Tahun 2011 mencapai penghujungnya hari ini. Banyak—pasti begitu banyak sekali—yang bisa kita perhatikan selama satu tahun ini. Media cetak sejak beberapa hari yang lalu tentu sudah mulai menulis edisi-edisi kaleidoskop. Media yang lebih banyak diakses kaum cendekia dan melek teknologi juga sudah sibuk mengatur-atur kode HTML agar laman jejaringnya cantik dengan rangkuman kejadian. Di studio televisi, tim kreatif—tak pelak lagi—sudah menyiapkan kritik yang pedas sekali bagi pemerintah. Singkatnya, tiap tahun edisi kaleidoskop—setidaknya menurut pengamatan saya—lebih banyak bercerita tentang apa yang salah dan harus diperbaiki. Sepertinya, itu tentu boleh, bagus, dan harus dilakukan.
Beberapa hari belakangan, kasus perusakan fasilitas muslim syiah di Sampang sempat menjadi rubrik terkini. Terlepas dari menyimpang atau tidaknya syiah, seharusnya pembakaran dan aksi kekerasan itu tidak perlu terjadi. Lebih-lebih jika dilakukan oleh umat muslim, karena sangat tidak mengikuti tuntunan nabi.
Perkara beda aliran dalam satu agama ini boleh jadi memang pantas disebut simalakama. Di satu pihak, agama Islam di Indonesia sendiri memiliki kaidah-kaidah bagaimana sebuah aliran dianggap sesat. Di pihak lain, ada kelompok yang mengaku Islam aliran tertentu yang dinyatakan sesat namun membela diri dengan dalih kebebasan beragama. Kalau tidak dengan itu, dengan dalih HAM juga bisa.
Masih ingat dengan hebohnya Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang berkomentar tentang rok mini? Komentar beliau muncul setelah terbebernya kasus pemerkosaan di sebuah angkutan kota di Jakarta. Dari komentar itu, komentar lain tumbuh subur. Salah satu yang paling santer pasti berasal dari kaum hawa. “Memakai rok mini itu kan hak wanita. Kalau dilarang, ya melanggar HAM.” Pada salah satu pendapat lain,”Pernyataan itu merupakan kekerasan verbal terhadap perempuan.” Oalah! Saya yakin seharusnya Kartini-kartini masa kini seharusnya tidak marah dengan himbauan untuk berpakaian lebih rapi tanpa pamer “aksesori”. Ada orang yang berpendapat menarik tentang kecantikan perempuan seperti ini,”Kalau mau cantik, tinggal bilang saja. Orang cantik itu AURA-nya tampak. AURA-nya ke mana-mana. Bukan AURAT-nya yang ke mana-mana.”
Belakangan, HAM ini menjadi tameng yang sangat tangguh untuk menghalalkan aksi-aksi kontroversi. Umat yang menganut aliran suatu agama kadang harus menghadapi HAM dulu untuk menetapkan bahwa aliran agama yang satunya sesat. Pemimpin daerah harus bergulat dengan HAM dulu hanya untuk menghimbau warganya. Dalam salah satu acara televisi, seorang artis seksi melempar komentar,”Melepas keperawanan sebelum menikah itu adalah hak asasi perempuan.” Kalau dari komentar itu Komnas Perempuan suatu saat nanti ingin melindungi keperawanan remaja putri yang belum menikah, jangan-jangan juga harus bergelut dengan HAM dahulu.
Terlepas dari artinya yang jamak diketahui, kaleidoskop sebenarnya justru lebih indah dibandingkan dengan apa yang banyak disampaikan media. Dalam kamus, kaleidoskop adalah alat optik mirip teropong yang memberikan gambaran yang sangat indah dan simetris oleh mekanisme pemantulan berulang (multiple reflection). Alat ini ditemukan oleh Sir David Brewster—seorang peneliti fisika optik—pada tahun 1815 ketika mempelajari polarisasi cahaya.
Mudah-mudahan pada tahun tahun berikutnya, kaleidoskop yang ditampilkan media bisa menjadi seindah temuan Sir David Brewster. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H