Mohon tunggu...
elang mutaqin
elang mutaqin Mohon Tunggu... -

Suka Tantangan dan mengerjakan sesuatu yang bikin kepala pusing.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pertobatan Kaliurang

20 September 2010   13:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:06 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Decak rel kereta mengantar membelah sunyi

Sunyi dalam keramaian, ramai dalam gemuruh angan

Dingin malam melumuri,

menyelimuti fikiran-fikiran mesum ini

Fikiran yang terus terbang mengantar hadir di kota mu

Bersama decak kereta ku lepas agama, dogma dan norma

Dalam kekosongan,

Tanpa agama, dogma dan norma aku ingin menjadi diriku

Entah jadi makhluk bernama apa ?

Mungkin iblis setan dan sanak saudaranya

Atau juga masih manusia

Kabut tipis memeluk diriku yang kosong

Sesungging senyum manis menyambut di ujung peron

Lambaian dan pelukan mu menerbangkan aku ke awang-awang

Terbang bersama terbitmya bintang fajar

Seolah mimpi, ini kenyataan

Ku bawa engkau terbang menyusuri bukit manoreh

Ku labuhkan di sejuk kaki merapi

Bersama rimbun hijau hutan

Bersama gemericik air terjun sisa kemarau

Bersama nyanyian daun-daun dan gemeretak bebatuan

Bersama candaan monyet berebut makan

Kuleburkan diriku dalam dirimu

Dirimu dalam diriku

Ya.. Di kaliurang semua menjadi terang

Di balik derit ranjang,

Dalam bilik mesum kunikmati molek tubuhmu

Ya.. tiga hari tiga malam

Kulumat habis bibir tipismu mu,

Seperti lahar merapi melahap setiap yang dilewati

Kunikmati jenjang lehermu

Bersama eranganmu

ku kunikmati indah payudaramu

bersama desahanmu kutelusuri hutan rimbun itu

dalam hutan kecil itu aku dan kamu tersesat dalam gelora kenikmatan

dinginnya malam kaliurang tidak pernah terasa

selimut merah jambu itu menjadi saksi bisu

kebuasan kita tengelam dalam nafsu

di kaliurang 26-30 September 2008

Tiada malam yang terlewat sia-sia

kita hangatkan dengan ciuman dan pelukan

Dalam keterlanjangan tanpa busana kita menyatu

peluh cinta kita berdua membasahi

menghangatkan setiap malam-malam itu

Tangisan karena percikan merah kirmiz dalam selimut itu akan selalu kukenang

Terima kasih telah mengajari aku menjadi lelaki sebenarnya....

Lambaian dan isak tangismu bersama Umi dari ujung peron di senja itu,

melepasku pulang ke Jakarta, juga akan terus kukenang...

sekali lagi terima kasih atas kehangatan cinta mu..

31 September 2008

dalam Kereta Kutoarjo-Tanah Abang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun