ISBN: 9786020822129
Â
Â
Â
"Aku tahu sekarang, lebih banyak luka di hati bapakku dibanding di tubuhnya. Juga mamakku, lebih banyak tangis di hati Mamak dibanding di matanya."
Sebuah kisah tentang perjalanan pulang, melalui pertarungan demi pertarungan, untuk memeluk erat semua kebencian dan rasa sakit."
(Sinopsis di bagian belakang cover buku)
Jika sekilas kita membaca bagian belakang cover novel ini, maka kita yang belum membacanya akan menyangka bahwa novel ini akan bercerita tentang kisah drama yang mengharu biru, seperti kebanyakan novel tere liye lainnya. Sama halnya dengan saya sendiri, ketika pertama membelinya, saya mengira akan menemui kisah mengharukan yang menjadi ciri khas Tere Liye selama ini. namun ternyata, Tere Liye memberi kejutan dalam setiap lembar novel ini. Bukannya kisah drama yang menerbitkan airmata, justru kisah thriller penuh laga dan aksi seru yang membangkitkan adrenalin pembaca. Sewarna dengan novel Negeri Para Bedebah dan negeri di Ujung Tanduk yang pernah di tulis Tere Liye beberapa tahun sebelumnya. Saya suka dengan penulis yang tidak terpaku pada satu genre, agar kita sebagai pembaca tidak bosan menikmati karyanya. dan Tere Liye telah membuktikan kepiawaiannya untuk tetap mempertahankan kesetiaan para penggemar karyanya.
meski genre novel ini adalah thriller, namun filosofi kehidupan dan kisah tentang keluarga yang mengharukan tetap membumbuinya, bahkan menjadi benang merah yang membentang dalam kehidupan sang tokoh utama.
Berikut ini adalah ulasan singkat yang saya tulis tentang novel ini.
jika setiap manusia memiliki lima emosi, yaitu bahagia sedih, takut, jijik, dan kemarahan. Aku hanya memiliki empat emosi. Aku tidak punya rasa takut. (Hal.1)
Novel ini bercerita tentang Bujang. Bujang adalah seorang anak kampung pedalaman Sumatra, ia tidak pernah sekolah. Hanya belajar baca tulis dan berhitung dari Mamaknya, juga sesekali belajar agama secara sembunyi-sembunyi. Ketika umurnya 15 tahun, Bujang diboyong dari kampung ke kota provinsi untuk tinggal bersama Keluarga Tong yang menguasai bisnis gelap di pelabuhan. Keluarga Tong adalah tempat di mana dulu ayahnya bekerja sebagai tukang pukul. Bujang amat berkeinginan untuk menjadi tukang pukul seperti ayahnya, namun Tauke Besar, pimpinan Keluarga Tong, tidak mengijinkan. Tauke Besar malah ingin Bujang sekolah setinggi-tingginya setelah menyadari potensi kecerdasan yang dimiliki Bujang. Mati-matian Bujang menolak belajar dan selalu merengek untuk diijinkan ikut bertugas bersama para tukang pukul lainnya. Tauke Besar pun harus menggunakan tipu daya untuk membuat Bujang menyerah pada keinginannya untuk menjadi tukang pukul dan bersedia sekolah.