Ibu selalu menasehati saat aku hendak balik ke Malang
"Fidz, nek koncoan ambek arek wedok ojok nemen-nemen disek. Temenan Fidz yo. Arek wedok saiki iku (maaf) racun. Akeh wong lanang seng cita-citae gak ketututan gara-gara wong wedok. Temenan yo nak. Wes, sekedar kenal ae ojok nemen-nemen disek, tutukno sekolahmu Fidz".
Bahkan nasihat itu selalu diulang meski ada beberapa teman sedang berkunjung ke rumah. Saat selesai, aku selalu menjawab sambil tersenyum "Enggeh bu, enggeh kulo ngertos".
Lah nang njero ati iki ngomong "Masalahe roto-roto wong lanang iku malah seneng nek diracuni ambek arek wedok. Nolake iku iwu. Soale seng lanang malah nganggep racune iku penawar, vaksin, obat gawe ati"
Bukan terletak pada wanita atau pria, namun ada kesamaan sebenarnya. Baik pria maupun wanita sebenarnya punya 'racun' dan 'penawarnya (vaksin)'. Maksudnya, siapapun bisa menebar racun pada siapapun. Bukan salah yang menebar 'racun' juga sebenarnya, namun juga yang diracuni pun juga salah karena kurang bisa menghalau 'racun' itu. Atau seperti kalimat di atas, yang teracuni merasakan kenikmatan akan racun tersebut hingga ada rasa candu. Ia kecanduan akan 'racun'. Haha..
Contoh mudah narkoba, ia racun yang candu. Yang penawarnya adalah racun itu sendiri.
Jadi kita adalah vaksin di dalam racun atau racun di dalam vaksin ? Haha..
Namun menurut saya, yang memberi nasehat tersebut adalah seorang ibu, ia adalah wanita. Memberi nasehat kepada pria untuk tidak terlalu dekat pada wanita (kaumnya). Jadi ya, bisa disimpulkan kalau kadar racunnya itu lebih tinggi wanita daripada pria. Karena wanita sendiri yang bilang seperti itu. Hahahaa..
Sekarang pilihan, jadi narkoba atau tidak ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H