Mohon tunggu...
Fitriyani
Fitriyani Mohon Tunggu... Freelancer - Junior Editor at Delilahbooks.com

A woman who loves writing story beyond her imagination.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

{KCV} Setangkai Cinta Untuk Fia

14 Februari 2012   02:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:41 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329187490929921170

kolaborasi antara EL Fietry Jamilatul Insan dan Dyahfitri Wulandari No. Peserta:65 ------------------------------------------

Pagi masih buta. Ayam bahkan belum menemukan cahaya untuk membukakan matanya, tapi aku harus bangun mendahului ayam dan buah hatiku. Penat sisa menyeterika sampai habis cucian tetangga semalam masih enggan pergi dari tubuh. Kubasuh seluruh indera ku dengan air wudhu. Dingin menyergap raga. Tapi tak mengapa, karena tahajjud harus kutunaikan, demi mencurahkan hati dengan Sang Pencipta walau aku sudah merasa agak lain dengan semangatku pagi ini. Seperti ada yang hilang, entah apa. Sambil menunggu subuh, ku jerang air di atas kompor minyak tanah. Persis saat adzan subuh membelah fajar, air di ceret sudah mendidih. Dua gelas teh hangat tanpa gula untukku dan buah hatiku telah siap. Dan Subuh sudah waktunya ditunaikan. Ku lalui Subuh dengan sebuah ketenangan yang teramat sangat, di tutup dengan panjatan do’a, tak lupa sebuah do’a khusus kupanjatkan untuk buah hatiku agar ia selalu berada dalam lindungan-NYA dan semoga ia tak perlu mengalami pahitnya hidup sepertiku. Dia, buah hatiku, kubesarkan seorang diri karena Ayahnya yang entah karena alasan apa, meninggalkan kami berdua tanpa uang sepeserpun. Waktu itu buah hatiku baru berusia 3 tahun dan kejadian itu sudah hampir 18 tahun berlalu. Kami lalui hidup dengan kebahagiaan di tengah semesta kekurangan. Selaksa syukur selalu kupanjatkan pada Tuhan karena buah hatiku tak pernah sekalipun menyusahkan hatiku. Sering dalam diam, kupandangi wajah lelapnya. Cantik. Dia selalu cantik buatku. Hanya saja terkadang ada rasa nestapa dalam kalbu : akankah aku bisa membahagiakannya ? Akankah aku bisa menyaksikan dia bahagia ? Bergegas, aku segera mempersiapkan diri untuk berkeliling ke rumah-rumah pelanggan, selain mengantarkan cucian yang sudah terseterika, juga sekaligus mengambil cucian-cucian kotor yang akan ku kerjakan hari ini. Banyak pelanggan puas, karena jika matahari terik menantang sinarnya, maka cucian-cucian kotor itu bisa ku selesaikan dalam waktu kurang dari 24 jam. Sebenarnya itu salah satu trik ku saja : semakin cepat dan semakin banyak cucian yang bisa kuselesaikan maka akan semakin banyak upah yang ku terima. Dengan demikian, akan semakin banyak uang yang bisa kusisihkan untuk bekal buah hatiku melanjutkan sekolahnya. Pintu depan sudah kubuka. Sejuknya udara pagi segera menerpa. Senyum cerah siap ku tebarkan..namun, mendadak kepalaku terasa pening. Aku diam sejenak. Mencoba menetralisir situasi yang membuatku sedikit tak nyaman. Mata ku pejamkan, nafas ku atur satu per satu. Lumayan, pening sudah mulai mereda namun sesak di dada kiri masih menyisakan kejutannya. Ah….sebentar juga sembuh, kataku dalam hati. Cucian Bu Joko, Bu Anwar, Bu Andien dan Bu Santoso sudah selesai kuantar sekaligus mengambil cucian kotornya. Setelah meletakkan di sumur belakang rumah, segera aku berangkat ke rumah Bu Sanusi tetapi……ah, mengapa mendadak peningku melanjutkan ulahnya. Bahkan saat ini disertai bulir-bulir keringat dingin yang deras menuruni kening dan pipi. Tuhan….jangan sekarang, jangan buat aku sakit sekarang…. “Mak, Mak kenapa ? sakit ?” tanya buah hatiku yang tahu-tahu sudah ada di belakangku. “Ndag, dek….cuma agak pusing, sedikit, bentaran juga sembuh,” jawabku sambil tersenyum agar dia tak terlalu mengkuatirkan aku

***

Adzan subuh berkumandang, jam wekerku berdering membangunkanku untuk segera bangkit menyongsong hari. Aku menggeliat sesaat, menguap lebar. Kemudian kuseret langkah ke kamar mandi, kuambil air wudhu dan segera kutunaikan kewajiban Subuh. Diantara lafad dzikir yang kulantunkan tak pernah lupa kutitipkan sebait doa pada Sang Pencipta, doa untuk ibuku tercinta. Yang telah membesarkanku dari kecil hingga dewasa, seorang diri. Luasnya kasih sayang ibuku, membuatku merasa tak memerlukan lagi sosok seorang ayah. Bahkan aku pun telah lupa bagaimana wajah ayah kandungku, karena ia telah pergi meninggalkan aku dan ibu semenjak aku masih balita.

Ibu, wanita terhebat dalam hidupku. Selalu bekerja keras membanting tulang demi kebahagiaanku, menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah. Tapi aku tak pernah merasa hina dengan pekerjaan ibuku, justru aku bangga padanya.

Usai shalat, ku tengok kamar ibu. Ibu tidak ada, mungkin sedang mengantarkan cucian ke pelanggan-pelanggannya. Kulangkahkan kaki menuju dapur, akan kusiapkan sarapan untuk ibu. Sehingga nanti jika ibu datang, bisa langsung makan bersamaku.

Tak lama kemudian terdengar suara di sumur belakang rumah, pasti ibu sudah pulang. Kebetulan, sarapan telah siap. Aku beranjak ke belakang rumah untuk memanggil ibu, tapi aku menjadi terheran-heran ketika melihat ibu terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya. Keringat tampak mengucur deras di dahinya, bergegas aku menghampirinya.

“ Mak, Mak kenapa? Mak sakit?” tanyaku penuh khawatir.

“Ndag, dek….cuma agak pusing, sedikit, bentaran juga sembuh,” bibir pucat ibu menyunggingkan senyum. Aku tahu ibu berusaha tampak kuat di depanku, namun wajah pucatnya tak mampu membohongiku.

“ Mak, Mak istirahat aja ya. Jangan dipaksain kerja kalo Mak gak kuat,”

“ Tapi Dek, Mak belum ngambil cucian di tempat Bu Sanusi,” kata ibu dengan suara bergetar.

“ Biar Adek yang ambil nanti, Mak. Hari ini biar Adek yang menyelesaikan semua pekerjaan Mak,” kataku.

“ Memang hari ini kamu gak ada kuliah?”

“ Adek kuliah siang, Mak. Jadi bisa bantu Mak dulu,”

Ibu memandangku sayu, kurangkul badan ibu dan membimbingnya masuk ke dalam rumah. Kuantar ibu ke kamarnya, ibu tak punya pilihan selain menuruti perkataanku untuk beristirahat. Kuambil makanan untuk ibu dna meletakkannya di meja samping tempat tidur ibu. Setelah itu aku berpamitan pada ibu untuk mengambil cucian kotor di rumah langganan ibu.

Menjelang tengah hari, semua pekerjaan telah kuselesaikan. Semua cucian langganan ibu telah bertengger manis di jemuran, rumah sudah kubersihkan dan aku pun juga sudah memasak makan siang untuk ibu. Aku segera bersiap untuk pergi ke kampus, alhamdulillah aku mendapat beasiswa kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, aku ingin melihat ibu tersenyum bangga saat melihatku di wisuda nanti. Aku ingin menjadi lulusan terbaik dan mempersembahkannya untuk ibu.

Selesai bersiap, kutengok ibu di kamar. Ibu telah terlelap, aku tak ingin membangunkannya. Kucium punggung tangan ibu dan juga kening ibu yang mulai berkeriput. Setelah itu aku berangkat ke kampusku dengan angkot.

“ Hai Fia,” sapa Karina teman sekelasku begitu aku sampai di kampus.

Aku membalas sapaannya dengan senyuman.

“ Hari ini pulang kuliah kamu ikut ke rumah singgah kan? Anak-anak pada kangen tuh sama kamu,” ucap Karina.

“ Insya Allah...,” kataku pelan.

6 bulan belakangan aku bersama temanku memang sering mengunjungi rumah singgah di salah satu sudut kumuh Ibukota untuk mengajari anak-anak jalanan membaca dan menulis. Menghabiskan waktu bersama mereka amat menyenangkan, awalnya mereka memang bandel, tak mau belajar. Mereka lebih memilih untuk bekerja mencari uang daripada belajar, namun akhirnya sedikit demi sedikit mereka mau juga belajar. Bergaul dengan mereka membuatku sadar bahwa masih banyak yang lebih tidak beruntung dariku, mereka telah terenggut dari dunianya.

Anak-anak seusia mereka harusnya sekolah dan bermain, namun mereka harus menghadapi kerasnya kehidupan ini. Ingin kubagi cinta dan kasih sayangku dengan mereka, agar mereka dapat melihat sisi lain kehidupan yang indah di balik kerasnya kehidupan jalanan dalam keseharian mereka.

Sang mentari telah lengser di ufuk barat, menorehkan jingga di kaki langit. Kubuka pintu rumah dan kuucapkan salam.

“ Assalamualaikum, Mak..! “

Tak ada jawaban, aku menjadi heran. Biasanya ibu langsung menyambutku di depan rumah, tapi rumahku sepi sekali,bahkan lampu-lampu belum dinyalakan hingga membuat suasana di dalam rumah menjadi gelap di keremangan senja ini. Kucari sakelar lampu dan menyalakan penerang dalam rumah. Begitu lampu menyala, pemandangan mengejutkan terpampang di hadapanku.

“ Mak...!”

Mataku terbelalak mendapati Ibu tergeletak tak sadarkan diri di lantai rumah, di sekitar tubuhnya ada pecahan beling yang berserakan.

***

Mataku membuka perlahan. Ruangan serba putih. Aroma khas rumah sakit mulai tercium. Aku di mana? tanyaku dalam hati. Sedikit rasa nyeri menjerat pergelangan tangan kiriku. Sepintas ku lihat dari tempatku berbaring, sebuah jarum infus menancap manis di sana. Ku hela nafas panjang, membayangkan berapa banyak uang yang harus kukeluarkan gara-gara pingsan gak penting ini. Saat ku angkat tangan kananku, terasa kaku. Ku lirik…oh, ternyata Fia, buah hatiku, ada di sana, memegang erat tangan kananku, ketiduran. Senyum haru terlintas. Bisa-bisanya aku yang setua ini masih saja merepotkannya. Bukankah seharusnya aku yang menjaganya ? Fia mendadak bangun, sambil mengerjapkan mata indahnya “Mak …. Mak sudah sadar ya?” Aku memaksa diri tersenyum, walau jauh di dalam dada kiriku terasa perih. “Mak masih lemes ya ? Udah, Mak istirahat aja ya, biar cepet sembuh.”

“Kita pulang aja ya Dek, Mak ga betah di sini.” “Ga betah gimana ? Mak harus istirahat total.” “Nanti di rumah juga bisa kok.” “Gag mungkin. Yang ada malah Mak nanti terus saja bekerja, ya kan ?” “Janji deh, Mak bakalan ngaso sampai sembuh. Mak ga betah di sini, Dek” Fia menggeleng sambil tersenyum,”gag boleh.” “Dek…” “Apa. Mak sayang ?” “Eeeehhhmmm, anu….itu…gimana….” “Apa Mak, biaya ?” “Iya, kalau kelamaan nginep di sini mahal loh Dek.” “Jangan kuatir Mak, kita kan pake Jamkeskin. Tadi Fia udah minta tolong Mang Ujang loper koran sebelah rumah bikinin surat pengantar RT/RW, habis itu ngurus Jamkeskin. Jadi, Mak jangan kuatir ya…” kata Fia. “Syukur Alhamdulillah deh, tapi…..kerjaan di rumah ?” “Tuuuu kan….. masih aja kerjaan yang dipikirin,” kata Fia smbil pura-pura merengut. Aku tertawa samar, bagaimanapun dia adalah anugerah hidupku yang paling indah. Bagaimana mungkin aku tega membuat hatinya tak suka ? Tuhan, mohon kabulkan do’a hamba : tolong lindungi dia selalu, amin….

***

Aku termenung memandangi sungai yang airnya tampak keruh, sampah berserakan dimana-mana. Celotehan anak-anak di rumah singgah tak mampu mengusir gundahku. Kubiarkan Karina yang mengajari mereka, karena aku sedang takfokus untuk bermain bersama anak-anak singgah itu. Pikiranku terlalu kalut untuk berbagi keceriaan bersama mereka.

“ Kamu kenapa sih, Fi?” tanya Karina yang tiba-tiba saja sudah ada disampingku.

“ Gak apa-apa, Rin.” Ucapku. Aku tak mau membagi kesusahanku dengan Karina, ia sudahterlalu banyak membantuku selama ini.

“ Kalo ada apa-apa, cerita sama aku yah. “

Aku mengangguk perlahan, hari beranjak sore. Aku harus segera ke rumah sakit untuk menjaga ibuku. Akupun berpamitan pada Karina dan menitipkan salam pada anak-anak di rumah singgah. Dengan menaiki angkutan umum, aku bergegas ke rumah sakit. Meski galau belum mampu kuenyahkan dari pikiranku. Aku tak boleh terlihat lesu dihadapan ibuku, segera kubenahi diri dan menyiapkan wajah ceria untuk bertemu ibuku nanti.

Tapi, mengingat biaya rumah sakit yang belum mampu kulunasi membuat wajah ceriaku mendung tiba-tiba. Jamkeskin yang kugunakan ternyata hanya bisa untuk membayar setengah dari biaya rumah sakit, setengahnya lagi harus bayar sendiri. Aku bingung darimana aku bisa mendapatkan uang, tabungan beasiswaku pun belum cukup untuk menutupinya.

Tak terasa angkutan yang kutumpangi sudah sampai di depan rumah sakit, aku segera turun dan membayar ongkosnya. Kuseret langkahku menuju kamar dimana ibuku dirawat.

***

Sudah tiga hari aku terbaring disini, sungguh aku tak betah. Meski Fia mengatakan bahwa tak usah memikirkan biaya rumah sakit. Tapi aku tetap khawatir, bagaimana dengan para langganan cucianku? Siapa yang mengerjakan semuanya? Kasihan Fia jika dia yang mengerjakan semuanya, aku tak mau berlama-lama sakit dan membiarkan Fia mengurus segalanya sendirian. Tapi dokter tak kunjung mengijinkan aku pulang, penyakit sialan ini memang merepotkan.

Nah, itu dia buah hatiku datang. Ia tersenyum manis ke arahku.

“ Gimana kabar, Mak? Udah merasa baikan?” tanyanya.

“ Mak udah baikan, Fi. Kapan Mak bisa pulang?” tanyaku tak sabar.

“ Nanti, Mak. Kalau dokter udah mengijinkan.”

Kutatap wajah putriku semata wayang dalam-dalam, dibalik senyum yang tersimpul di bibirnya aku melihar gurat kegelisahan di sorot matanya. Fia menggenggam tanganku dengan erat dan menempelkan punggung tanganku di pipinya. Ada apa dengan Fia?

“ Mak, gimana kalau Fia berhenti kuliah dan kerja aja. Biar bisa ngurusin Mak, Mak jadi sakit gini karena terlalu keras bekerja. Sekarang saatnya Fia yang menjaga dan merawat Mak,” nada sendu kutangkap dari kalimat Fia.

“ Kamu ini ngomong apa, Fia? Mak masih kuat kerja kok, Mak cuma sakit biasa. Bentar lagi juga sembuh, lagian gak semua orang dapat kesempatan bisa kuliah kayak kamu. Kamu gak boleh menyia-nyiakannya. “

Fia mengangguk perlahan, ia mendekap tanganku ke dadanya.

“ Fia sayang banget sama Mak,” ucapnya lirih.

“ Mak juga sayang sama Fia, lebih dari apapun.”

Fia beringsut, ia memelukku dengan eratnya.

“ Fia, Mak masih punya tabungan. Mungkin kamu bisa mempergunakannya, buku tabungannya ada di bawah kasur emak. Kalau kamu memerlukannya, pakai saja. Mak ikhlas kok,” ujarku.

Fia melepaskan pelukannya dan menatapku dalam-dalam, kemudian ia kembali memelukku seraya mengucapkan terimakasih. Entah terimakasih untuk apa.

***

Pagi yang cerah, kutatap langit yang membiru dihiasi awanan cumulus. Aku bersyukur tabungan Mak bisa kupergunakan untuk membayar sisa biaya rumah sakit, namun belum cukup untuk melunasi. Mungkin aku harus mencari sedikit pinjaman agar bisa melunasi semuanya.

Hari ini, aku melihat banyak teman-temanku di kampus yang saling memberikan bunga mawar dan juga cokelat. Kata mereka, ini adalah hari valentine. Hari kasih sayang. Jadi mereka harus memberikan bunga mawar dan juga cokelat kepada orang yang dikasihinya. Di jalanan pun, banyak kulihat pedagang asongan menjajakan bunga mawar pada pengendara mobil dan motor.

Hari valentine? Aku tak pernah merayakannya, disamping aku tak punya pacar, aku juga tak sempat memikirkan hal seperti itu. Sekarang aku sedang fokus bagaimana caranya mencari uang untuk melunasi biaya rumah sakit. Namun, hingga matahari tergelincir mendekati ufuk barat. Aku tak kunjung berhasil mendapatkan uang, padahal ini hari terakhir yang ditetapkan pihak rumah sakit untuk aku melunasi semuanya. Aku sudah berusaha mencari pinjaman kesana kemari, tapi hasilnya nihil.

Aku melangkah dengan gontai menyusuri lorong rumah sakit, mungkin aku bisa minta dispensasi lagi pada pihak rumah sakit untuk memberiku tenggang waktu guna melunasi semua biayanya. Dengan hati berdebar kuhampiri loket kasir rumah sakit, dan meminta tagihan rumah sakit ibuku.

“ Maaf, Mbak. Apa saya bisa minta tenggat waktu lagi? saya belum bisa melunasinya sekarang, Mbak,” pintaku memelas.

“ Lho, tagihan atas nama Bu Maryam sudah lunas Mbak. Ini kwitansinya,” petugas kasir itu memberiku kwitansi.

Mataku terbelalak ketika melihat kwitansi yang menyatakan bahwa biaya rumah sakit Mak sudah lunas.

“ Mbak, siapa ya yang sudah melunasinya?” tanyaku heran.

“Katanya teman Mbak, tadi dia datang kesini dan sudah melunasi semuanya.”

Aku tertegun dalam keheranan dan rasa penasaran. Siapa yang telah melunasi semua biaya rumah sakit ibuku? Aku bergegas ke ruang rawat ibuku, mungkin penolongku itu masih berada disana. Langkahku terhenti ketika mendengar alunan lagu Kasih Ibu terdengar dari kamar rawat ibuku.

Kasih ibu...kepada beta...

Tak terhingga sepanjang masa...

Hanya memberi, tak harap kembali...

Bagai sang surya, menyinari dunia...

Suara cempreng anak-anak berpadu dengan suara halus ibuku dan juga sebuah suara merdu yang kukenali sebagai suara sahabatku, Karina. Aku masuk dan menghampiri mereka, aku cukup terkejut ketika mendapati Karina bersama anak-anak jalanan dari rumah singgah sedang berkumpul mengelilingi ibuku.

“ Kak Fia..,” anak-anak jalanan bersorak menyambutku, mereka memelukku satu persatu.

Karina melangkah anggun mendekatiku.

“ Fia, mengapa kau tak pernah bercerita kalau ibumu sakit?”

“ Aku..aku...,” tiba-tiba saja lidahku menjadi kelu.

Karina tersenyum manis padaku, ia meraih tanganku dan menaruh sebuah amplop di telapak tanganku.

“ Apa ini, Rin?” tanyaku seraya memandangnya dengan seksama.

“ Ini buat kamu dan ibumu, sebagian sudah kugunakan untuk melunasi biaya rumah sakit. Kumohon kau jangan menolaknya, Fia. Ini bukan semata-mata dariku, ini dari kami semua. Beberapa hari yang lalu aku ke rumahmu, tapi ternyata kosong. Tetanggamu bilang ibumu dirawat disini, saat menjenguk ibumu aku baru tahu kalau ibumu sakit keras dan butuh biaya banyak untuk berobat. Ketika aku menceritakan semua ini pada anak-anak di rumah singgah, mereka berinisiatif untuk membantumu. Maka sejak kemarin hingga hari ini, aku dan anak-anak jalanan dari rumah singgah menjual bunga mawar pada semua orang di jalan, kebetulan bertepatan dengan hari valentine. Jadi, jualan kami laku keras. Semua uangnya kami berikan padamu untuk biaya pengobatan ibumu dan juga keperluan kalian sehari-hari,” Karina menguraikan panjang lebar, sementara aku tak mampu lagi membendung airmataku untuk tidak keluar.

“ Aku tak tahu harus bilang apa padamu, Kar. Makasih banyak,” kataku disela isak yang tak mampu kutahan.

Aku memeluk Karina dengan eratnya, dan kutumpahkan tangis haruku di bahunya.

“ Ingatlah, Fia. Kau tak sendirian, kau memiliki kami yang selalu siap membantumu. Kami semua sayang padamu, Fia.”

Aku mengangguk penuh haru. Salah seorang dari anak jalanan itu menghampiriku.

“ Kak Fia, ini bunga untuk Kak Fia.”

Aku berjongkok menerima bunga pemberiannya kemudian memeluknya. Kulirik ibuku yang sedang menyimpul senyum terindahnya padaku. Karina benar, aku tak pernah sendirian. Aku memiliki orang-orang yang menyayangiku disekelilingku, kami saling memiliki dalam cinta kasih. Keterbatasan kami membuat ikatan ini semakin kuat, tak ada yang perlu dikhawatirkan selama masih ada cinta di hati untuk dibagi. Maka selama itu pula, kami takkan pernah kekurangan. Karena cinta saja, sudah memenuhi segalanya.

TAMAT

Untuk melihat karya peserta lainnya silahkan kunjungi : Cinta Fiksi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun