Peningkatan kebutuhan masyarakat akan berimplikasi pada produksi sampah yang dihasilkan, tidak terkecuali sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun atau yang lebih dikenal dengan B3. Sektor industri dianggap sebagai sumber penghasil B3, tetapi kenyataannya aktifitas rumah tangga juga menjadi salah satu sumber penghasil sampah B3. Pembuangan sampah B3 dalam permukiman hanya 3,9% dari total sampah domestik, tetapi karena populasi penduduk yang terus meningkat dan tidak ada penanganan khusus, maka akan menimbulkan bahaya yang serius terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.
Kebiasaan masyarakat di daerah perkotaan (85,3%) umumnya mencampur semua komponen sampah rumah tangga (RT), termasuk sampah B3. Hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang RI No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Pasal 22 ayat (1), yang mengatur bahwa "Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah". Meskipun kehadiran sampah B3 RT dalam timbulan sampah kota masih relatif kecil, atau sekitar 0,3-0,5% di rumah tangga, namun perlu diupayakan penanganan yang komprehensif.
Sebagian besar warga tidak mengetahui bahwa aktivitas rumah tangga dapat menghasilkan sampah yang tergolong cukup berbahaya dan rawan terhadap kesehatan dan lingkungan. Cukup banyak produk dalam rumah tangga mengandung bahan kimia yang sama dengan limbah industri dan dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Â Upaya penanganan limbah B3 juga masih terfokus pada penanganan limbah B3 untuk industri. Limbah B3 yang berasal dari sektor domestik atau sampah B3 permukiman masih belum dikelola dengan baik. Mengutip pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Jo 85 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Bab III Pasal 9 ayat (6), disebutkan bahwa "ketentuan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan rumah tangga dan kegiatan skala kecil ditetapkan kemudian oleh instansi yang bertanggung jawab". Hal tersebut menunjukkan belum ada upaya lebih lanjut untuk mengelola sampah B3 rumah tangga.
Mengingat potensi dampak sampah B3 RT terhadap kesehatan dan penurunan kualitas lingkungan, maka upaya pengelolaan sampah B3 RT sudah seharusnya dilakukan dengan baik. Hal tersebut didasari bahwa model pengelolaan sampah di kota-kota di Indonesia sebagian besar masih menggunakan paradigma lama yaitu kumpul-angkut-buang (sentralisasi) dengan memprioritaskan sektor hilir. Hal lain yang perlu disoroti adalah lemahnya mekanisme kontrol terhadap pengelolaan sampah B3 RT dari pihak pemerintah kota sebagai alat pengendali, serta belum adanya rumusan operasional yang baku, mengakibatkan sistem pengelolaan sampah B3 RT di masyarakat diinterpretasikan masing-masing sesuai kebiasaan yang ada di sekitar mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H