Seperti biasa, sesampainya di rumah yang kubuka setelah pintu depan adalah jendela hati
Aku biarkan udara masuk melalui kegembiraan yang tak datang
Lalu menghirup udara kedamaian yang kupaksakan membiarkannya masuk sedalam-dalamnya ke jiwa
Kali ini tak ada wedang jahe dapat kuseduh, hanya ada kegelisahan kuteguk perlahan
Seperti biasa, beberapa bait sajak aku buat dengan kalimat yang sederhana
Tentang sandal yang beberapa kali hilang juga tentang perjalanan yang tak menghasilkan
Betapa hidup ini memang bukan untuk dikeluhkan, melainkan dibuatnya senyeni mungkin agar nikmat dijalani
Beberapa gurauan kawan cukup menghibur duka sampai datang saatku untuk mimpi
Seperti biasa, anak dan istriku menggagahi lelapnya lebih dulu
Aku yang kadang tak kunjung bisa tidur mencoba bercengkrama dengan diriku sendiri
Perihal perjalanan panjang melelahkan juga tentang angan memilukan
Ketika malam menyudahi dirinya sendiri, aku mulai menyeduh asa
Seperti biasa, aku katakan kepada Tuhan tentang segala kegundahan
Aku bilang padaNya bahwa aku telah khatam menghapal getirnya takdir
Sehingga apapun yang dikehendakiNya rela dan pasrah aku jalankan
Walau sesekali aku mengatakannya dengan tangisan
Seperti biasa, kipas angin kunyalakan
Aku masih kegerahan walau udara dingin sampai ke tulang
Dan seperti biasa, aku mengakhirinya tanpa beban
Kudekap nyawaku erat, lalu menidurinya sampai fajar
el, 2012 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H