Â
Sujudku dalam tasbih yang panjang, tertuang luruh kata yang tak bisa kupandang.
Merasa heran dan memang tengah kusangsikan, bukankah Ayahnya ayahku juga?, harusnyadalam tubuhnya juga mengalir darah yang sama dengan milikku tanpa secuilpun yang terlupa.
Kenapa sebejat itu dia dalam melangkah, sampai kesampingkan nama ayah di luar sana. Atau dia memang lahir berayahkan manusia liar pecumbu wanita. Entah.
.
Sembari kumainkan sajadah bunda, hati ini tak berhentinya gumamkan tanya, benarkah dia kakakku sesungguhnya.
Kuamati dari warna kulitnya, logat berjalannya, dan tak jarang dengan rahasia kubandingkan dengan ayah .Dan jika kami kaya mungkin rambutnya juga aku ambil.Tes DNA jelas lebih akurat, ujarku berandai jika aku dewasa nanti.
.
Dia memang telah dewasa, beda denganku yang masih anak-anak.Terlepas dari terlalu dini hatiku berguman haya karena satu alasan, melihat setiap saat polah tingkah kakak dalam waktu lama.
Mereka pikir aku adalah tong kosong tanpa hati dan rasa, hingga saat mereka runtutkan pertengkaran-pertengkaran hebat tak aku cerna.
.
Ayah yang malang. Sang guru yang terampas kehormatan. Ulah putra sulung yang tak berahlak segar.
Bundaku juga lebih malang, miliki Anak tiri yang tak miliki budi pekerti.
.
menurutku, sekedar terima ayah laki-laki tua duda beranak satu saja sudah terkata dia manusia yang Mulia hatinya, karena bunda memilihnya bukan karena harta bukan pula kedudukan, tapi cinta.
Bagi wanita seperti bunda, sholehah berbekal Qur'an di kepala sangatlah mudah jika dapatkan laki-laki lebih dari ayah.Tapi bunda pilih cinta.
.
Dan jika tak berbekal cinta, bunda juga tak akan kasihi dia layaknya aku putri kandungnya.Tapi bunda tak bedakan, persis. Dari tirakatnya berpuasa untuk kami berdua, dan doa-doa yang bunda panjatkan, aku pastikan cinta bunda persis tanpa beda.
.
"Kau terlahir dari rahim wanita mulia, jadi pantas jika tumbuhmu menjadi manusia mulia pula. Sedang aku, terlahir dari rahim wanita bejat yang tak kenal tanggung jawab pada keluarganya, hingga kecilku saja ia abaikan tanpa rasa dosa. Maka jauh....jika ingin kau bandingkan untuk menjadikan aku denganmu menjadi setara." Itu jawabnya jika tengah kuungkit ia yang nakal.
.
Harusnya tak seperti itu pola pikir kakakku, meski kata orang buah jatuh tak jauh dari pohonnya, tapi kita manusia yang miliki sebagian hak untuk memilih jalan yang kita kehendaki, dan Tuhan wajibkan hambanya ikhtiar maksimal bukan duduk pasrah terima takdir dengan berlenggang tangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H