematkan padaku karena dirimu tak mampu seperti Karna. Kau tak mampu setia pada satu wanita. Lalu kau meninggalkan aku dan ibu. Tahukah kau...aku menangis karena membencimu saat itu. Tahukah kau..aku tak melihat airmata ibu saat memeluku yang menangis tersedu. Hidup harus dijalani..sepahit apapun itu. Lelaki kecilmu ini harus terbangun saat rembulan masih tersenyum. Membantu ibu menyiapkan dagangan untuk dibawa ke pasar. Terkadang aku iri pada temanku yang masih tertidur nyenyak saat aku bekerja. Tapi kami butuh makan pak..kami harus kerja. Tak seharusnya kau tinggalkan wanita hebat ini pak. Entah apa yang ada dipikiranmu saat itu. Aku tumbuh bersama ibu...wanita terbaik yang aku kenal. Wanita yang akan kubela sampai mati. Aku ceritakan sebuah rahasia padamu pak. Tentang tangis ibu yang sudah lama sekali tak kulihat. Saat itu ibu mau berangkat haji..dan ibu menangis...ya..ibu menangis. Tahukah kau pak, ibu menangis karena dulu mempunyai mimpi untuk pergi haji bersamamu. Sudah lama sekali aku tak bertemu dengan mu. Aku rindu pak...walau aku tak tahu dimana rumahmu sekarang. Andai kita bertemu, akan aku buatkan telur ceplok kesukaan kita. Tahukah kau..aku pandai memasak...ibu yang mengajari. Kita akan nikmati bersama...walaupun hanya sepotong telur. Kita bersama sebagai bapak dan anak. Mungkin kau tak pernah membaca tulisanku ini. Tapi aku berharap Tuhan menyampaikan lewat mimpimu. Betapa aku mencintaimu...apapun kekuranganmu..kau tetap bapakku. Aku rindu untuk bertemu...sebelum kanker darah ini menghabisi usiaku. Jika aku menutup mata sebelum kita sempat bertemu. Kuharap kau mau mengukir namaku di kayu nisanku. ** Rembang, 26 Mei 2012 Elang Langit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun