Mohon tunggu...
Siti Nur Romlah
Siti Nur Romlah Mohon Tunggu... -

graduated from Uhamka

Selanjutnya

Tutup

Catatan

#1 Daster Hitam Kebanggaan

12 Juni 2014   21:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:01 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402560879764696028

Tanggal 5 Juli 2014 adalah hari ulang tahun kelahiranku menjadi “anak Panti”. Begitu banyak cerita dan perjalanan yang aku lalui, sebelum semuanya hilang dan terlupakan rasanya tidak salah jika aku rangkai dalam sebuah catatan harian. Sepuluh tahun yang lalu ketika aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan meninggalkan ibuku yang saat itu sedang sakit. Jangankan untuk membiayaiku melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas, untuk mengurusi dirinya saja ibu sudah membutuhkan bantuan orang lain. Tidak lagi bisa mencari uang dan hanya mengandalkan harta peninggalan mbah dan hasil jerih payahnya ketika ibu masih sehat. Penyakit yang dideritanya memerlukan uang besar untuk mengobati, bahkan ibu harus melakukan operasi yang tentu memerlukan biaya puluhan juta, akhirnya keluarga memutuskan untuk menjual sebidang tanah untuk operasi tersebut.

Ditengah kesulitan ekonomi yang menimpa keluargaku, tidak ada pilihan lain selain aku harus menggantungkan diri pada orang yang mau menyalurkan bantuanya untuk membiayai hidup dan pendidikanku. Bisa saja aku bekerja, menjadi pembantu rumah tangga misalnya yang memang tidak memerlukan ijazah, tapi itu bukan keinginanku, apapun yang terjadi aku ingin melanjutkan pendidikanku, aku ingin mewujudkan cita-cita almarhum ayahku agar aku bisa mengenakan baju ”Daster Hitam” yang aku lihat di foto yang tergantung di dinding rumah pak Ikhsan. Ayahku bilang itu adalah baju wisuda, kebanggan orang-orang pintar sekaligus kebanggaan orang tua yang berduit. Ayahku juga bilang meskipun aku tidak terlahir dari keluarga berduit tapi aku masih punya harapan untuk memakainya selama aku punya niat dan mau berusaha menjadi anak yang pintar.

Foto di rumah pak Ikhsan itulah yang kemudian terus menghantuiku. Foto itu terdiri dari tiga orang, yaitu Pak Ikhsan dan istrinya yang menghimpit anak laki-laki tertuanya, dengan badan yang tinggi besar, jas hitam yang dikenakan pak Ikhsan dipasangkan dengan bu Fatimah yang mengenakan kebaya brukat silver dan sehelai slendang sutra di pundaknya serta senyum merekah ketiga sosok difoto tersebut menunjukan betapa berharganya momen itu, betapa bahagianya mereka dan betapa nikmat hasil yang telah diraih dari sebuah perjuangan dalam menuntut ilmu. Saat itulah aku berjanji “ayah, ibu, suatu saat kita akan membuat foto itu, dan kita akan memasangkanya di ruang tamu rumah kita.”

Namun takdir berkata lain, ayah harus lebih dulu menghadap tuhan ketika aku berusia 12 tahun. Aku ikhlas Tuhan lebih mencintainya, tuhan lebih menginginkanya dan tuhan lebih pintar untuk menjaganya. Apapun yang terjadi aku harus tetap melanjutkan hidup dan cita-citaku bersama ibu yang memang sejak lama sudah terdiagnosa penyakit mematikan. Tapi saat itu tidak pernah sekalipun ibu memberitahukan kepadaku, selama bertahun-tahun ibu memendam rasa sakit yang dideritanya dan mengobati dengan obat warung yang hanya menghilangkan rasa sakit sementara. Terlebih ketika ibu harus merelakanku berangkat kejakarta, aku melihat ada ketakutan di wajah ibu, ketakutan kalau saja ketika ibu akan menghembuskan nafas terakhirnya tanpa aku disampingnya.

“mah, aku pamit ya mah.” Ucapku ketika bersalaman sebelum aku meninggalkan ibuku

“iya nak, hati-hati ya, belajar yang bener biar jadi anak pinter, bener dan diangkat derajatnya sama Allah, kalau mama sehat nanti mama jenguk kamu kejakarta, jangan jadi anak manja dan cengeng, kamu harus kuat dan buktiin bahwa kamu anak abah yang membanggakan, ikutin aturan yang ada, jangan macem-macem.”

Setelah mendengarkan pesan ibu, aku berangkat kejakarta diantar oleh suami dari adik ayahku. Sejak saat itu aku menjalani kehidupanku dijakarta dengan segala aktifitasku menjadi pelajar dan menjadi anak panti. Sesekali ibu menelfon dan menitipkan sedikit makanan saat ada tetangga yang kejakarta, namun karena kesehatanya yang tidak memungkinkan sepertinya ibu harus mengubur keinginanya untuk sekedar melihat keadaanku, bagaimana aku hidup, bagaimana aku tidur, bagaimana aku bergaul dengan teman-teman baruku yang berasal dari berbagai macam daerah. Aku akan menceritakan semuanya ke ibu saat aku mudik lebaran dan ibu akan menjadi pendengar setiaku, meskipun aku selalu menceritakan hal yang sama.

tanpa terasa sudah hampir tiga tahun aku menjalani hidup menjadi perantau di Jakarta, itu artinya aku berada di kelas tiga SMA dan sebentar lagi aku lulus. Lika-liku kehidupanku dipanti dan di sekolah yang didominasi anak-anak Jakarta sungguh sangat melelahkan, dari logat bahasaku yang masih medok, perbedaan karakter dan kebiasaan, gank-gank yang saat itu memang sangat popular dikalangan anak sekolah, lalu lintas dijakarta yang kerap kali membuatku stress sampai pada beberapa makanan yang sangat tidak aku sukai tapi mau tidak mau harus aku makan, karna kalau tidak aku akan kelaparan sepanjang hari. Uang saku yang aku dapatkan perminggu pun harus sangat di manaj sedemikian rupa agar cukup untuk ongkos naik angkot pulang dan aku tetap bisa jajan seperti teman-temanku yang lain. Beruntung aku memiliki pembimbing di panti yang juga memproduksi kripik bawang dan roti sobek. Setiap hari dengan tasku yang besar, aku membawanya untuk aku jual kepada teman-temanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun