Mohon tunggu...
Kirana Kejora
Kirana Kejora Mohon Tunggu... -

just independent writer, ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Resensi Novel Bintang Anak Tuhan by Uki Bayu Sedjati

2 November 2011   09:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:09 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BINTANG Anak TUHAN : Bacalah

“Kupandang langit penuh bintang bertaburan, berkelap-kelip seumpama bintang berlian, tampak sebuah lebih terang cahayanya, itulah bintangku Bintang Kejora, yang indah s’lalu.”

Lagu anak-anak ini disenangi oleh anak-anak maupun orangtuanya. Sederhana lirik kalimatnya namun menghadirkan nuansa cinta alam semesta yang menggugah. Memang lagu-lagu ciptaan AT Mahmud senantiasa menyuguhkan nilai-nilai yang memuliakan manusia dan sang PenciptaNya.

Pas benar Kirana Kejora mengutip lirik lagu tersebut dalam salah satu paragraf novel Bintang Anak Tuhan, BAT, karyanya, sedikitnya untuk menunjukkan bahwa dirinya dan tokoh anak dalam novel tersebut demikian terwakili :”lebih terang cahayanya,” dan “Bintang Kejora.”

Penting untuk menggarisbawahi kalimat “lebih terang cahayanya” karena yang dipaparkan dalam BAT adalah cerita mengenai sosok-sosok manusia – yang ada di sekitar kehidupan kita – yang karena penyakit yang dideritanya - dipaksa menyingkir, dijauhi, dimarginalkan oleh warga masyarakat. Kehidupan mereka bukan hanya tersingkir bahkan bukan mustahil ditutup peluang untuk bermasyarakat bahkan bekerja. Sosok-sosok manusia penderita HIV/AIDS – yang kini disebut ODHA akronim dari Orang Dengan HIV/AIDS, memang seperti berada dalam lorong panjang yang gelap. Mereka sangat membutuhkan pelita, penerang, yang “lebih terang cahayanya” agar dapat melihat alam semesta, menjalani kehidupan seperti warga masyarakat “yang bukan ODHA.”

Bagaimana perasaan anda, jika kondisi kita “yang Bukan ODHA” sekarang ini disebut sebagai “yang Belum ODHA”? Ya, karena sebenarnya tabir antara ODHA dan yang “Belum ODHA” lumayan tipis. Kecuali manusia2 yang memiliki kemampuan pengendalian diri, mengendalikan nafsu dan perilaku, setiap saat!

Tipis?!

Ya, novel BAT menceritakan seluk-beluk proses penyebaran virus yang mematikan tersebut lumayan gamblang, meski tentu saja tidak dibeberkan dalam satu bab mirip makalah ilmiah, karena Kirana menuturkannya dalam jalinan kisah hidup Hanum, seorang Ibu ”single parent” dan puterinya semata wayang: Bintang. Dan menjadi mengharukan karena sebagian besar isinya merupakan pengalaman hidup, true story.

Hanum, gadis pramusaji resto - yang tumbuh dan dibesarkan di panti asuhan – berkenalan dengan Agung, yang kemudian menikahinya. Meski orangtua tak setuju. - bahkan menjadikan ayah Agung meninggal dunia, diikuti dengan merosotnya bisnis keluarga - tapi Agung tetap pada niatnya. Hanum tak tahu latar kehidupan Agung ketika muda. Yang ia alami dan tahu bahwa suaminya bekerja keras, pada awalnya cukup berhasil namun kemudian bangkrut. Dan Agung stress, lebih dari itu melarikan diri dengan mengkonsumsi narkoba bersama teman-temannya : melalui jarum suntik yang digunakan bergantian.

Penting untuk selalu disebarluaskan bahwa penularan virus HIV/AIDS selain lantaran hubungan kelamin pasangan sejenis, atau gonta-ganti pasangan, juga dapat melalui jarum suntik yang tidak steril. Virus yang mematikan itu langsung masuk ke dalam darah mengalir ke seluruh organ tubuh dan jaringan urat syarafnya. Karena Agung dan Hanum sebagai suami-istri berhubungan badan, maka virus itu mengalir dalam darah Hanum, juga hidup dalam janin yang tumbuh di rahimnya. Jabang bayi lahir, diberi nama Bintang, menjadikan keluarga kecil berbinar, namun ternyata darahnya juga sudah tertular virus HIV/AIDS.

Agung, Hanum dan bayi perempuan mungil Bintang adalah ODHA. Drama berlanjut: Agung meninggal dunia, maka Hanum dan Bintang menjalani hidup dengan tertatih-tatih. Keahlian Hanum menjahit lumayan utnukmenunjang hidup , periksa ke dokter, laboratorium, dan membeli obat. Yang belakangan disebut : obat, wajib ada, wajib dikonsumsi setiap hari oleh ibu dan anak ini.

Tak hanya daya juang dan ketegaran Hanum selaku ”single parent” yang diceritakan oleh penulis, namun – yang amat menyentuh nurani kita – adalah pergulatan batin yang dialami Bintang. Usia sekitar 8 tahun, sempat duduk di SD kelas 2, namun ”dirumahkan” karena penyakit batuknya mengeluarkan darah. Setiap hari ia terkurung di rumahnya, karena Hanum harus bekerja berangkat pagi pulang jelang malam. Bintang bersahabat dengan buku-buku, ikan di akuarium, dan Ajeng, usia 10 tahun, anak perempuan penjual kue yang tinggal di balik tembok perumahan, dan catatan harian: diary.

Lugu, polos, bersahaja tulisan-tulisan tangannya.

CINTA AYAH IBU

Aku ada karena cintamu Ayah

Aku suka karena cintamu Ibu

Aku sayang ayah ibu

(Ini buat ayah ibuku)

AKU JUJUR

Tuhan aku sakit apa?

Kenapa diam?

Ya sudah

Aku tak apa

Tapi aku ingin jujur

(Ini buat Tuhan)

SAHABATKU

Aku senang berteman denganmu

Aku tak mau kamu sedih

Aku mau kamu tertawa

Kita belajar dan bermain bersama

Di dunia

Dunia sahabat

(Ini buat Ajeng)

Kirana Kejora yang meyakinkan dirinya menjalani profesi sebagai penulis menunjukkan semakin luwes caranya bertutur, memoles ungkapan-ungkapan qalbu tokoh-tokoh sehingga menggugah, dan menjalinnya dalam cerita yang mengalir. Dibanding dengan novelnya terdahulu, bab demi bab dalam novel BAT meski saling berkait, hemat saya, seperti sengaja ditulis dan disusun untuk memainkan irama emosi pembaca. Boleh jadi kerjasama dengan Eka Silvie, editor, mampu membuat kita ikut masuk dalam masalah Hanum dan Bintang. Dan, latarbelakang pendidikan Kirana, sebagai alumnus Universitas Brawijaya, jelas tak boleh dinafikan. Dari hasil wawancara dan penelitian kepustakaan ia fasih menulis langkah pengobatan, daftar obat baik medis maupun herbal bagi ODHA – yang bermanfaat bagi pembaca. Juga, upayanya menggali dan menebarkan makna kehidupan, yang diyakininya selalu berhubungan dengan Sang Pencipta.

Di akhir novel ia menulis, antara lain: Mereka dilahirkan jelas tidak untuk sebuah lara berkepanjangan, tak mungkin Tuhan memberi hidup lalu mematikan begitu saja. Selalu banyak rahasiaNya, hikmahNya dari semua kesakitan yang kita alami.

Benar, lirik lagu ”lebih terang cahayanya” adalah pemaknaan terhadap harapan, agar hidup setiap bintang menjadi Bintang Kejora. Ya. Bacalah !

Salam

Uki Bayu Sedjati

Saya pekerja teater dan sastra, bergiat sejak remaja sampai sekarang untuk menggiatkan remaja berkesenian di Gelanggang Remaja Bulungan. Setelah lulus dari FISIP-UI, sempat jadi dosen sekitar 8 tahun, lalu mundur dari status pegawai negeri dan kiprah di kesenian. Sempat juga jadi wartawan di Kartini Grup, tepatnya di majalah Amanah 1986-1993, sambil menulis scenario dan free-lance menggeluti audio-visual sampai sekarang.

FB : uki bayu sedjati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun