“ Kapan kau menikah dengannya?” tanyamu.
“ Aku takkan pernah menikah tanpa persetujuanmu. Restumu adalah yang terpenting bagiku.” Kataku pelan sambil melepaskan tali sepatumu. Ritual yang selalu kulakuan saat kau pulang kerja.
“ Kau tahu bahwa mungkin aku takkan pernah memberikan restuku padamu? Kau mau tidak menikah seumur hidup karena menunggu restuku?”
“ Apalah artinya aku menikah jika tanpa restu darimu? Biarlah kubaktikan seluruh hidupku padamu, membalas jasa-jasamu yang takkan pernah lunas kubayar dengan apapun.”
Aku masih sibuk melepaskan tali sepatumu satu persatu ketika tiba-tiba kurasakan sesuatu yang basah jatuh di punggung tanganku. Aku mendongak kearahmu, Ya Tuhan! Kau menangis! Kau yang selama ini aku kenal keras dan pemarah, hingga airmata menjadi hal tabu bagimu, namun di balik sikap kerasmu, ternyata kau memiliki hati yang lembut.
“ Maafkan aku, selama ini aku hanya terlalu takut kehilanganmu. Sehingga menahanmu untuk mendapatkan kebahagiaanmu sendiri,”ucapmu terbata. Kuseka airmatamu dengan lembut, seraya meyakinkanmu bahwa kau takkan pernah kehilanganku.
“ Menikahlah, aku merestuimu.” Akhirnya terucap kalimat itu dari mulutmu. Dengan penuh haru, kupeluk erat dirimu. Kau takkan pernah tergantikan di hatiku, aku mencintaimu, ayah.
picture by: www.desainkawanimut.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H