Beberapa bulan lalu, salah satu peristiwa yang sempat menjadi rubrik depan di media massa adalah tingkah aneh Menteri Koordinator BUMN—Dahlan Iskan. Alih-alih menggunakan sedan dengan plat nomor berkode RI, beliau justru beberapa kali naik kereta api dan ojek saat menuju kantor kerjanya. Selain sebagai sarana untuk inspeksi mendadak (sidak), apa yang dilakukan menteri berlatar belakang jurnalis ini bertujuan untuk menghimpun suara konsumen layanan kereta api. Langsung, tanpa tedeng aling-aling. Hal ini merupakan barang langka di kalangan menteri yang patut diapresiasi.
“Kalau menteri saja sudah sidak ke kereta api, harusnya perusahaan ini sudah berbenah.”
Dengan prinsip di atas terngiang-ngiang di kepala, saya memutuskan untuk naik kereta api jarak jauh Malabar Ekspres pada Selasa, 3 Januari 2012. Perjalanan begitu mulus tanpa ada halangan sejak Keberangkatan dari Stasiun Bandung. Bahkan saya dapat dengan leluasa menikmati novel yang sengaja saya bawa untuk mengusir kebosanan selama perjalanan.
Tepat pukul 21.30 WIB, novel Shema yang bercerita tentang tarian sufi Darwis khas Turki itu sudah hampir selesai saya baca. Ketika kira-kira sepuluh halaman lagi novel itu tandas saya baca, tiba-tiba lampu gerbong kereta padam. Sontak penumpang menjadi grup paduan suara dengan nada dan ucapan berbeda. Beberapa mengatakan, “Yaaah! Mati.” Sebagian lagi nyeletuk,”Aduuuh!” Bapak-bapak yang duduk di depan saya diam saja—mungkin karena tidur. Suasana gelap di dalam gerbong kereta ini menjadi mirip salah satu adegan dalam novel Pukat karya Tere Liye—untungnya tidak ada pembajakan kereta seperti dalam novel. Beberapa saat berlalu tetap dengan suasana gelap. Hal itu tidak terlalu mengganggu hingga Malabar berhenti di persilangan rel kereta untuk menunggu kereta lain lewat.
Gerbong kereta api di Indonesia umumnya memiliki jendela kaca yang bagian atasnya bisa dibuka untuk sirkulasi udara. Namun itu saja tidak cukup sehingga di atap gerbong harus dipasang kipas angin baik untuk memasukkan (intake) maupun mengeluarkanudara (exhaust) sehingga gerbong tidak gerah. Padamnya aliran listrik gerbong—mau tidak mau—juga membuat kipas udara tidak berfungsi. Hasilnya, saya dan penumpang-penumpang di dalam gerbong mulai megap-megap dalam gelap seperti ikan terlempar dari kolam. Gerah dan sulit bernapas menjadi satu, beberapa penumpang mulai tidak jelas mau bertindak apa.
“Korsleting Pak.” Begitu kata salah satu petugas yang lalu lalang sambil membawa lampu senter untuk menuntun penumpang yang baru masuk kereta. Daripada tidak jelas mau bagaimana, saya putuskan untuk menyelesaikan bacaan novel dengan menggunakan penerangan layar ponsel. Hingga tandas halaman terakhir, lampu gerbong belum menyala. Kereta tetap berjalan dengan kondisi gerbong gelap gulita. Barangkali jika dilihat dari luar, kereta itu seperti kereta hantu.
Beberapa lama kemudian—setelah sempat mengalami padam-menyala-padam lagi—lampu gerbong menyala stabil. Mata saya kriyip-kriyip menyesuaikan cahaya lampu yang mendadak terang. Ketika lampu sudah menyala, saya terbengong-bengong harus berbuat apa. Mata tidak mengantuk, bacaan tidak ada.
Meskipun tidak sering terjadi, peristiwa padamnya listrik gerbong ini selayaknya untuk diperhatikan agar tidak terjadi lagi. Belakangan, saya lihat PT. Kereta Api sudah berganti logo perusahaan. Logo yang seperti angka dua sudah diganti dengan logo baru, entah dengan tujuan apa. Pergantian logo ini bagus. Tapi bila tidak dibarengi perbaikan, tidak ada salahnya kita hias logo kereta api dengan tambahan logo ghost buster.
Slogannya, “Kereta Api, Bukan Kereta Hantu.”
:D
Tedeng aling-aling (Jw): tameng, penghalang.
Kriyip-kriyip (Jw) : mengerjap-ngerjapkan mata, mengedip-ngedipkan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H