Mohon tunggu...
Sang Pamanah Rasa
Sang Pamanah Rasa Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Menulis adalah cara memintal harapan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bunga Revolusi, Tapak Reformasi, dan Keharusan Rekonsiliasi

27 Juni 2019   02:08 Diperbarui: 27 Juni 2019   03:02 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam teori perubahan sosial, ketiga diksi di atas seringkali digaungkan oleh kalangan akademis, politikus ataupun negarawan dalam paparan gagasannya. Ketiga kata tersebut memiliki sifat yang konstruktif. Meski demikian, timbulnya kata-kata tersebut bisa muncul dari gejolak yang destruktif. Untuk kata pertama, di Indonesia, sebagaimana kita ketahui, kata revolusi sempat menjadi diksi wajib kala Orde Lama berkuasa. 

Revolusi bahkan sempat dijadikan senjata oleh pemerintahan Soekarno bagi siapa saja yang dianggap bertentangan secara nilai maupun sikap dengan mereka. Senjata yang dimaksud adalah dengan melekatkan julukan kontra revolusioner bagi rakyat ataupun aktivis penentang rezim Orde Lama.

Saat diksi revolusi ini bergaung, semangat perubahan secara komprehensif diusung oleh Soekarno. Semangat itu pula lah yang menjadi tameng perlawanan rakyat Indonesia saat terjadinya agresi militer Belanda 1 dan 2. Tanpa adanya semangat revolusi, mungkin perlawanan yang dijalankan akan setengah hati, walaupun kesadaran kemerdekaan sudah dimiliki, tapi tanpa adanya suara yang padu mengenai kebangkitan gelora perlawanan fisik ataupun dialogis, barangkali Belanda bersama sekutunya akan dengan mudah menguasai kembali Indonesia.

Pada kenyataan secara praksis, kata revolusi tersebut memantik perlawanan dari segenap rakyat Indonesia di era kemerdekaan. Secara pemikiran, Soekarno sebagai pengemudi dari diksi revolusi secara gamblang selalu membakar semangat rakyat di setiap pidatonya dengan sempilan kata tersebut. Sekali dua kali ia jelaskan maksudnya secara eksplisit. "Revolusi kita adalah justru untuk menyudahi kapitalisme dan imperialisme." Kata Bung Karno.

Dalam artikel Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia (1932) Bung Karno mengatakan bahwa imperialisme adalah; "suatu stelsel overheersen (yang menguasai) atau beheersen (yang memerintah) ekonomi atau negeri bangsa lain. Ia adalah suatu verschijnsel, suatu "kejadian" di dalam pergaulan hidup, yang menurut paham kita timbulnya ialah karena keharusan-keharusan atau noodwendigheden di dalam geraknya ekonomi sesuatu negeri atau bangsa. Ia terutama sekali adalah wujudnya politik luar negeri dari pada negeri-negeri Barat di dalam abad kesembilanbelas dan keduapuluh."

Dengan begitu, revolusi dapat dimaknai sebagai kehendak perubahan sosial untuk menganulir keberadaan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia, wujud dari imperialisme itu tentu adalah eksistensi Belanda dan Jepang sebagai negara terakhir yang menduduki Indonesia. Sementara wujud kapitalisme sendiri diejawantahkan oleh keberadaan VOC sebagai perusahaan dagang Belanda yang mengeruk komoditas perdagangannya dari Indonesia.

Revolusi tidak pernah tuntas, bahkan ketika Soekarno harus diturunkan dari tampuk kepemimpinannya sebagai Presiden RI pada 1966 silam. Soekarno tidak berhasil melakukan revolusi seperti yang dimaksudkan jika tujuannya adalah menyudahi hegemoni kapitalis dan imperialisme di Indonesia.

Sepeninggal Soekarno, kata revolusi mulai dilupakan, bahkan hampir tidak pernah lagi terdengar. Berganti era kekuasaan, sepertinya berganti pula dengan diksi atau jargon yang digaungkan. Era Orde Baru yang dipimpin Suharto, praktis hampir tidak ada jargon mumpuni yang membuat sebuah perubahan sosial terjadi. Orde Baru sedikit banyak meneruskan apa yang dimiliki Orde Lama, namun dengan koreksi berbagai hal yang dianggap sebagai sebuah aib sejarah, termasuk bau-bauan tentang komunisme. Implikasi yang terjadi adalah konsep Nasakom yang digagas Soekarno dialfakan dari eksistensi kenegaraan. Toh, fokus utama dari Orde Baru adalah integrasi ekonomi.

Persoalan politik yang di era Orde Lama dianggap sebagai kepelikan tersendiri karena adanya kebutuhan mendesak pada tataran integrasi elemen maupun gagasan dalam perumusan pendirian negara, di era Orde Baru, Suharto mengarahkan persoalan politik secara sentralistik. Setelah PKI sebagai salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia dianulir, praktis hanya ada ABRI. Sementara kekuatan politik keagamaan masih terpecah dalam beberapa konsentrasi. Belum lagi dengan didirikannya Golkar sebagai episentrum politik Orde Baru, kini Suharto yang mengendalikan keseimbangan.

Orde Baru pada akhirnya memiliki usia dan batas dalam mengendalikan keseimbangan. Mereka tidak bisa melawan kehendak zaman yang mendorong dinamisasi manusia, sementara sistem politik yang sentralistik di era Orde Baru cenderung menciptakan stagnansi. Timbullah gejolak dari sumbu yang tidak terduga, dari celah yang dianggap publik jika Suharto memiliki berbagai pertahanan berlapis di sana, dari sudut sempit di mana Soeharto memulai jargon-jargonnya seperti pembangunan, stabilitas nasional dan pertumbuhan ekonomi. Suharto dihajar oleh krisis ekonomi yang kemudian menghantam pula pusat kekuasan.

Mencuatlah kehendak melakukan reformasi dari rakyat. Reformasi adalah kata yang belum akrab di telinga rakyat Indonesia saat itu. Dibanding revolusi, reformasi memiliki sifat yang sedikit lebih lembut. Tetapi tetap saja korban nyawa tidak dapat dihindari saban kali ada diksi pergerakan yang dikeluarkan dari barisan massa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun