Mayoritas media di tanah air masih ramai memberitakan tentang geliat parpol-parpol yang sibuk mencari teman koalisi, di sisi lain, kabar tentang Capres yang ‘terbuang’; Rhoma Irama (RI) juga akhir-akhir ini mulai ramai diangkat ke permukaan.
Kita semua sudah mafhum, bahwa dari media pula, kita tahu kalau RI telah dicapreskan oleh PKB melalui Ketua Umumnya, Cak Imin. Kita tidak pernah tahu, apakah pencapresan RI oleh Cak Imin tersebut sudah diputuskan melalui mekanisme partai atau hanya sebatas keputusan pribadi Cak Imin dengan Rhoma.
Yang jelas, ketika sekarang dirinya merasa tak diperjuangkan sungguh-sungguh oleh Cak Imin, RI menjadi gelisah dan bahkan kelihatan sangat kecewa. Bahkan pendukungnya di berbagai daerah juga ikut kecewa. Imbasnya, mereka mulai membakar bendera PKB sebagai ungkapan kekecewaannya tersebut.
Karena kengototannya yang tetap ingin diusung sebagai Capres oleh PKB, membuat RI dicemo’oh, dianggap pihak-pihak tertentu sebagai pribadi yak tak tahu diri dan bahkan dianggap hidup bertabur hayalan. RI dikesankan tak tahu realitas politik, bahwa PKB yang mengusungnya ‘hanya’ mendapatkan suara sembilan koma sekian persen, sebuah angka yang masih jauh dari memenuhi syarat untuk bisa mengajukan Capres sendiri.
Saya pribadi menganggap kekecewaan RI sebagai sesuatu yang wajar dan manusiawi, mengingat memang tak ada keseriusan dari Cak Imin dan PKB dalam memperjuangkan RI. Langkah politik yang diambil PKB pasca pileg pada RI--dan semua Capresnya--tak ubahnya hanya memperlakukan mereka seperti barang dagangan yang diobral pada calon parpol koalisi. PKB tak pernah secara resmi memperjuangkan RI sebagaimana parpol-parpol yang juga sudah punya Capres. Hal inilah yang menurut saya menjadi sumber kekecewaan RI.
PKB Bisa Belajar Pada Demokrat dan PKS
Memang benar bahwa dengan hasil suara sembilan koma sekian persen tak mungkin PKB tetap mengusung Capres sendiri. Pernyataan semacam ini juga tak bisa dibenarkan secara mutlak, mengingat ada langkah lain untuk PKB agar bisa mengusung Capresnya yakni berkoalisi dengan parpol lain sampai memenuhi syarat. Hal inilah yang sama sekali tidak diijtihadkan oleh PKB. PKB sejak awal malah sudah menunjukkan tanda-tanda ingin berkoalisi dengan Capres tertentu dan bukan membangun koalisi baru sebagai usaha aktif mengusung Capresnya sendiri.
PKB bisa mencontoh langkah elegan Partai Demokrat yang tetap melanjutkan konvensi Capresnya, meski hasil yang diperoleh Demokrat hanya sedikit di atas PKB. Dengan hasil yangjuga sembilan koma sekian persen, Demokrat tetap melanjutkan ijtihadnya secara resmi dalam mengusung Capresnya sendiri. Langkah ini merupakan usaha untuk tetap menjaga marwah dan harga diri peserta konvensi meski sebelumnya para peserta sudah pesimis dengan kelanjutan konvensi yang mereka ikuti.
Langkah elegan juga ditunjukkan PKS meski dengan cara yang berbeda. Kendati mereka juga punya Capres--tiga orang, sama dengan PKB-- , tapi karena hasil yang diperoleh PKS hanya enam koma sekian persen, mereka realistis dan menurunkan targetnya yakni hanya berusaha menjadikan kadernya sebagai Cawapres. Untuk memuluskan langkahnya, PKS lebih intens berkomunikasi --secara resmi-- pada Prabowo dan Gerindra, bahkan juga kepada Demokrat.
PKS menggunakan mekanisme partai secara resmi untuk menurunkan targetnya tersebut; sebuah langkah yang juga tak lepas dari menjaga harga diri para Capresnya agar tetap kelihatan bernilai.
Bagi saya, Demokrat dan PKS dalam hal ini memberikan pelajaran politik yang berharga; tentang komunikasi politik yang benar dan terutama etika dalam berpolitik. Sebuah langkah yang sama sekali tidak dipunyai oleh PKB dalam masalah yang kebetulan sama.