Mohon tunggu...
taufiqelhida
taufiqelhida Mohon Tunggu... Penulis - orang gila

Penulis Penggambar Pemula

Selanjutnya

Tutup

Drama

(Cersama) Aku Mandul Tapi Sabar

18 Agustus 2012   04:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13452630011465347289

“Sabar....” Kata bapakku ketika melihat aku sedang duduk merenung karena putus cinta. Widhi adalah kekasihku yang telah ku pacari sejak tuga bulan yang lalu. Dan tadi malam dia memutuskanku karena dia tahu bahwa aku mandul.

“Sabar....” Ibuku juga bilang begitu. Mereka memang tahu kalau aku sedang putus cinta, karena ini bukan yang pertama kalinya. Ini sudah terjadi puluhan kali setelah aku bercerai dengan isteriku sembilan tahun yang lalu. Mantan isteriku bilang ke semua warga kalau kami bercerai karena aku yang masih saja mandul padahal telah berobat kemanapun.

“Sabar....” Kata kakekku yang usianya sudah delapan puluh tahunan dengan terbata ketika mendengar berita yang disebarkan mantan isteriku itu beredar di masyarakat. Aku memang sangat malu waktu itu, tapi aku pasrah.

“Sabar....” Nenekku juga tak ketinggalan mengucapkan kata itu. Kata yang sangat mudah untuk dikatakan tetapi tak mudah untuk dijalankan.

Tapi akhirnya memang aku bisa sabar menjalani semua itu. Aku memang mandul dan inilah takdirku. Aku sudah berobat kemanapun, dan hasilnya memang nihil. Aku tetap saja mandul.

Di daerahku aku jadi terkenal dengan kemandulanku, maka sudah dapat dipastikan maka tak ada yang mau denganku. Ya sudah.

“Sabar....” Semua tetanggaku bilang begitu. Hidup di dunia ini memang harus sabar, jika tidak sabar maka tak akan pernah bisa sadar.

Aku putuskan untuk mencari pendamping di luar daerahku. Aku pergi ke kota untuk dagang kupat tahu, berharap di kota bertemu dengan seorang perempuan yang mau menerimaku apa adanya, menerima kemandulanku.

Beruntung wajahku tak jelek walaupun memang kurang ganteng. Dua bulan aku di Bandung, aku mendapatkan seseorang yang mau menerima cintaku. Namanya Yanti. Aku bahagia. Tapi sayang tidak bertahan lama. Saat dia inginkan aku untuk menidurinya, aku tak berhasil. Dan kami putus.

Bersyukur karena Yanti tidak sama dengan mantan isteriku yang ember. Aku berusaha lagi mencari yang tidak memintaku untuk menidurinya dulu sebelum aku sukses membuat diriku tak mandul. Karena aku yakin semua perempuan akan menyesal jika tahu kemandulanku dari orang lain, maka aku katakan saja dari awal perjumpaan bahwa aku memang mandul dan telah menikah pernah menikah lalu bercerai oleh karena kemandulanku. Dan aku sukses, sukses tak mendapatkan seorangpun yang mau.

Sampai pada akhirnya aku bertemu seorang perempuan berjilbab. Terlihat dari penampilan dan tutur katanya memang dia perempuan solehah. Aku berusaha mendekatinya membuatnya bangga dengan kebisaanku ngaji yang aku bawa dari kampungku.

Aku berhasil mengatakan cinta kepadanya dan ini indah pada awalnya. Di mana aku bisa belajar ilmu agama juga darinya. Tentang keikhlasan, dan tentang apapun yang kau belum paham. Diapun merasa nyaman berada di dekatku, awalnya, karena dia selalu mendapatkan jawab dari apa yang menjadi pertanyaannya. Kami pacaran secara islami. Dimana kami tak pernah saling bersentuhan sekalipun. Bertatapan pandangan pun kami malu. Untuk mengobrol itu caranya adalah aku berkunjung ke rumahnya, dan ngobrol di tempat terbuka dan berjarak. Tapi aku bahagia, awalnya, karena ini terasa spesial karena aku pertama kali pacaran dengan orang seta’at perempuan ini. Namanya Aisha.

“Sabar...” Kata Aisha sembari membacakan ayat tentang keutamaan sabar. “Alloh mencintai orang yang sabar,” katanya. Dan aku mencintaimu yang sabar menerimaku, kataku dalam hati.

“Sabar...” Katanya lagi setelah beberapa bulan berobat tapi tak kunjung sembuh. “Aku akan sabar menunggumu sampai kamu sembuh.” Itulah kalimatnya yang paling membuatku bisa bertahan dan terus menerus berobat agar bisa sembuh.

“Sabar...” Aisha selalu bilang begitu setiap aku berobat dan gagal. “Aku akan tetap bertahan mencintamu sampai kamu benar-benar bisa sembuh.

Aku senang walaupun tak pernah sedetikpun bisa menyentuh kulitnya. Bagiku cinta itu perihal menerima kekurangan dengan penuh keikhlasan. Aku sempat bertanya kenapa dia menerima cintaku sedangkan dia sangat relijius. Dia hanya bilang, “Semoga bisa belajar sabar...” katanya. Jujur aku bangga padanya.

Ini adalah bulan puasa ketiga selama aku pacaran dengan Aisha. Hari-hari kami lalui dengan sabar dan tak pernah saling mnggunjingkan. Tak pernah kami bahas apapun yang bisa menyinggung perasaan masing-masing kami. Aku tak ingin kehilangannya, tapi sumpah aku hampir stress karena sampai saat ini mandulku blm jg sembuh.

“Sabar...” Kata Aisha saat aku katakan mandulku belum juga sembuh. “Sabar ya kang, mungkin setelah lebaran tahun ini, aku akan menikah. Ayahku telah memilihkannya untukku. Aku akan dinikahakan dengan seorang ustadz. Aku harus rela, kang, karena ayahku adalah raja untukku. Jika aku melanggarnya berarti aku telah menduhakainya. Sabar ya kang, mungkin kita memang bukan jodoh. Tapi aku yakin Alloh punya rencana spesial untuk akang. Yang penting akang sabar ya, jangan berburuk sangka kepada Alloh.” Itulah kalimat terkahir Aisha yang sampai saat ini masih terdengar jelas di telingaku. Karena setelah itu kami memang tak pernah bertemu lagi. Aisha menikah dengan ustadz pilihan ayahnya, dan aku murung dengan kemandulanku yang tak juga sembuh.

Khatam

Elhida 180812

____________________________

#Cersama adalah kependekan dari Cerita Bersama, adalah even yang dibuat oleh kami berenam yaitu Novi Octora, Inin Nastain, Vianna Moenar, Rieya MissRochma, Elhida, dan Ajeng Leodita

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun