Aku pulang ke rumah dengan hati bergemuruh. Putus asa menyelimuti hatiku. Aku lelah, aku muak, aku benci, aku menyerah. Aku ingin berteriak aku menyeraaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhh. Semua selalu menyebalkan. Aku telah berusahadengan baik. Aku telah bekerja keras, namun sampai sekarang hasilnya masih nol. Ibuku, saudara-saudaraku selalu menuntut aku untuk bisa menghasilkan uang. Aku yang telah menjadi sarjana, aku yang telah di berikan kesempatan untuk meraih gelar S1 sekarang harus bisa memberikan yang terbaik untuk keluargaku.
Bulir bening itu akhirnya menganak sungai. Dada ku teramat sesak untuk menyimpan semua nya. Aku telah menahannya hampir dua tahun. Kata-kata sinis, sindiran manis tapi menusuk jantung. Sekarang aku ingin lari dari semua ini. Aku harus merdeka. Seandainya saja mereka tahu jauh di lubuk hatiku aku ingin sekali membahagiakan mereka. Tapi aku belum bisa. Aku masih berusaha, dan aku tak pernah berhenti hingga detik ini. Namun semua usahaku tidak mereka hargai.
Ku ganti baju ku, kemudian kutinggalkan rumah. Ku langkahkan kakiku menjauh dari rumahku. Aku tak tahu harus kemana. Apakah aku harus mengakhiri semua ini. Teman-temanku waktu kuliah dulu bilang Allah sayang padaku makanya aku dikasih ujian.Tapi kenapa Dia membiarkanku menanggung semua ini?? Mbak murni yang jualan di samping rumahku, tempat aku sering ngutang selalu bilang sabar, sabar. Bilang sih enak, ngejalaninnya yang gak enak.
Sambil jalan, air mataku masih mengalir. Panas terik membelai kepalaku. Membuat otakku protes. Sakit. Perutku pun mulai minta jatah. Aku belum makan apapun dari tadi pagi. Minumpun aku lupa. Aku memutuskan untuk duduk di pos ronda di perempatan. Ku perhatikan jalanan yang rame. Semuanya tergesa-gesa. Mobil yang membunyikan klakson bersahut-sahutan ketika lampu merah berganti hijau. Huh hanya untuk menunggu itu mereka gak sabar. Apalagi aku yang menanggung hidup yang semakin gak jelas. Aku mendengus dalam hati.
Minum mbak, sapaan itu memutuskan lamunanku. Makasih jawabku tanpa menoleh. Lagi nunggu seseorang ya mbak? Dengan sedikit kesal ku jawab dan kali ini sambil menoleh siapa sih yang sibuk ingin tau urusanku. Huh ternyata anak ingusan dengan pakaian agak kotor dan jelek dan di pangkuannya ada setumpuk koran.hmmm penjual koran rupanya.
Kamu ngapain duduk sini? Tuh gabung sana jual koran-koranmu. Usir ku sambil menunjuk sekumpulan anak-anak penjual koran yang bergantian menyapa pengemudi mobil yang berhenti di lampu merah. Kami bergiliran mbak. Lampu merah berikutnya giliranku sama anak-anak yang di sana mbak jawabnya enteng sambil nunjuk teman-temannya.
Mbak kok duduk di sini? Gak kuliah, atau mbak sudah kerja? Itu matanya kok bengkak mbak. Nah....habis nangis ya mbak. Anak itu terus bicara, sok akrab dan sok tau lagi. Mbak lagi ada masalah ya?? Cerita aja mbak, elang siap deh dengar mbak cerita. Ohh..jadi nama kamu elang, ya sudah terbang sana responku. Elang beneran pergi, tapi untuk menjual korannya karena lampu merah gilirannya sudah datang. Dalam hitungan menit dia sudah terbang lagi ke sampingku.
Yuk teman-teman kita makan siang. Elang mengomando teman-temannya. Semuanya berkumpul membentuk lingkaran dan membuka bungkus nasi masing-masing. Aku jadi tertarik memperhatikan, seketika mataku memberi sinyal ke perut, lapar. Aku ingin makan. Sini mbak, kita makan sama-sama seadanya, sekenyangnya. Semua temannya mengiyakan. Karena aku tak bergeming, akhirnya mereka menarikku bersama-sama. Alhasil sekarang aku duduk beralaskan plastik di antara anak-anak penjual koran. Semua makan dengan lahap sambil bercengkrama. Aku pun tersugesti dengan suasana dan melupakan masalahku untuk sejenak.
Gimana mbak? Gak jadi cerita? Setelah makan aku kembali duduk di halte. Elang pun mengikutiku dan masih menyuguhkan pertanyaan yang sama. Mungkin dia penasaran karena aku belum menjawab satu pun pertanyaannya. Tadinya mbak ingin bunuh diri lang. Tapi karena capek mampir dulu di sini. Hahaha mbak ini ternyata suka humor juga. Lha itu memang kenyataannya lang. Mbak sudah bosan dengan kehidupan mbak yang selalu di tuntut. Mbak juga bosan cari kerja dan selalu di tolak. Intinya mbak bosan hidup lang.Hahahahaha Elang makin kencang ketawanya sehingga menarik perhatian orang-orang di sekitar kami. Aku menepuk pundaknya, huss liat semua orang ngeliatin kita.
Yah mbak juga sih. Kata-kata mbak itu seperti acara televisi itu mbak “bosan jadi pegawai”. Tapi bagusan itu dari pada mbak. Kalau bosan jadi pegawai berarti orangnya kreatif, gak ingin melakukan yang itu-itu saja. Nah kalau mbak bosan hidup berarti gak kreatif dan gak ingin berkreasi. Ingin berhenti hidup rugi mbak. Kapan lagi kita bisa melakukan hal-hal yang ada di dunia ini jika kita mencabut izin hidup kita sendiri. Aku sangat terkejut mendengar ocehan Elang. Kamu kok bisa ngomong gitu lang? Ya bisa lah mbak, aku ini kan hidup mbak. Bisa melihat, bisa mendengar, bisa membaca. Aku juga sekolah mbak. Lha kamu kapan sekolahnya? Aku biasanya sekolah pagi mbak. Hari ini sengaja gak masuk karena mau dapat uang lebih. Emak ku sakit mbak, aku ingin bawa emak berobat.
Elang bangkit dari duduknya dan melanjutkan jualan koran. Ya Allah, mudahkanlah rezekinya, dan sembuhkanlah emaknya doaku dalam hati sembari menatap punggungnya. Ingatanku melayang ke rumah. Apakah mereka merasa kehilanganku? Apakah mereka menungguku hanya untuk menanyakan apakah bawa uang atau tangan kosong? Apakah aku akan pulang atau melanjutkan rencana bunuh diriku? Aku berdialog dengan diriku sendiri.
Door...... Elang mengagetkanku. Sudah mbak gak usah melamun lagi. Hidup ini harus dinikmati dengan apa yang ada, apa yang mampu kita raih. Apa yang diberikan Allah nikmati dan syukuri, apa yang belum di kasih ya minta terus dengan doa sembari berusaha mbak Yang penting kita selalu bersyukur masih bisa hidup, masih bisa menikmati dunia yang cuma sebentar mbak. Kalau mbak mati, mbak sendirian di dalam kubur, di tanya sama malaikat penjaga kubur, trus masuk neraka karena mbak bunuh diri. Kalau mbak ingin jalan-jalan, kalau mbak ingin nonton, ingin beribadah supaya bisa masuk surga, mbak mau gimana lagi. Kan mbak udah mati. Nyesel kan? Gitu kata ustad tempat elang ngaji mbak.
Aku hanya bisa terdiam menikmati kata demi kata yang diucapkan Elang. Elang kemudian berpamitan karena sudah sore. Padahal korannya masih ada. Elang harus pulang mbak. Emak sendirian di rumah. Assalamu’alaikum mbak semoga mbak gak jadi bunuh dirinya dan semoga kita berjumpa lagi suatu hari nanti.
Menjelang magrib aku sampai di rumah. Rumah kosong. Aku langsung pergi ke warung mbak Murni di samping rumah. Belum sempat ku lontarkan pertanyaan mbak Murni langsung nyerocos, walah nduk, kamu ini kenapa? Pergi gak pamitan. Semua orang di rumah nyariin kamu. Aku langsung berlari ke kamar, ngambil handphone dan menghubungi ibu. Setengah jam kemudian mereka sudah sampai di rumah. Ibu memelukku, kakak-kakakku juga. Mereka menangis karena takut terjadi apa-apa denganku. Kami minta maaf karena mungkin kamu jenuh dengan tuntutan kami setiap hari. Kami gak bermaksud seperti itu, kami hanya menyemangati mu supaya kamu gak pernah menyerah untuk berusaha. Namun cara kami mungkin yang salah. Maklumlah kami SD aja gak tamat. Aku semakin mengencangkan pelukanku dan tangisku semakin hebat..ternyata aku telah salah mengartikan sikap keluargaku.
Setelah shalat magrib, kami makan malam bersama. Nasi putih dengan telur dadar dan tumis kangkung menu yang tersedia, namun karena hati sedang gembira makanan itu terasa sangat nikmat sekali. Setelah shalat isya aku tak lupa mendoakan semoga Elang bisa membawa Emaknya berobat. Hari ini sangat berkesan sekali. Kalau di bandingkan kehidupanku dengan anak-anak penjual koran, aku lebih baik dari mereka. Tapi mereka jauh lebih bahagia dengan semangat dan cara mereka yang ingin menikmati hidup dengan sebaik-baiknya. Nanti kalau aku sudah dapat kerja, gaji pertama bakal dibagi-bagikan untuk keluarga dan mereka penjual koran, batin ku.Untung gak jadi bunuh diri, bisik hatiku dan mulutku pun tersenyum mengingat ketololanku.
Tiga hari kemudian, aku berniat mengunjungi Elang dan kawan-kawan sepulang memasukkan lamaran di sebuah perusahaan. Jam lima sore aku sampai di perempatan. Tapi hanya ada tujuh orang anak yang jualan koran. Aku memanggil salah satu dari mereka. Elang gak jualan hari ini dek?? Adek tersebut diam kemudian nangis. Lho kenapa dek? Elang...Elang sudah pergi mbak. Pindah kemana?? Maksudnya Elang sudah meninggal mbak sambung lagi. Aku seperti kesetrum mendengar kata-katanya. Kemarin dia ditabrak mobil yang gak berhenti pas lampu merah menyala mbak, lanjutnya. Ya Allah....hanya itu yang keluar dari mulutku. Tanpa bermapitan aku langsung pulang ke rumah. Aku merasa kehilangan, sangat kehilangan. Elang, kenapa kamu begitu cepat terbang meninggalkanku. Semangatmu baru hidup di dalam hatiku. Aku teringat kenangan satu hari bersama Elang. Elang dan dan teman-temannya yang selalu bersemangat menjalani hidup meski hidup dalam keterbatasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H