Jum’at, 19 Oktober 2012
Jam Sembilan pagi, Dosen Peradaban Barat itu baru saja pergi setelah mengajak kami–mahasiswanya-berdiskusi.Tiba-tiba saja aku teringat hari ini adalah tanggal 19 Oktober, hari yang kutunggu-tunggu sejak berbulan-bulan lalu. Ya, hari bersejarah dalam hidupku dimana aku bisa bertemu dengan para warga di desa maya secara nyata. Villa Lentera Merah Bandung, itulah destinasinya.
Tapi, aku harus bersabar menanti. Karena masih ada satu kuliah lagi sore ini yang harus kuikuti. Meski aku tak yakin dosennya bakalan datang, sebab tuh dosen udah keseringan bolos. Dan ternyata firasatku benar. Tuh dosen bolos lagi, jadilah sore itu kuhabiskan waktu untuk ngangkatin jemuran dan memasukkannya ke dalam tas buat di bawa ke bandung.
Jam enam teng, setelah shalat maghrib yang di jamak dengan isya aku bersama Fidia melangkah meninggalkan asrama.
****
Jam 12 malam, memasuki tanggal 20 Oktober 2012
Kami tiba di Villa. Oiya, aku dijemput sama Pongky ( yang ternyata pake kaos item, bukan jubah kebesaran kain kafan pink) Bunda Yety, Cupi ( yang ternyata cantik sekali.) dan Bocing yang super rese banget.
Sampai di Villa Mas Hans menyambut kedatanganku, dia langsung memasang kuda-kuda seakan mengajak berantem, nyuruh aku nunjukin kemampuan taekwondoku. Aku hanya tertawa, kemudian bersalaman dengannya. Inikah Mas Hans? Si Kades yang telah mencuri hati sekian banyak gadis rangkat (dan mungkin termasuk aku)?
Ah, dia memang tampan, mungkin pria paling tampan yang pernah kutemui di Desa Rangkat. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang? *tepok jidat
Dengan logat Palembangnya yang sangat kental, Mas Hans sangat ramah menyuruhku makan dan memintaku untuk tak perlu malu-malu di sana. Yayaya, pelukan hangat dari Mommy makin menghangatkanku malam itu.
Usai makan malam yang dihidangkan oleh Pongky, aku naik ke lantai dua, bergabung dengan Mommy, Jingga, bang Ibay, dan bunda Riska. Mengobrol kesana kemari tentang Desa Rangkat. Tentang Cupi yang melarang hubunganku dengan Mas Hans karena firasat Cupi gak enak tentang Mas Hans. Mendengarkan tawa Jingga yang menggelegar hingga menggetarkan jendela Villa, dan dengkuran bang Ibay yang serupa dengan gesekan roda pada rel kereta.
***
Sabtu, 20 Oktober 2012.
Pagi di awali dengan sarapan bersama, kemudian membicarakan espektasi Desa Rangkat di masa depan. Siang menjelang, datanglah seorang biduan bersama seorang pemain music. Sayangnya, biduan itu hanya membawakan satu dua buah lagu, karena kemudian, mike di ambil alih sama bunda yety yang menyanyikan sebuah lagu lawas. Aku tak mau kalah, kunyanyikan lagu Goyang Dombret sambil berjoget ria dengan bang ibay.
Pak Windu pun unjuk gigi,beliau juga bernyanyi ria, di susul dengan ki Dalang yang menyanyikan lagu Perahu Layarnya Kembar Srikandi. Semua tertawa lepas, semua terlihat bahagia.
Lalu datanglah Jingga, membisikkan sesuatu ke telinga sang biduanita dan pemusiknya. Setelah itu, lagu Rumah Kita Sendiri mengalun, dibawakan oleh Sang Biduanita. Jingga hanya berdiri sambil memegangi selembar kertas.
Setelah biduan itu selesai menyanyikan lagu, music masih mengalun, Jingga maju ke depan. Dengan lidah cadelnya yang kesulitan membunyikan huruf ‘r’ dia membawakan sebuah puisi tentang desa Rangkat. Membius semua yang hadir, hanya ada denting organ dan suara Jingga yang bergema di ruangan itu.
Ah, aku tak mampu membahasakan puisi yang ia bawakan. Terlalu indah untuk di tuliskan, terlalu menggugah untuk tak di simpan dalam ingatan. Bulu kudukku meremang, oleh perasaan haru.
Begitu Jingga selesai membacakan puisinya, Mas Hans berlari memeluknya. Keduanya larut dalam tangis haru. Dan airmata haru itu menular ke semua orang yang hadir di situ. Sedangkan aku? Masih setia memegang kamera Bocing untuk mengabadikan momen itu, meski dengan kecemburuan yang menusuk kalbu.
Ya, aku cemburu. Cemburu karena Mas Hans memeluk Jingga. Meski aku tahu apa makna pelukan itu, tapi aku tetap saja cemburu. Mungkin aku tak bisa membacakan puisi yang menyentuh seperti Jingga, tapi aku juga ingin merasakan pelukanmu Mas Hans. Pelukan sayang dari seorang kakak yang dicinta. Ah, mengapa kecemburuan ini hanya kusimpan dalam hati? Mengapa tak kuungkapkan ssaja? Mengapa tak kupisahkan Jingga dan Mas Hans yang berpelukan lama itu?
Aku terlalu pengecut untuk melakukannya. Dan aku hanya bisa memeluk kamera, membidikkannya pada Jingga yang telah mencuri hati semua warga dengan puisinya.
Mas Hans, jika saja syariat membolehkan. Ingin sekali aku merasakan dipeluk olehmu, seperti yang Jingga dapatkan saat itu. Tapi, keyakinan yang kuanut melarangku untuk mengekspresikan rasa sayangku ini padamu.
Maka, hanya dalam maya aku dapat memelukmu. Meski ragaku tak mampu merasakan kehangatan pelukmu, hatiku telah lama memeluk hatimu. Jika dulu kau kuhindari karena tak ingin disakiti seperti gadis-gadis rangkat yang kau buat patah hati. Maka kini aku ingin dekat denganmu, aku ingin memiliki kakak sepertimu. Tolong, terimalah cintaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H